Nadira Asyla Cantika, seorang gadis berusia dua puluh tahun, terlihat ceria di luar, tetapi di dalam dirinya, terdapat badai yang tak terduga. Bagi orang-orang di sekelilingnya, dia adalah anak yang periang dan penuh cerita, namun itu semua hanyalah sebuah topeng. Topeng yang menutupi sisi rapuhnya. Sementara semua orang berhak atas kebahagiaan, dia merasa terasing, seolah tak pernah mendapatkannya.Nadira selalu merasa bahwa dirinya tidak dianggap. Semua itu terjadi karena keluarganya lebih memilih menjaga reputasi di hadapan orang lain. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kakaknya, Nandita Asyarla Cantika, yang selalu bersinar. Kakaknya itu diakui bukan hanya karena kecantikan dan prestasi yang dimilikinya, tetapi juga karena cara dia membuat semua orang bangga.
Ada kalanya Nadira merasa iri. Ia merindukan pelukan hangat dari ibunya saat air mata menetes di pipinya, atau pelukan ayahnya ketika meraih prestasi. Namun, semua itu seolah mustahil. Bagaimana mungkin hal itu terjadi jika dia merasa bodoh dan tidak berarti dibandingkan dengan Kak Dita?
Malam itu, Nadira duduk di meja belajar, di depan jendela kamarnya. Semilir angin malam menyentuh wajahnya, dan bintang-bintang di langit berkelap-kelip seolah memberikan harapan yang sirna. Dalam kesunyian, dia merenungkan hidupnya yang sepi, jauh dari kasih sayang orang tua yang selalu mengabaikannya. Di rumah, dia sering hanya ditemani pembantu dan sopir, merasa semakin jauh dari keluarganya. Ia tidak tahu apakah dia masih dianggap sebagai bagian dari keluarga itu atau tidak.
Sebelum tidur, Nadira selalu menghabiskan waktu menulis di jurnalnya. Malam itu, ia menulis:
“Aku berharap suatu hari nanti, ada yang melihatku, bukan sebagai bayangan Kak Dita, tetapi sebagai Nadira yang berharga."
Saat ia menuliskan kalimat tersebut, airmatanya jatuh, membasahi kertas. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada merasa tidak berarti. Dalam keheningan, dia merindukan kehadiran sahabat yang bisa mendengarkan keluh kesahnya. Namun, siapa yang mau mendengarkan seorang Nadira yang dianggap tak ada?
Tiba-tiba, teriakan memecah lamunannya. "DIRA! DIRA!" Suara ibunya memanggil. Nadira bergegas menuju lantai bawah. Di sana, Mama, Papa, dan Kak Dita sudah menunggu di sofa.
"Ada apa, Ma, Pa?" tanyanya dengan nada antusias, meski hatinya berdebar. Tak biasanya mereka memanggilnya untuk berkumpul seperti ini.
"Sebentar lagi kalian masuk SMA. Papa akan mendaftarkan kalian ke sekolah masing-masing," jelas Papa.
"Masing-masing? Aku tidak satu sekolah sama Kak Dita?" Nadira merasa terkejut. Kenapa mereka tidak membiarkannya bersekolah dengan kakaknya?
"Pengen banget sih lo satu sekolah sama gue!" sahut Kak Dita dengan nada sinis. Nadira merasakan pandangan menyengat dari kakaknya, seolah ada api yang menyala di antara mereka.
“Ini sudah keputusan. Sekolah Dita di SMKN Cipta Karya, sedangkan kamu di SMA Abadi Jaya. Ngerti?” Papa menunjukkan Nadira dan Kak Dita secara bergantian.
Nadira menahan napas. SMKN Cipta Karya? Sekolah elit yang diimpikan banyak orang. Sementara SMA Abadi Jaya? Sekolah biasa yang baru dibuka beberapa tahun yang lalu, terkenal dengan siswanya yang tidak terlalu berprestasi sepertinya.
“Pa, kenapa aku harus sekolah di situ? Itu kan sekolah—” Nadira terpotong saat Mama menyela.
"Udah deh, terima aja. Kamu tahu kan? Kamu tidak cocok di sekolah elit. Kamu tidak punya prestasi. Mama rasa kamu lebih cocok di sana," sindir Mama, membuat hatinya tergores. Namun, sudah biasa baginya menerima kata-kata pedas dari mereka.
"Tapi, ini tidak adil, Ma, Pa," Nadira berusaha mempertahankan haknya.
"KAMU BISA GAK TAU DIRI SEDIKIT?! MASIH MENDING KAMU DAPAT SEKOLAH! SEKARANG TERIMA ATAU GAK SEKOLAH SAMA SEKALI!" bentak Papa, suaranya menggema di ruangan. Nadira merasakan nyalinya sirna seketika.
“Yaudah! Aku mau sekolah di sana!” ucapnya sambil bangkit dari tempat duduk, meninggalkan mereka dengan air mata mengalir di pipinya. Reaksi mereka? Seolah tak peduli sama sekali.
Nadira melangkah cepat ke kamarnya, hatinya penuh dengan kemarahan dan kesedihan. Begitu sampai di sana, ia menutup pintu dengan keras dan membiarkan semua perasaan itu mengalir dalam bentuk tangisan. Dalam suasana mencekam itu, ia teringat pada mimpi yang pernah diceritakan oleh seorang sahabatnya, Lisa.
“Nadira, ingat, kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri. Jangan biarkan siapapun menghalangi impianmu,” katanya dulu. Nadira menggelengkan kepala, merasa kesepian dan kehilangan harapan.
Dalam kamarnya, Nadira menangis, bukan karena iri pada Kak Dita, tetapi karena pertanyaannya: Kenapa mereka tidak adil? Apa yang salah padanya? Apakah dia terlalu hina untuk mendapatkan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya, membuatnya terperangkap dalam kesedihan.
"Hiks ... hiks ..." isak Nadira, setiap malamnya dihabiskan dengan meratapi nasib.
Tok ... tok ... tok.
"Non, makan dulu, non belum makan," suara Bi Rina, pembantu keluarga, memanggil dari depan pintu.
"Nggak, Bi. Aku masih kenyang," jawabnya pelan.
"Tapi non Dira belum makan apa-apa," Bi Rina terus membujuk.
"Udah, Bi. Aku sudah makan," Nadira mendesah, merasa lelah.
"Yaudah, Bibi ke belakang. Kalau mau makan, kebawah saja," sahut Bi Rina sebelum langkahnya menjauh. Hati Nadira kembali merasakan kesedihan. Kenapa semua orang tidak mengerti? Bahkan jika dia mati, mungkin mereka tidak akan peduli.
"Hoammm, ngantuk banget," gumamnya, terbenam dalam kelelahan emosional. Dalam sekejap, matanya terpejam, memasuki alam mimpi, berharap menemukan kebahagiaan yang tak pernah teraih.
Dalam mimpinya, Nadira berjalan di sebuah taman yang indah, penuh bunga-bunga warna-warni dan sinar matahari yang hangat. Di sana, ia melihat sosok perempuan yang tampak familiar, mengenakan gaun putih. Sosok itu tersenyum padanya.
“Nadira, ini adalah tempat di mana kamu bisa jadi diri sendiri. Tak ada bayangan siapapun di sini,” kata sosok itu.
Nadira merasa lega. Di dunia itu, ia tidak perlu membandingkan diri dengan siapapun. Ia bebas. Namun, saat ia berlari menuju sosok itu, dia terbangun dengan suara ketukan di pintu.
"Tuhan, jika mimpi ini terlalu indah, aku rela jika harus tidur selamanya," gumamnya, merindukan kedamaian yang hanya bisa ia temukan dalam mimpi.
---
#Bersambung
Like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...