.019

1.9K 477 39
                                    

SCENE NINETEEN
BAD TEMPER

hyunjin tidak bisa mengkhianati diri sendiri; dia senang ketika jeongin bertandang ke rumah, memakai kaus miliknya yang norak, dan menghirup teh buatannya dengan bahu terangkat penuh penghayatan. aroma melati memang tiada duanya. jeongin tersenyum begitu manis. mendadak hyunjin merasa ada banyak balok-balok gula yang terkumpul di ujung lidah.

"seungmin sedang liburan ke luar kota. dan kakakku mau melamar pekerjaan lagi di sebuah toko buku." jeongin menyeruput tehnya pelan. "rumahku sepi."

tangan hyunjin menimang-nimang remote televisi, ingin menonton sesuatu, tetapi ingin pula mendengar suara jeongin. "apa saja yang biasa kaulakukan ketika sedang bersama temanmu? siapa tadi namanya—sungjin?"

"seungmin, hei, siapa pula itu sungjin." tawa jeongin mengalun begitu riang di indera pendengar. hyunjin otomatis menyungging senyum ketika adik kelasnya mulai membuka mulut. "kalau liburan begini, aku sering datang ke rumahnya. tidur-tiduran, makan, nonton film, lalu jalan-jalan. kami belum pernah bepergian jauh, sih. tidak punya uang."

"punya tempat yang ingin dikunjungi?"

jeongin memandang ke awang-awang, pose membayangkan sesuatu. "aku selalu ingin kamping. atau ke kebun stroberi."

"aku suka stroberi," hyunjin menggumam.

"ayo pergi ke sana, kapan-kapan."

rumah hyunjin kosong. ibu dan yeojin pergi berdua, beli peralatan masak di pusat perbelanjaan dan memborong baju dengan harga fantastis. ayahnya sudah berangkat kerja sedari pagi. entah kapan pria itu dapat jatah libur. mungkin minggu depan. hyunjin sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan suasana rumahnya yang mirip vila dalam film horor, justru berselonjor kaki menyetel drama tragedi di televisi yang membikin kantuknya datang. di bahunya ada jeongin yang hampir terlelap.

sepanjang hidupnya yang masih terbilang hijau, hyunjin belum pernah merasakan suasana begitu domestik seperti saat ini. kenyamanan membungkus dirinya untuk terus bergelung, tidak ingin beranjak ke manapun, hanya geming; kalau bisa waktu juga ikut terhenti bersamanya.

hujan masih mengguyur di luar.

oh, tentu saja. waktu mana pernah mau diam.

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

"mau mengantar sampai stasiun?"

"masih saja bertanya. ayo naik."

jeongin berpegangan dengan ekor sepeda ketika hyunjin mulai mengayuh pedal. mereka melintasi banyak persimpangan yang dilalui mobil dan sepeda motor; derunya adalah puaka di gendang telinga, tetapi hyunjin menggumamkan lagu-lagu yang sering jeongin dengar di radio, sehingga melalui pemuda itu, jeongin meresapi suaranya.

"sampai," ujar hyunjin, membuat jeongin langsung menegakkan kepala dan menatap sekeliling. stasiun yang membosankan dan monokromatis. hyunjin ikut turun ketika jeongin menjejak tanah. "kenapa muram begitu? mau kuantar sampai rumah?"

jeongin mendelik. "jangan konyol. bagaimana sepedamu nanti?"

"siapa yang mau mencuri sepeda butut begini?" hyunjin berucap acuh tak acuh, tetapi tetap saja tangannya cekatan mengunci kendaraan roda duanya itu di tiang terdekat. langkahnya segera mendahului jeongin untuk masuk ke mulut stasiun. "karena di rumah sepi, sekarang giliranku yang mampir ke tempatmu."

"tidak usah." jeongin buru-buru menarik tangan hyunjin agar pemuda itu berhenti.

"kenapa?"

mulut jeongin seakan dikunci dengan jahitan benang tak kasat mata. hyunjin memandangnya dalam diam, ada sorot terluka yang membuat jeongin ingin melarikan diri ke tempat lain, ke mana saja, asal bisa bersembunyi dari perasaan bersalah yang tiba-tiba mengakar di balik dadanya. dia tidak mau membicarakan kondisi dalam rumah yang morat-marit. hyunjin tidak perlu tahu.

"kenapa? kau selalu begini ketika aku bertanya." hyunjin memalingkan muka dan memasukkan tangan ke saku jaket. "diam. tidak buka mulut. apa aku tidak pantas untuk tahu hal-hal tentangmu?"

jeongin bermain bisu. pembicaraan yang berlangsung hanya satu arah.

hyunjin menghela napas. "kenapa harus jadi soulmate kalau yang terjadi di antara kita tidak lebih dari sepasang kawan biasa lakukan? ah, tidak—kita ini orang asing. sepasang teman bahkan bisa berbagi rahasia, mempercayai satu sama lain, sedangkan kita tidak."

"hyunjin, kau ini bicara apa?" jeongin merasakan tenggorokannya tercekak, titik-titik air mulai berkumpul di pelupuk mata dan siap tumpah. tetapi dia tahan, dia mencoba, bagaimanapun hyunjin tidak boleh melihat seberapa rapuh dirinya menjadi anak laki-laki. "jangan bertanya apapun untuk sekarang. nanti, nanti saja, kalau aku sudah siap dengan jawabannya. kau mengerti, kan, hyunjin?"

"oke, aku bakal diam. aku tidak akan bertanya apa-apa, dan aku juga tidak akan menjawab apa-apa. kita impas, jeongin." kedua tangan hyunjin terangkat, gestur menyerah yang di mata jeongin terlihat memuakkan. "mungkin ada baiknya kita tidak usah bicara lagi; benar-benar tidak usah saling bicara. tanda hijau di tanganmu keliru. sepertinya kau tidak sadar telah menyentuh orang lain."

napas jeongin berantakan. "kenapa kau selalu begini, sih? memutuskan sesuatu seenaknya, seperti tempo dulu, kau tentu masih ingat ketika kita puasa bicara berhari-hari. dunia tidak berputar di sekelilingmu, tahu. semua orang punya urusannya masing-masing. jangan bersikap seolah kau yang menjadi korban di sini."

jeongin tahu dirinya sudah kelewatan. bicaranya mulai kacau tanpa arah. tetapi persoalan beruntun yang datang di hidupnya, tak kenal jeda, membuat letih dan seketika ingin memuntahkan semua emosinya pada orang-orang. ditatapnya hyunjin dengan mata berair. kapten voli itu balik menatap, semakin redup binarnya berpendar.

"baiklah." hyunjin berjalan melewati si adik kelas, tanpa melirik sedikit pun, kemudian membuka kunci sepedanya dan bersiap pergi. jeongin merasakan pening di kepala karena dia ingin sekali membuyarkan suasana bersepah ini. mereka tidak perlu bercekcok. tetapi hyunjin hilang sudah kestabilan emosinya, justru meracau. "terserah kau saja."

maka semudah itu si kapten voli meninggalkan juniornya di depan stasiun; tanpa berbalik, tanpa ada tangan yang melambai. pangkal tenggorokan jeongin sudah sakit sedari tadi. andai saja mulutnya tidak bicara terlalu gamblang. andai saja dia diam, mengalah untuk mendengar hyunjin menyuarakan kekesalannya. mungkin semua bakal baik-baik saja.

kaki-kaki jeongin terasa berat untuk sekadar berjalan. dia meremas kaus yang dikenakannya, milik hyunjin, yang laki-laki itu bilang norak. sinar mentari musim panas menyorot di atas kepala. namun, untuk sebuah alasan, jemari jeongin menggigil. getir dalam mulut begitu pekat tercecap.

✧・゚: *✧・゚

tipikal hyunjin: ngomongnya
ngaco kalo lagi marah.

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang