.010

2.2K 543 11
                                    

SCENE TEN
ORANGISH

"pulang duluan, kapten!" chenle dan jisung melambai dari luar pintu.

hyunjin menyahut dengan sebuah lemparan bola ke keranjang. di gimnasium kini hanya ada dirinya seorang, bertampang kalut butuh istirahat. kepala pening. dia memikirkan banyak hal, membagi-bagi waktu untuk tugas, persiapan ujian, dan latihan. semakin dekat hari di mana satu semester berakhir, semakin menggunung tumpukan soal dari guru-guru.

jam dinding mengarah ke angka tujuh. langit tidak terlalu gelap dan enggan menyajikan bintang setitik pun. hyunjin mengambil ransel dengan langkah separuh kehilangan nyawa, kaki seperti dililit rantai. setelah ini dia harus berjalan menuju stasiun. menanti kereta, duduk di kursi tunggu untuk beberapa menit, kemudian berhimpitan di dalam gerbong bersama pegawai kantor yang baru menyelesaikan jam kerja.

"hyunjin." sebuah suara memanggil sekonyong-konyong dari arah pintu.

si kapten voli menoleh, menemukan heejin melongok dengan senyum. gadis itu datang untuk menagih jawaban atas penawarannya kemarin.

"mau mampir ke kedai sebentar?"

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

seperti musim, noda pertanda belahan jiwa juga punya batas waktu. tak selamanya warna-warna cerah akibat sentuhan akan menetap di permukaan kulit. mereka harus disentuh lagi, setidaknya lebih dari sekali dalam dua belas bulan, untuk mempertahankan rona dan memperkuat afeksi antara dua insan. satu tahun dilewati tanpa jamah tangan, maka noda gelap kembali menyelimuti sepetak bagian kulit.

bagi seungmin, hitam di pipi berarti bencana. selembar masker sudah ia siapkan sejak malam untuk digunakan ke sekolah. dia tak tahu berapa lama noda itu akan diam di sisi wajahnya, sebab, belahan jiwanya saja pun tak ia kenali. hari kelulusan smp setahun lalu dilewati dengan buru-buru tanpa ada waktu untuk mengidentifikasi soulmate. seungmin menyesal.

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

jeongin kira, hari melelahkannya di sekolah akan dibayar dengan suasana tenang di rumah, dengan haseul yang menyambut hangat sembari menawarkan pijatan pada kaki. mereka bakal bercakap-cakap tentang banyak hal. mengabaikan penyiar berita meracau di televisi. di kulkas tersedia seember es krim vanila dan haseul akan mengambilnya, menyuap banyak-banyak ke mulut, telinganya mendengar jeongin berargumen.

hari itu, ibu pulang ke rumah untuk mengantarkan sejumlah uang. dia punya riasan yang agak berantakan karena dikejar waktu.

"oh, jeongin." wanita itu mengulas senyum jelita ketika melihat si bungsu melepas sepatu lalu menyusunnya di rak, "how was your day?"

jeongin terhenyak. ketika ibu berjalan ke arahnya, menangkup kedua pipinya yang kemudian dicium penuh kehati-hatian, tak ada kata yang mampu membalas pertanyaan tadi. jeongin seperti disihir untuk terus bungkam. sebuah lirik ia layangkan ke belakang punggung ibu, mencari haseul yang ternyata sedang tertunduk mengurusi berkas-berkas data diri.

"a-apa kau akan bermalam di sini?" tanya jeongin pelan. suaranya agak pecah, serupa daun kering yang ditapak sepasang sepatu.

ibu merengut sedih, bertampang menyayangkan. "aku kembali ke sini sebentar untuk memastikan haseul sudah melengkapi semua data persyaratan masuk ke universitas. dan... ada audit. harus selesai malam ini."

"jadi kau akan menginap di apartemenmu lagi?" jeongin berusaha tidak terdengar kecewa, "bagaimana dengan malam selanjutnya?"

napas ibu terhela. rautnya menyesal, lantas sebelah tangan meraih pundak sang putra untuk diusap-usap lembut, "akhir pekan ini, aku akan berusaha. oke?"

ketika haseul selesai dengan map dan kertas-kertas, dia bersama ibu pamit kemudian pergi menggunakan mobil beratap rendah yang mungil. jeongin mengintip dari jendela. setelah kendaraan itu melaju meninggalkan pagar rumah, jeongin berbalik, berjalan menuju pintu kamar. dia sempat melihat plastik di meja dekat sofa yang menguar bau harum masakan oriental.

hatinya sakit seketika. kehadiran ibu di rumah itu tidak akan pernah bisa dibayar dengan seporsi makanan, bahkan yang seharga cincin berbalut berlian sekalipun.

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

seungmin punya ketakutan untuk mengenal belahan jiwanya. ingin tahu, tetapi ragu. seperti anak kecil yang tertarik masuk kolam dengan rasa gelisah mewujud besar di balik punggung, khawatir tenggelam, kehabisan napas, lalu menjadi skenario paling buruk karena harus kehilangan nyawa. meskipun biru air kolam beriak kecil tampak menarik hati.

hari pertama seungmin kembali mengenakan masker di wajah, ia sudah bisa mendapatkan rona oranye itu lagi. tepat seusai keluar dari bilik toilet. lengan seungmin tidak sengaja menyinggung lengan lain, yang pemiliknya tampak buru-buru sekali ingin buang hajat, perut melilit penuh siksa. pintu bilik dibanting lalu dikunci. seungmin hanya melihat wajahnya sekilas.

rasa takut kemudian berangsur menjadi rasa bersalah.

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang