.007

2.6K 621 99
                                    

SCENE SEVEN
BESEECHING

ah, rupanya ini hangat yang selalu jeongin cari.

obrolan di meja makan berangsur menyenangkan dan jeongin tahu kapan ia harus menyahut dan berpendapat. kedua orang tua hyunjin sama-sama ramah. mereka membiarkan jeongin menambah porsi nasi, menanyakan kesibukannya sehari-hari, lalu membujuknya menginap barang semalam, kapan-kapan. jeongin senang. cara mereka bertutur kata hampir-hampir menjadikan jeongin lupa siapa orang tua aslinya.

"kalau jeongin menginap, dia akan tidur di mana?" yeojin berceletuk sebelum menuang air ke gelas. "kamar kita hanya tiga."

ibu hyunjin mengerling, entah apa maksudnya. "tentu saja kamar hyunjin!"

sang kepala keluarga terbahak keras. begitu pun yeojin yang batal minum karena khawatir air yang ditelannya akan kembali keluar lewat kerongkongan. jeongin melarikan jemari ke tengkuk, menggaruk-garuk sedikit, bingung harus merespons apa. sementara hyunjin betah geming dan fokus ke makanan. sama sekali tak mengeluarkan suara.

mungkin candaan tadi tidak lucu bagi hyunjin. orang dewasa memang senang bergurau, tanpa menyadari usia mereka yang sudah terlalu kolot untuk mengerti lelucon anak muda. jeongin setidaknya bisa memafhumi hal itu dan mencoba tersenyum meski tak tahu letak kelucuan kalimat barusan di mana. yang ia herankan, mengapa hyunjin terus-terus diam?

pemuda itu suka berbincang-bincang, jeongin tahu betul. kapten klub voli yang terus menanggapi ucapannya sejak pertemuan di green house meski obrolan itu tidak terlalu penting. diamnya hyunjin meresahkan, membuat jeongin tidak bisa total fokus pada hidangan menggiurkan di meja dan cakap-cakap hangat yang tercipta.

"jeongin tidak bisa menginap di sini."

senior jeongin berkata tiba-tiba, menolak beradu pandang dengan si adik kelas yang mencureng dahi penuh heran. ayah hyunjin meminta alasan. ketika jeongin hendak membuka mulut, sang kapten sesegera mungkin menyambar.

"bukannya malam ini terlalu mendadak? dia tidak bawa pakaian—punyaku tentu akan menenggelamkan badannya. dan besok hari sekolah." ucap hyunjin cepat, seperti kereta listrik yang memelesat membawa gerbong menuju destinasi.

ibu hyunjin ternyata senang membuat putranya malu. "aku tidak bilang jeongin harus menginap malam ini, lho?"

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

jeongin pulang dibekali satu sisir pisang dan rantang tiga tingkat berisikan ayam saus jeruk, nasi, dan salad. ia membungkuk berkali-kali pada tuan rumah sembari merapal ucap terima kasih yang tak terhitung jumlahnya. keluarga yang baik. bahkan yeojin hendak mengantarkannya sampai stasiun, tetapi sang ibu langsung mendorong punggung hyunjin.

"antar dia atau kau tidak kubuatkan bekal seminggu." ancaman itu ampuh membuat si sulung membungkam protes. "ah, jeongin, apa kau ingin kupinjamkan jaket? cuaca malam tidak begitu bagus untuk kesehatan."

jeongin langsung menggeleng atas penawaran itu. "tidak perlu. aku baik-baik saja, ini tidak terlalu dingin, kok." padahal jemarinya menggigil menggenggam pemberian ibu hyunjin.

di perjalanan menuju stasiun, dua pemuda melangkah bersisian, tetapi tak berinisiatif membangun topik. jeongin menjinjing rantang dan plastik yang diisi pisang dengan perasaan campur aduk. ia tak suka hening ini. membiarkan deru kendaraan beserta dengih jangkrik mendominasi membuat jeongin ingin segera menjauh mencari keramaian.

"jadi..." hyunjin angkat suara, memancing senyum di wajah si junior, "mukamu kacau sebelum kuajak makan di rumah. ada apa?"

jeongin tidak memprediksi pertanyaan itu. tiba-tiba tenggorokannya kering dan suaranya lebih tipis daripada cicit tikus. "tak ada siapa-siapa di rumah. sunyi sekali. aku tidak suka."

"lalu? setelah makan malam tadi—apa kau senang?"

seulas senyum terukir sangat lebar, jeongin mengangguk gembira sebagai jawaban. "orang tuamu baik. adikmu juga. mereka senang bicara dan membuatku merasa benar-benar disayangi. tidak banyak keluarga sehangat itu, hyunjin. kau beruntung memiliki mereka."

mata hyunjin berpendar lurus ke depan. pemuda itu ikut melengkungkan senyum di bibirnya, lalu menenggelamkan kedua tangan dalam saku celana. jeongin merasa dadanya penuh kelopak bunga. ia semakin bahagia kala melihat hyunjin membuat ekspresi sebegitu lembut, menghancur tembok es khayali yang tertakhlik sebelumnya.

"jeongin, setelah ini kita tidak usah bicara lagi, ya?"

atau mungkin jeongin keliru. tembok es justru semakin kokoh untuk diterjang.

"aku bingung, kautahu. keberadaanmu membuat semuanya kacau."

jeongin mengikuti hyunjin yang berhenti melangkah. pemuda itu bernapas dengan rakus, bahunya naik turun, mata tak melirik lawan bicara sama sekali. pemandangan yang sangat kontras dengan apa yang terjadi semenit lalu. jeongin kepayahan mencari-cari bekas bahagia di raut hyunjin, lalu ia hanya menemukan nelangsa.

"kenapa? apa yang kukacaukan?" getir tercecap di pangkal lidah jeongin.

hyunjin menolehkan kepala, memaku pandang pada adik kelasnya yang balas menatap nyalang menuntut jawaban. kata-kata siap menggelincir. "perasaanku, mungkin?"

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

"lalu?" hyunjin waswas ketika jeongin mengambil langkah mendekat dengan kepala mendongak pongah, jelas-jelas menantang. "lalu kenapa kita tidak perlu bicara lagi setelah ini?"

sepasang binar jeongin tampak gelap, lebih kelam dibandingkan arang, lebih menyayat daripada pisau. hyunjin tahu adik kelasnya tak lagi dalam kondisi stabil. apa yang di balik dada jeongin bergejolak hebat, serupa hatinya sendiri, tetapi dia pandai mengontrol air muka. rasa berang dan kecewa bersembunyi di balik datar ekspresi.

"nanti aku semakin suka padamu. aku tidak bisa terus-menerus jatuh cinta pada orang yang tidak bisa kumiliki." tatapan hyunjin jatuh pada punggung tangan kiri jeongin, memperkirakan berapa lama lagi warna hitam di balik sana akan memudar, "sudah waktunya berhenti."

hyunjin tak ingin menunggu balasan dari sang adik kelas. ia kembali mengawang jauh ke depan, berjalan meniti aspal di balik sol sepatu, dan memperhatikan desain lampu jalanan yang dibuat cantik dengan kerlip neon. lanskap kota dibingkai sebegitu indahnya. kilauan cahaya yang menjadikan hati berdentum didesak ramai.

di belakang, jeongin pelan-pelan menyusul. perjalanan ke stasiun terasa tak ada akhir.

✧・゚: *✧・゚

aku kangen work ini huhu sampe
nembus 800 kata (wow) maaf kepanjangan :'))

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang