Di dalam kamarnya, Nadira menghabiskan waktunya berkutat dengan buku-buku dan laptop. Tugas sekolah yang menumpuk membuatnya harus duduk selama berjam-jam, mencoba fokus walaupun pikirannya kerap melayang. Setelah dua jam berlalu, ia merasa haus dan memutuskan untuk turun ke dapur mencari minum.Saat menuruni tangga, Nadira mendengar suara tawa dan percakapan dari ruang tamu. Ternyata, ada tamu yang sedang berbincang dengan Dita. Ia melihat sosok laki-laki yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Sepertinya mereka cukup akrab. Tanpa berniat mengganggu, Nadira memutuskan untuk mengabaikan mereka dan berjalan cepat menuju dapur.
Setelah membuat segelas jus jeruk, Nadira duduk menikmati minumannya sambil berdiri di dekat meja dapur. Namun, belum sempat menyesap minumannya, ia terkejut saat merasa ada seseorang menepuk pundaknya. Ketika ia menoleh, terlihat sosok tamu laki-laki itu, yang sekarang berada di belakangnya.
"Eh, lo... bukannya yang kemarin numpang motor sama gue, ya?" ujar Nadira, menyadari siapa yang ada di depannya.
Aldo, yang sekarang berdiri di depannya, tersenyum tipis. "Oh, iya. Gue inget lo, Nadira, kan? Gue temennya Dita," jawabnya santai. "Gue sekolah satu SMA sama Dita."
Nadira menatapnya bingung. Jadi, ini teman satu sekolah kakaknya? Ia mendengar banyak tentang sekolah Dita, sekolah elit yang penuh dengan murid-murid dari keluarga berada. Dalam hati, Nadira sedikit kagum tapi juga merasa canggung. "Oh, gitu... iya, gue adiknya Dita."
Aldo terkejut. "Oh? Gue pikir Dita anak tunggal. Dia gak pernah bilang punya adik."
Kalimat itu langsung menusuk hati Nadira. Meski sudah sering mendengar Dita tak mengakuinya sebagai keluarga, tetap saja rasanya menyakitkan. Nadira hanya tersenyum kecil, berusaha menutupi perasaannya. "Gue... adik tiri, mungkin itu kenapa Kak Dita jarang cerita."
Aldo hanya mengangguk pelan, tampak ragu untuk bertanya lebih lanjut. Nadira berusaha mengalihkan perhatian. "Aku balik ke kamar dulu, ya."
Tanpa menunggu jawaban, Nadira berbalik dan meninggalkan Aldo sendirian di dapur. Saat ia berjalan menaiki tangga, tak sengaja ia mendengar percakapan Dita dan Aldo yang masih berada di ruang tamu.
"Lo kenapa lama banget, Do?" tegur Dita sambil tertawa kecil.
Aldo tampak ragu. "Gue tadi ketemu... adik lo."
Dita langsung menatap Aldo dengan wajah dingin. "Oh, Nadira? Jangan dengerin dia. Dia cuma anak pembantu di sini. Ya, gue nganggep dia kayak adik sendiri, sih," katanya sambil tertawa. Nadira hanya bisa terdiam mendengar kata-kata itu. Ia tak menyangka Dita bisa berkata setega itu.
---
Keesokan harinya, di sekolahnya yang berbeda, Nadira mencoba mengabaikan kejadian kemarin. Ia berusaha fokus pada pelajaran, meskipun pikiran tentang kata-kata Dita masih menghantuinya. Saat bel istirahat berbunyi, Sisil, teman dekatnya, menghampirinya di kelas.
“Ra, makan siang bareng yuk,” ajak Sisil sambil tersenyum.
Nadira mengangguk, merasa sedikit lebih baik bersama Sisil. Di kantin, mereka berbincang tentang berbagai hal, hingga akhirnya Nadira menceritakan apa yang ia dengar kemarin malam.
"Kadang gue bingung, Sil. Gue ngerasa kayak nggak dianggap di rumah sendiri," ucap Nadira lirih.
Sisil menggenggam tangan Nadira, mencoba memberikan semangat. "Lo nggak sendirian, Ra. Gue selalu ada buat lo. Jangan pernah ngerasa sendirian."
Ucapan Sisil membuat Nadira merasa sedikit lebih baik. Setidaknya di sekolah, ia punya seseorang yang peduli padanya.
---
Beberapa minggu berlalu, dan secara tak terduga, Nadira semakin sering bertemu dengan Aldo. Meski mereka bersekolah di tempat yang berbeda, Aldo kerap datang ke rumah bersama Dita, dan setiap kali bertemu Nadira, ia selalu menyapanya dengan ramah. Sikap Aldo yang terbuka membuat Nadira perlahan mulai merasa nyaman berada di dekatnya.
Suatu sore, saat Nadira baru saja pulang sekolah dan sedang duduk menunggu bus di halte, sebuah motor berhenti di depannya. Nadira yang terkejut segera mengenali Aldo saat ia membuka helmnya.
"Ayo, gue antar pulang," tawar Aldo.
Nadira tampak ragu, mengingat kejadian di rumah semalam. "Enggak, makasih. Gue bisa naik bus aja."
Aldo hanya mengangkat bahu, tersenyum tipis. "Oke, kalau lo mau nunggu bus sendirian di tempat sepi kayak gini. Tapi kalau berubah pikiran, gue nunggu di sini sebentar."
Kata-kata Aldo membuat Nadira berpikir sejenak. Memang, halte itu cukup sepi, dan ia merasa lebih aman jika pulang bersama seseorang yang dikenalnya. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan naik ke belakang motor Aldo.
"Jangan sampai Kak Dita tau, ya," ucap Nadira pelan saat motor mulai melaju.
Aldo tersenyum. "Tenang aja. Gue ngerti."
Sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara, tapi Nadira merasa tenang. Sesampainya di depan rumah, Nadira turun dan mengucapkan terima kasih. “Makasih ya, Do.”
Aldo menatapnya sejenak. "Lo nggak perlu selalu bilang makasih. Gue ngelakuin ini karena gue pengen."
Ucapan Aldo membuat Nadira merasa hangat. Ia masuk ke rumah dengan perasaan sedikit lebih baik, namun perasaan itu tak berlangsung lama. Saat ia masuk, Dita menyadari keberadaannya dan langsung mendekat.
"Lo habis diantar Aldo, ya?" Dita bertanya dengan tatapan tajam.
Nadira mencoba tenang dan mengangguk. "Iya, dia kebetulan lewat."
Dita menghela napas kasar. "Lo pikir dia beneran peduli sama lo? Jangan mimpi, Nadira. Aldo itu buat gue, bukan buat lo."
Ucapan Dita begitu tajam dan menyakitkan. Nadira hanya bisa menunduk, merasa tak berdaya menghadapi sikap kakaknya.
---
Hari demi hari berlalu, dan pertemuan Nadira dengan Aldo semakin sering terjadi. Meski berusaha menghindar, Nadira tak bisa menolak perasaannya yang mulai tumbuh untuk Aldo. Di sisi lain, Dita semakin memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap kedekatan mereka.
Pada suatu sore, Aldo mengajak Nadira untuk bertemu di taman kota. Awalnya Nadira ragu, namun akhirnya ia setuju. Mereka duduk di bangku taman, menikmati angin malam yang sejuk.
“Gue ngerasa lo sering murung, Nadira. Lo kenapa?” tanya Aldo, memperhatikan wajahnya dengan serius.
Nadira menghela napas. Ia merasa bahwa Aldo adalah satu-satunya orang yang mau mendengarkan ceritanya. “Gue ngerasa gak dianggap di rumah. Kadang gue bingung, apa salah gue sampai gak ada yang peduli.”
Aldo menggenggam tangan Nadira, memberikan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “Lo gak sendiri, Nadira. Gue ada di sini.”
Ucapan itu membuat Nadira merasa dihargai. Mereka berbicara panjang lebar, dan untuk pertama kalinya, Nadira merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pada suatu hari, saat Dita mengetahui bahwa Nadira dan Aldo sering bertemu di luar, kemarahannya tak terbendung lagi. Dita langsung menemui Nadira di rumah, wajahnya memancarkan amarah.
“Gue udah bilang jangan deketin Aldo lagi!” bentaknya.
Nadira terdiam, tak sanggup menjawab. Namun kali ini, ia tak sendiri. Aldo, yang berada di dekatnya, berdiri dan menatap Dita dengan tajam.
“Gue gak nyangka lo bisa sejahat ini, Dita. Nadira bukan siapa-siapa buat lo, tapi buat gue, dia berarti,” ucap Aldo tegas.
Dita tertegun, tidak menyangka Aldo akan berkata seperti itu. Nadira hanya bisa menunduk, tapi dalam hatinya, ia merasa lega. Meski tak dianggap oleh kakaknya, ia merasa beruntung memiliki seseorang yang mau membelanya.
Sejak kejadian itu, hubungan Nadira dan Aldo semakin dekat, sementara Dita menjaga jarak dari mereka. Meski Dita tak lagi peduli padanya, Nadira menemukan kebahagiaan baru bersama Aldo. Ia akhirnya menyadari bahwa ia tak perlu pengakuan dari orang lain untuk merasa berarti.
#Bersambung
Like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...