SCENE FIFTEEN
PHONE CALLbulan menggantung di langit. pendarnya lembut, menyuar sebuah ruang kelas yang lampunya sengaja dipadamkan. kelas itu dijadikan kamar tidur selama beberapa malam untuk tim hyunjin. meja-meja digeser ke sudut, kasur lipat beserta selimut tipis dibentangkan sebagai alas menjemput mimpi. selagi rekan timnya mendengkur, hyunjin berbaring dengan gamang; pikirannya masih carut-marut.
"tidur, hyunjin. tidak usah terlalu terbebani dengan permainan tim lain," euiwoong, wakil hyunjin, menggumam setengah mengantuk di kasur sebelah. separuh wajahnya terbenam dalam selimut. "mereka pasti sudah tidur di kelas lain. kau tidak mau hilang fokus besok hanya karena mereka, kan?"
hyunjin menyilangkan tangan di balik kepala, menatap penuh determinasi ke awang-awang. "blok kita dijebol terus-terusan, euiwoong."
"itu karena timing kita belum sesuai."
"ya. kau benar."
setelahnya hening. obrolan selesai, tetapi hyunjin masih terjaga. ada banyak hal yang dikhawatirkan: soal performa timnya, strategi, apa-apa yang harus dilakukan untuk menghindari kekalahan sebab hukuman lari menaiki bukit lama-lama memuakkan juga. lebih dari itu, hyunjin ingin timnya bisa berkembang sekembalinya dari tempat ini.
"hyunjin, ada manajer tim sebelah yang namanya sama denganmu," euiwoong ternyata belum tidur juga. suaranya yang sengau berkata, "dia bilang rambutmu bagus."
"oh. sampaikan ucapan terima kasihku padanya."
"akan kusampaikan," ucap euiwoong pelan, "omong-omong, apa alasanmu mengecat rambut? mendadak sekali."
hyunjin menoleh pada wakilnya, tak tahan ingin tertawa geli. "ini tidak dicat."
"hah?" euiwoong setengah linglung menanggapi.
"aku juga tidak menyangka; seingatku aku belum pernah mengecat rambut. tapi ternyata ini adalah warna yang biasa didapat ketika belahan jiwa telah menyentuhmu, kautahu?" hyunjin kesulitan menahan senyum ketika ingatannya terbawa ke belakang, ke kejadian suatu malam di depan stasiun, "aku hampir menangis. ibuku langsung memasakkan makanan favoritku selama dua hari berturut-turut saking senangnya."
"tanda soulmate di rambut? itu... keren sekali."
"sebenarnya aneh, sih-eh, ada panggilan masuk?" hyunjin berhenti berceloteh dan segera meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. pada layar, terpampang nomor tak dikenal.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
jeongin tidak tahu hyunjin sedang apa, mungkin masih latihan voli atau justru sudah terlelap di kasur. dia hanya ingin mencoba memastikan nomor yang diselipkan ibu hyunjin di dalam rantang dua minggu lalu benar milik si kapten.
"halo? siapa ini?"
suara hyunjin yang lugas seperti biasa mengindikasikan dia belum tidur. jeongin memejamkan mata, menghirup napas dalam-dalam sebelum memasang senyum geli karena di seberang sana hyunjin tidak berhenti mengucap 'halo' yang terdengar menggemaskan. persis anak-anak dalam televisi yang mengiklankan sebuah produk susu balita.
"ini aku."
"jeongin? ap-tunggu sebentar, tunggutunggutunggu-" hyunjin terdengar panik, ada suara langkah kaki diikuti debam pintu yang membuat jeongin mengernyit. apa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menelepon? "h-hei. aku sengaja keluar kamar karena takut membangunkan teman-temanku. ada apa?"
"kau gugup?" tanya jeongin, hampir-hampir meloloskan tawa.
namun hyunjin bersikeras menutupi tutur katanya yang mencacau, "b-bukan gugup, hanya kaget. kita tidak pernah bertukar nomor telepon sebelumnya."
tangan jeongin menarik selimutnya sampai dagu seiring tubuhnya menghadap kanan, menatap tirai jendela yang melambai-lambai diembus angin. seketika hati dirundung perasaan bersalah. "maaf mengganggu waktu istirahatmu. aku hanya ingin memastikan apa nomor yang diberikan ibumu palsu atau tidak."
tawa hyunjin mengalun menyenangkan. "kalau mau mengobrol bilang saja."
"boleh?" tanya jeongin, mukanya berubah girang. dia mengulas senyum lebar. "kautahu, aku sudah menyentuh soulmate-ku."
ada sebuah jeda panjang, dan jeongin penasaran bagaimana raut yang terlukis di wajah hyunjin. pemuda itu membiarkannya menunggu respons berlarut-larut, mungkin sedang menyusun kalimat, atau justru masih terbengong mencerna pernyataan jeongin. tanpa sadar jeongin terkekeh geli, hyunjin mau diam seberapa lama lagi?
"aku juga." bisik kapten voli itu.
jeongin melipat bibir, berusaha menahan ucapannya agar tidak melembak berantakan dan justru membingungkan hyunjin. nyaris gila dia menyimpan semua selama berhari-hari, "noda hitamku berubah hijau setelah memasangkanmu helm di depan stasiun malam itu-kauingat? apa kau merasakan sesuatu setelahnya?"
"rambutku jadi biru tua." ungkap hyunjin lembut, mengingatkan jeongin pada riak air di sungai-sungai dangkal berbatu. "ini aneh-aku selalu berpikir kita tidak mungkin berakhir bersama. tiba-tiba kenyataan berkata sebaliknya, dan mustahil bagiku untuk diam saja, menanti hari berlalu tanpa melakukan apa-apa. aku ingin menemuimu tapi kau tidak ada di manapun."
jeongin meremas selimut. jantung seakan merosot ke dekat lambung, menjadikannya kehilangan konsentrasi sekaligus dililit perasaan bahagia. hyunjin tidak menyembunyikan apa-apa. pemikiran itu membuat jeongin merasa disayangi, segala kopong di hatinya digenapi. "aku bersyukur."
"bersyukur atas apa?"
"uh, karena kau-" bibir jeongin digigit, tiba-tiba salah tingkah menguasai tubuhnya, "kau-astaga aku malu mengatakannya. masa tidak tahu, sih?"
"oh. kau bersyukur karena aku adalah belahan jiwamu. benar?"
"aku tidak sabar ingin menampar wajahmu nanti. kapan pelatihan selesai?"
"kenapa? kangen, ya?" gurau hyunjin. jeongin pura-pura mengancam akan memutuskan sambungan telepon sebelum hyunjin segera menyela, "minggu depan. sisanya latihan intensif di sekolah."
lalu mulut jeongin menggelincirkan kata-kata yang hanya ingin digemakan dalam benaknya saja, "jangan sampai kelelahan, ya," dan dia tidak bisa mengucap apapun untuk meralat kalimat penuh afeksi itu.
hyunjin memperparah suasana dengan geming untuk beberapa lama yang terasa berabad-abad untuk jeongin. seharusnya pemuda itu melempar balasan berupa guyon murahan, atau setidaknya mematikan sambungan telepon; jikalau si adik kelas terdengar terlalu menggelikan untuk memberi perhatian. diam yang dibahasakan hyunjin terkadang membikin resah. jeongin kembali teringat sebuah malam di mana hyunjin meminta mereka untuk berhenti bicara.
jangan, jangan sampai begitu lagi.
"aku hampir menjatuhkan ponselku, astaga." kemudian hyunjin berhasil merobohkan kegelisahan jeongin hanya dalam sekejap, lewat suaranya yang hati-hati, seperti goresan tinta cina di atas kertas singkong. "perhatian sekali, ya. apa kau mulai menyukaiku?"
pertanyaan hyunjin dijawab jeongin dengan jerit yang hanya terjadi di dalam kepalanya; bahwa perasaannya pada pemuda itu sudah meledak-ledak sedari dulu, ditutupi lewat kebingungan dan sikap persuasif akan diri sendiri. maka dari itu dia bersyukur noda hitamnya lenyap karena hyunjin. eksistensi pemuda itu mengubah pandangan jeongin bahwa dia tak perlu lagi hidup penuh antipati pada takdir yang memasang-masangkan manusia.
"mungkin? menurutmu bagaimana, hyunjin?"
────✧
aku sering baca-baca komen yang kalian kasih ke cerita ini. and i feel like i don't deserve you guys, really. kalian bener-bener bikin aku semangat nulis huhu makasih banyak yaaa <3