.011

2.2K 557 67
                                    

SCENE ELEVEN
SUBCONSCIOUS

heejin bilang, hyunjin hanya perlu istirahat sejenak. mengasingkan diri dari pelbagai pikiran yang kalut marut dalam kepala. gadis itu berbaik hati mentraktir semua pesanan hyunjin, memperhatikan dengan saksama bagaimana si kapten voli menyeruput jus jeruk sembari memasang wajah masam, tidak buru-buru bertanya.

kedai ramyun yang terletak di salah satu gang dekat sekolah terlihat meriah dengan adanya lampion yang dipasang di depan pintu. banyak orang berlalu-lalang; mencuci tangan, membayar di kasir, memanggil pelayan. kemudian terdengar riuh suara pekik tangisan anak kecil karena telah menjatuhkan segelas teh dan membuatnya pecah. memekakkan telinga, membuat hyunjin semakin pening. heejin tersenyum mafhum.

"maaf, kukira tidak akan seramai ini."

hyunjin mengibaskan tangan, memberi isyarat bahwa si gadis tidak perlu khawatir. "biasa saja. justru aku yang harus minta maaf karena kau malah membayar semua pesanan."

kepala heejin mengangguk gamang. dia segera memecah sumpit, mengaduk-aduk ramyun yang membumbungkan kepul putih ke udara sebelum menyumpitnya ke mulut. hyunjin meniru. meski perutnya tidak meminta makan, tetapi dia tahu bagaimana cara untuk tidak menyia-nyiakan pemberian orang lain.

dua muda-mudi itu menikmati hidangan tanpa bicara. hyunjin belum bisa memutuskan apapun karena dia sudah penat dengan urusan belahan jiwa dan berusaha untuk tidak menyinggung soal itu lagi. tetapi, beberapa hari yang lalu, heejin datang kemudian membahasnya. menyadarkan hyunjin bahwa sejauh manapun dia berusaha lupa, realitas mengharuskannya memilih dan memiliki pasangan.

bagaimana kalau dia tidak mau? bagaimana jika dia jatuh pada pilihan menjadi sendiri sampai harinya berakhir? apa dunia masih bersikeras menghadirkan seseorang demi seseorang untuk disortir sebagai teman hidup?

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

sore itu, seungmin muncul di depan pintu rumah jeongin dengan setelan santai sekaligus masker hitam yang menutupi pipi hingga dagu. ada kedut di kelopak matanya, sebuah petunjuk bahwa pemuda itu tengah memasang senyum, maka jeongin segera balas tersenyum sebelum membuka pintu lebih lebar lagi dan mempersilakan seungmin masuk.

"mana kakakmu?"

"pergi mendaftar di universitas. diantar ibuku." jeongin menjawab santai, berusaha tidak terdengar seperti anak lelaki yang menyengapkan banyak kecewa dalam hati. kedua tangannya sibuk membuka lemari penyimpanan, mencari camilan untuk seungmin, tetapi dia tidak menemukan apapun. "seungmin, sepertinya haseul lupa membeli kukis."

"aku tidak lapar." balas pemuda bermasker sebelum menghempaskan diri di sofa.

jeongin menutup lemari, kemudian terdiam beberapa saat dengan jemari yang belum pergi dari pegangannya. melamunkan banyak hal. matanya menyorot pada seungmin, merasa aneh karena kunjungan pemuda itu sangat mendadak tanpa pemberitahuan.

"kau mau bicara apa?" jeongin bertanya.

kekeh melantun dari mulut seungmin seiring pemuda itu melepas masker, memperlihatkan daerah yang diarsir oranye pada tulang pipi. jeongin tertarik untuk mengamati lebih dekat. dia mengambil langkah menuju seungmin, meraba hati-hati permukaan wajah sahabatnya, dan menyadari bahwa rona itu bukanlah artifisial seperti yang dia duga.

"apa kau penasaran siapa belahan jiwaku?" kini giliran seungmin yang mengajukan tanya.

anggukan antusias jeongin lakukan. tergopoh-gopoh duduk di sebelah sahabatnya, sejenak dia lupa dengan berawai yang serupa awan mendung di dalam kepala, "mana mungkin aku tidak penasaran."

seungmin tersenyum seusai menarik napas. kemudian dia menyebut sebuah nama. tanpa ragu, tanpa getar yang memecah suara.

jeongin bisa merasakan bibirnya seolah dikunci rapat-rapat oleh sebuah tangan tak kasat mata. ada kejut di sekujur tubuh, dia mengakui bahwa dia kaget. kaget bahwa reaksi yang ia mampu tunjukkan tidak sedramatis bayangannya, kaget bahwa tidak ada rasa sakit yang seharusnya bermuara dari balik dada, dan kaget bahwa dia bisa bersukacita untuk seungmin.

"kan. kau sudah berpindah hati." senyum seungmin terkembang semakin lebar.

kening jeongin mengerut, "bagaimana kautahu kalau dia belahan jiwamu?"

"simpel saja. tanganku bersentuhan dengannya ketika di toilet, dan setelah itu semu oranyeku kembali," seungmin melihat ke arah lain untuk mengingat-ingat, "kemudian aku sadar bahwa dia hadir di acara kelulusan smp-ku bersama alumni lain. memberi ucapan selamat padaku dan kawan-kawanku, kemudian memeluk kami satu per satu."

senyum jeongin terulas begitu lembut dan tulus. dia memandang sahabatnya lekat, "aku ikut senang. bang chan orang yang baik, meskipun dulu sering mengusilimu."

tawa seungmin menggema riang di dalam rumah, mengusir semua senyap yang awalnya merengkuh kuasa. jeongin beralih menatap telapak tangan kirinya. dia membayangkan skenario paling menyenangkan yang mungkin saja terjadi saat bertemu dengan soulmate di suatu hari nanti. semoga, semoga saja, dia bisa tersenyum sama lebarnya seperti sekarang.

biarpun orang itu bukan yang selalu membuat tidur jeongin sukar nyenyak sepanjang malam.

✧・゚: *✧・゚

karena minggu kemaren aku ga nulis apa-apa, so today i gave u double updates! semoga bisa menghibur, ya :)

oh iya, karena tinge udah nyampe chapter sebelas (halah) aku pengen tau pendapat kalian tentang buku ini, dong. (kritik dan saran sangat diperbolehkan hehe.)

sampai jumpa di chapter selanjutnya!

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang