Haiiiii!!! Update cepet kannnn?! Seneng gak? Senenglah ya:)
Selamat membaca! :)
-
-
-
-Setelah makan malam, mereka bersantai di ruang keluarga. Wikan sama sekali tidak canggung, karena keluarga ini sangat harmonis. Wikan menatap kedua orang tua Zita, sejujurnya ia merindukan kasih sayang orang tuanya. Seingatnya, terakhir keluarganya utuh saat ia masih berumur 10 tahun. Semuanya hancur karena orang ketiga. Wanita penggoda, perusak, perebut. Karena itulah Wikan menjauhi semua wanita selain ibunya. Tapi dengan Zita? Entahlah.
"Wikan, kok kamu ngelamun aja? Lagi mikirin apa?" tanya Qian.
"Ibu...," lirih Wikan, ia tak sadar keceplosan.
"Ibu? Emang ibumu kenapa?"
"Saya kangen ibu, Tan." oh ternyata sadar. Zita hanya menyimak saja di pangkuan sang ayah. Walau sebenarnya ia tahu kalau menyangkut soal 'ibu' membuat Wikan sensitif.
"Ibu saya udah meninggal. Dua bulan yang lalu. Parahnya saat dia hembusin napas terakhir saya gak ada di sampingnya. Saya nyesel seumur hidup. Saya seperti anak paling durhaka di dunia ini." lanjutnya. Sepertinya Wikan sedang mencurahkan isi hatinya.
Qian dan Daffi terkejut dengan pernyataan tersebut.
Qian menepuk bahu Wikan, "Maaf ya, bunda gak tau. Turut berduka cita. Kita senasib kok, saat papa Bunda meninggal, Bunda gak ada disisinya. Iya sih menyesal sampai seumur hidup, tapi kita juga gak bisa kan mutar waktu. Semua yang terjadi itu kehendak Tuhan. Berhenti nyalahin diri kamu, ya. Ibumu udah bahagia disana."
"Saya harap juga begitu." jawab Wikan.
Daffi mengisyaratkan Qian untuk tak bertanya lagi tentang keluarga Wikan. Menurutnya itu adalah privasi.
"Gimana kalo kamu manggil kita berdua ayah sama bunda? Ayah seneng kalo kamu mau." ujar Daffi dengan senyumnya yang menampakkan lesung pipinya.
Wikan mengangguk, "Mau, Ayah? Bunda? Makasih."
Daffi bertos ria dengan Wikan.
"Cogan gak boleh galau ya elah."
Zita mendengus sebal, ayahnya sering lupa umur kalau sudah akrab dengan seseorang.
"Ayah, jangan deket-deket Wikan. Nanti ketularan galak." ucap Zita.
"Bundamu galak, tapi ayah tetep biasa aja." jawab Daffi.
"Wikan lebih serem, Yah." bisik Zita yang masih bisa di dengar Wikan.
"Kalo udah suka sama kamu mah lembut kok. Ahahaha." goda Qian.
Zita mendelik kesal. Wikan hanya menatap datar ke arah Zita.
"Udah malem, gak mau pulang?" ketus Zita.
"Ntar kalo Wikan pulang, kamu kangen lagi." goda Daffi seraya menoel-noel dagu anak kesayangannya.
"Ih ayah!"
"Kamu gak malu apa udah gede masih duduk di pangkuan ayah? Kan ada Wikan, kenapa gak minta pangku ke dia aja?" tanya Qian.
Zita melebarkan matanya, "Ogah! Kenapa sih emang? Bunda cemburu?"
"Iyalah, ayah kan suami bunda."
"Tapi kan dia juga ayah aku,"
Dan, terjadilah keributan antara ibu dan anak yang memperebutkan sang ayah. Daffi malah tersenyum senang melihat perdebatan itu. Ia beruntung memiliki dua wanita yang menjadi alasan utama kebahagiaannya.
"Ssttt! Intinya Ayah milik kalian berdua." ucap Daffi seraya memeluk dua wanitanya.
Wikan menatap takjub keluarga Zita. Hanya tiga orang di dalamnya, namun tak ada tanda-tanda rumah ini sepi. Ketiganya kompak membuat suasana ceria. Sungguh, ia iri.