SCENE SIXTEEN
SOULMATES"matematika?"
"ya." jawab jeongin sebelum menenggak ludah.
malam itu, ayah dan ibu tiba-tiba pulang ke rumah setelah berminggu-minggu lamanya tidak kembali. haseul tergopoh menyiapkan makan. sedang jeongin bergegas merapikan ruang keluarga selagi orang tuanya memarkirkan mobil di garasi. dua kakak beradik itu sama sekali tidak diberi pemberitahuan akan kedatangan ayah-ibu, sehingga mereka dilanda panik.
saat ini jeongin ditanyai bidang apa yang akan ia pelajari saat kuliah nanti. dia tidak bisa berpikir apapun selain matematika. pelajaran kesukaannya di sekolah; yang penuh perhitungan dan ketelitian hingga bisa menyelesaikan suatu masalah. tetapi raut ayah masam. ibu tidak berkomentar apa-apa, hanya menyumpit makanannya dengan anggun tanpa niat ikut campur.
"lalu apa yang akan kaulakukan setelah kuliah?" tanya ayah. matanya tajam menatap sang putra yang nyaris tergugu di tempat.
jeongin menangkap maksud implisit dari pertanyaan barusan. apa yang akan kaulakukan setelah kuliah berarti apa kau akan sukses terpandang dan banyak uang setelah belajar matematika. kurang lebih situasi yang dihadapi haseul tempo hari kini terjadi pada jeongin, seperti kaset yang diputar untuk kedua kalinya. ia mendadak kehilangan selera makan dan ingin tidur di kamar. percakapan seperti ini hanya meruntuhkan semangat yang selama ini ia bangun tanpa ayah maupun ibu.
haseul mencubit pahanya, membuat jeongin tersentak, sekonyong-konyong kembali pada realitas, "aku akan menjadi guru," balasnya tanpa berniat memberi penjelasan terpernci.
muka ayah semakin keruh. jejarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja, seperti merencanakan sesuatu yang tidak jeongin sukai. dua tahun yang akan datang, atau mungkin lebih cepat, jeongin melihat dirinya bakal menjadi haseul yang sekarang. terikat ekspetasi orang tua sehingga kesulitan mewujudkan keinginan.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
baru beberapa jam hyunjin tiba di rumah dan merebahkan diri di kasur, ponselnya berdering. panggilan dari jeongin.
"aku di depan rumahmu." katanya cepat.
hyunjin segera mendudukkan diri lalu keluar kamar. yeojin sudah membukakan pintu untuk jeongin, mengajaknya berbincang-bincang diselingi tawa. jarak hyunjin dan adik kelasnya terpaut cukup jauh. jeongin sama sekali tidak sadar akan keberadaan hyunjin sebelum mengedarkan pandangan ke sekeliling, bertemu tatap dengan pemuda berambut biru dongker.
tatap itu berlangsung selama beberapa detik sebelum hyunjin merunduk, berlagak sibuk menyugar poni, sementara jantung berdegup terlalu kencang ketika langkahnya menghampiri jeongin di sofa. adik kelas yang dilihatnya tampak berbeda. jeongin masih berpenampilan biasa, memasang ekspresi biasa, dan bertingkah biasa. tetapi telapak tangan hijaunya; rona yang entah mengapa menjadikan hyunjin berseri-seri.
"ayo pergi makan." jeongin menatap hyunjin dengan segaris kurva di wajah.
mereka bersepeda menuju pusat kota yang sesak. hyunjin bertanya rekomendasi restoran yang tidak terlalu mahal, sebab pusat kota selalu identik dengan turis sehingga ada probabilitas harga-harga melonjak tinggi. jeongin hanya mengangkat bahu. dia menunjuk sebuah jalan kecil, membawa hyunjin masuk ke dalam gang-gang sempit dengan penerangan temaram dari toko kelontong.
beberapa menit kemudian hyunjin kewalahan, hampir-hampir menyimpuk pejalan kaki ketika jeongin menyuruhnya berhenti. tepat di depan mereka, ada sebuah kedai ramai yang mungil, terlalu mungil sampai harus menyediakan kursi-kursi dan meja untuk pelanggan di jalanan. kursi dan meja itu ditata sangat rapi dengan pot berisikan bunga mungil sebagai pemanis dekorasi. jeongin senyum-senyum melihat reaksi hyunjin dari belakang.
"bagaimana? pernah kemari?" tanyanya sembari turun dari bangku belakang. hyunjin ikut turun, kemudian menyandarkan sepeda di dinding terdekat. matanya penuh kilau antusias. jeongin terkikik, "sepertinya belum, ya. ayo pesan makanan dulu."
adik kelas kesukaan hyunjin itu langsung memimpin jalan. punggungnya tegak penuh kepercayaan diri, yang hyunjin sendiri tidak bisa tebak berasal dari mana. ada banyak lampu bergelantungan di atas kepala. hyunjin kesulitan menghitung berapa banyaknya karena ruang sekitar memburam, sebab saat ini hanya jeongin yang menjadi titik fokus.
matahari nyaris tenggelam di horison. ini adalah senja yang panjang, sebagaimana senja pada umumnya di hari-hari musim panas. hyunjin menemukan keberanian untuk berjalan di samping sang adik kelas. selagi mengantre untuk memesan makanan di konter, hyunjin melirik jeongin, yang mana dibalas lirikan serupa. mereka lantas tergelak.
"mau bergandengan tangan?" tanya hyunjin, menawarkan tangan kirinya untuk digenggam.
jeongin tidak ragu menautkan jemarinya dengan milik hyunjin. dia mengukir senyum lebar, membuat hyunjin terpasung di tempat dengan pelan-pelan berbisik di bawah napasnya yang teratur, "tentu."
mereka tidak pernah dinaungi suasana sebaik itu sebelumnya. dengan tangan saling mencangkum, suasana ramai yang menghunus segala penat di kepala; hyunjin dan jeongin bagai mengulik seluruh keajaiban semesta hanya lewat sentuhan sederhana.
(hyunjin pikir, tidak ada lagi kebahagiaan yang perlu ia cari. jeongin sudah menggenapi setiap celah dalam dirinya.)