.014

2.3K 559 59
                                    

SCENE FOURTEEN
FLOWER SHOP

pekan ujian berlalu tanpa kesan. selama satu minggu lamanya, hyunjin menahan diri untuk tidak mencari jeongin, berupaya fokus pada buku pelajaran dan catatan-catatan singkat hasil merangkum. ada saat-saat ketika dia kehilangan pengawasan pada diri sendiri—malah mengintip lewat jendela dari satu kelas ke kelas lain, berharap bisa menemukan jeongin. tetapi adik kelasnya itu seolah bersembunyi di balik bayang orang lain. tidak ada, eksistensi yang tersamarkan.

situasi saat ini menjadi timbal balik atas apa yang hyunjin lakukan pada jeongin di hari-hari lalu. barangkali jeongin sangat resah ketika hyunjin mendiamkannya sebab sibuk berpusing mengenai perasaannya sendiri, egois; tidak mau menjadi satu-satunya yang menyedihkan. padahal jeongin tidak melakukan apa-apa. hanya menawarkan jabat tangan pertemanan nan tulus, yang tabu untuk dibalas dengan pembatasan diri. cukup setimpal bila kini hyunjin yang kepayahan mengejar jeongin.

"hwang hyunjin," suara pelatih kim bersumber dari belakang punggung hyunjin, membuyarkan lamunan. sang kapten langsung berhenti beres-beres peralatan sejenak dan membalikkan badan. "aku tahu ada banyak hal yang menjadi prioritasmu. meski ada berbagai tanggung jawab yang harus dipikul, kuharap kau bisa fokus untuk latih tanding besok, oke? istirahat yang cukup dan makan dengan teratur. aku mengandalkan kalian semua."

pelatih kim memang tidak pernah banyak bicara; semua ucapannya diringkas dalam kalimat-kalimat sederhana. hyunjin mengangguk lalu membungkuk penuh hormat. ia harus segera pulang dan menyingkirkan segala hal remeh-temeh dari benaknya, sebab fokusnya harus pada latih tanding yang akan berjalan selama libur musim panas. dua minggu penuh dengan aktivitas padat dan kawan-kawan baru.

mungkin soal jeongin bisa belakangan.

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

"hukum? ekonomi bisnis?"

"ibu lebih senang kalau aku menjadi jaksa," haseul menggunting duri-duri dari setangkai mawar merah yang merekah di tangan, mukanya muram, "ekonomi bisnis hanya rencana cadangan—kalau-kalau aku terlalu dungu untuk masuk jurusan hukum."

"lalu kapan kau akan masuk universitas?" jeongin bertanya dengan mata terfokus ke lembaran berisi data diri kakaknya.

ada hening sejenak. haseul menaruh gunting di meja, mengambil kursi, lalu duduk di depan jeongin. warna-warni kembang di dalam toko bunga tak kunjung menabur gembira di wajahnya. alih-alih tersenyum, haseul merunduk sembari menutup wajah dengan kedua tangan.

"aku benci menjadi lemah begini, jeongin." suara lemah haseul teredam oleh telapak tangan yang bergetar frustasi. jeongin kelabakan, cepat-cepat menaruh kertas biodata haseul kemudian merangkul sang kakak. jemari mengelus lembut pundaknya. "aku—aku tidak mau kuliah. untuk apa punya gelar sarjana jika tidak bisa bahagia?

"mungkin ibu pikir, pekerjaan di toko bunga tidak membuatmu menjadi terpandang. tidak sukses. sulit kaya. tapi, ini hidupku, kan? konsep sukses menurutku tidak harus bergelimang harta dan punya posisi bagus dalam sebuah perusahaan. hanya lulusan sma, merangkai bunga saban hari, merekomendasikan jenis-jenis kembang pada pelanggan, dan menjadi bahagia—itu sukses menurut pandanganku. ibu dan ayah tidak mau mengerti, jeongin. mereka berusaha membentukku menjadi pribadi yang lain. a-aku, aku—"

kemudian air mata haseul tumpah ruah. gadis itu bersusah payah menghapus, tetapi pipinya basah tanpa henti, seperti air yang mengalir dari hulu menuju hilir. jeongin melihat sang kakak begitu rapuh. orang tuanya terlalu banyak menuntut—jeongin tak mau haseul hidup ditekan kemauan yang bukan miliknya sendiri.

"jangan menjadi sepertiku, jeongin." haseul berucap setelah berkali-kali tersedak isak tangis. pandangannya meluruh, jatuh pada lantai kayu yang mengilap sehabis dipel, "aku tidak bisa menyuarakan apa yang kumau. ibu menentukan semuanya. mungkin, mungkin bila soulmate bisa dipilih sendiri, maka aku sudah dijodohkan dengan orang lain."

haseul tertawa hambar kemudian. jeongin segera meraih tangan kakaknya, menggenggam dengan penuh perhatian, membuat haseul terkesiap. "kau pasti bisa bilang pada ibu dan menjadi apapun yang kaumau. kau akan menentukan jalan hidupmu sendiri, melakukan apa yang mau kaulakukan, berbahagia—benar begitu, kan? kita hanya perlu membicarakannya lagi dengan ibu di lain waktu."

jeongin tidak yakin kata-katanya bisa menjadikan haseul berhenti putus asa. tetapi dia sudah mengerahkan usahanya; demi sang kakak yang selalu ada ketika dia sampai di rumah, memasang telinga untuk mendengar cerita-ceritanya, menggantikan sosok seorang ibu yang mengayomi. haseul terlalu banyak kehilangan waktu luang, dan jeongin tidak sanggup jikalau harus menyaksikan gadis itu mengemban beban yang lebih berat lagi.

"thanks, kiddo." tangan haseul menyeka tetes sisa-sisa air yang masih menggenang di bawah kelopak matanya sembari mengulas senyum juita, "omong-omong, tanda hijaumu bagus. siapa orangnya?"

pertanyaan haseul hanya dibalas dengan jeongin yang memalingkan wajah lalu mengusap-usap tengkuk salah tingkah. seketika suhu di toko bunga berubah naik, senyum malu jeongin membungkam semua ucapannya. haseul penasaran setengah mati.

────✵

aku degdegan sebelum ngepublish
bab ini. apa pesannya nyampe ke kalian?

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang