Senja mulai merambat di langit, menciptakan gradasi warna oranye dan ungu di balik awan-awan kelabu. Nadira pulang dengan langkah ringan, perasaan bahagia menyelimuti hatinya. Hari itu, ia membawa pulang nilai sempurna dalam tugas matematika, sesuatu yang selama ini selalu menjadi momok baginya. Dalam benaknya, harapan kecil itu muncul—mungkin kali ini, keluarganya akan bangga padanya.
“Assalamualaikum, aku pulang!” serunya, nyaris berlari masuk ke ruang tamu sambil mengangkat buku tugasnya.
Namun, sambutan yang ia harapkan segera buyar saat mendengar suara Mama dari dapur, nadanya ketus. “Apasih, Dira? Pulang-pulang berisik banget!”
Nadira menghela napas, mencoba menahan kekecewaan yang tiba-tiba muncul. Namun, ia tetap melangkah mendekati Mama yang sedang memasak. “Maaf, Ma. Eh, Papa udah pulang? Biasanya kan Papa pulang malam?” Nadira terkejut melihat sosok Papa di ruang tamu, yang biasanya datang setelah matahari tenggelam.
Papa, yang terlihat kelelahan dengan mata terpejam, menjawab singkat, “Iya, tadi kerjaan udah selesai, jadi bisa pulang lebih cepat.”
Rasa senang Nadira kembali tumbuh. Ia mengeluarkan buku tugasnya dengan antusias, memperlihatkannya pada Mama dan Papa. “Lihat deh, Ma, Pa! Tugas Matematika aku dapet 95 loh!”
Belum sempat kedua orang tuanya merespons, suara Kak Dita tiba-tiba memotong, “Yaelah, baru sekali dapet 95 aja bangga!”
Senyuman Nadira memudar, namun ia berusaha tetap tenang. Tetapi, Mama malah merangkul Kak Dita dengan bangga, sambil berkata, “Dengar tuh, Dira. Coba contoh kakak kamu. Nilai-nilainya selalu bagus di semua mata pelajaran.”
Papa pun ikut menambahkan, “Iya, Ra. Nilai 95 kamu itu kalau di sekolah Dita udah gak ada apa-apanya loh. Makanya kamu belajar yang lebih giat lagi. Jangan malah pamer.”
Dada Nadira terasa sesak. Ia terdiam sejenak, lalu akhirnya meledak, tak mampu lagi menahan rasa sakit yang menumpuk. “Kalian bisa gak sih, hargain sedikit aja usaha aku?! Kalian bisanya cuma bandingin aku sama Kak Dita! Kalian gak tau kan rasanya berjuang demi mendapat perhatian itu?!”
Ia tercekat, lalu dengan suara bergetar melanjutkan, “Sekarang jawab pertanyaanku. Apa aku ini anak kandung kalian?!”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Nadira. Ia menoleh, menemukan Papa yang berdiri dengan tatapan marah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sakit fisik dari orang yang ia cintai. Dengan air mata mengalir deras, ia berlari ke kamarnya, membanting pintu, lalu terisak sendirian.
Di tengah suara tangisnya, kenangan akan Ibu dan Ayah—orang tua angkat yang selalu memperlakukannya dengan penuh kasih—kembali berkelebat. Mereka adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa dihargai. Ia ingat senyum lembut mereka, pelukan hangat mereka, dan ucapan-ucapan yang selalu memberinya semangat. Tanpa berpikir panjang, Nadira mengambil tas kecilnya dan keluar dari rumah, berlari menuju rumah orang tua angkatnya.
---
Kenangan Pertama yang Tak Terlupakan
Dalam perjalanan menuju rumah Ayah dan Ibu, ingatan Nadira kembali pada hari pertama ia bertemu mereka. Saat itu, ia baru saja pulang sekolah ketika mendengar teriakan minta tolong dari seorang wanita paruh baya di pinggir jalan. Nalurinya mendorongnya untuk menghampiri.
"Ada apa, Bu?" tanya Nadira, melihat wanita itu tampak panik.
"Itu nak... tas ibu dijambret!” jawab wanita itu, wajahnya memucat.
Tanpa berpikir panjang, Nadira langsung mengejar si jambret. Meski usahanya hampir digagalkan oleh pisau yang dibawa penjahat itu, Nadira tetap gigih. Dengan keberanian yang jarang dimiliki gadis seusianya, ia berhasil merebut tas itu kembali dan menjerit keras hingga warga berdatangan, memaksa si jambret melarikan diri.
Begitu Nadira mengembalikan tas tersebut, wanita itu menangis haru sambil berkata, “Terima kasih banyak, nak… Kamu gak tahu betapa pentingnya tas ini buat kami.”
Melihat pria tua di sebelah wanita itu tampak kesakitan, Nadira bertanya khawatir, “Bapak gak apa-apa?”
Pria tua itu tersenyum lemah. “Gak apa-apa, Nak. Cuma sakit sedikit.”
Wanita itu langsung menggenggam tangan Nadira yang terluka. "Ya Allah, tangan kamu berdarah! Kamu harus diobati sekarang juga. Ayo ikut ke rumah ibu."
Awalnya, Nadira ragu. Tapi melihat kehangatan mereka, ia merasa tak bisa menolak. Mereka mengajaknya ke rumah sederhana mereka, tempat yang penuh kedamaian, jauh berbeda dengan atmosfer rumahnya sendiri.
Di rumah itulah, setelah berbincang panjang, wanita yang ia panggil Ibu dan pria yang ia panggil Ayah itu memintanya menjadi anak angkat. Sejak hari itu, ia menemukan keluarga kedua yang selalu memberikan cinta dan perhatian tanpa syarat.
---
Sesampainya di rumah Ayah dan Ibu malam itu, hujan mulai turun rintik-rintik. Nadira mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, Ibu muncul membukakan pintu.
“Nadira, sayang! Kenapa malam-malam begini?” Ibu langsung khawatir melihat wajah Nadira yang sembab.
“Ibu… hiks…” Nadira tak mampu menahan isak tangisnya. Ia pun memeluk Ibu erat-erat, seperti seorang anak kecil yang ketakutan. Ibu mengelus punggungnya, menenangkannya dengan sabar.
“Ada apa, Nak?” tanya Ayah yang muncul dari ruang tengah, wajahnya penuh kekhawatiran.
Nadira menghela napas panjang, berusaha meredakan tangisnya. “Aku capek, Yah. Aku udah berusaha… tapi mereka gak pernah lihat apa yang aku lakukan…”
Ayah dan Ibu saling bertatapan, memahami bahwa ada luka yang sangat dalam di hati anak angkat mereka. Ibu menarik Nadira ke sofa, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Sayang, kamu gak sendiri. Ayah dan Ibu selalu ada di sini buat kamu. Kamu punya kami.”
Malam itu, Nadira menceritakan semua rasa sakit dan kecewa yang ia alami. Ayah dan Ibu mendengarkan dengan penuh perhatian, tak sekali pun memotong atau menyalahkan. Mereka mendekap Nadira, memberikan kehangatan yang ia dambakan.
“Nadira, kamu anak yang kuat,” ujar Ayah lembut. “Kamu harus percaya pada dirimu sendiri, meskipun kadang dunia tidak adil. Suatu hari nanti, semua perjuanganmu akan terbayar, Nak.”
Kata-kata itu menjadi obat bagi Nadira. Hatinya yang semula perih mulai mereda, berganti rasa syukur karena memiliki sosok Ayah dan Ibu yang begitu peduli. Ia berjanji dalam hatinya, akan terus berusaha dan tidak akan menyerah. Bukan untuk membuktikan diri kepada keluarganya, tapi untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang mencintainya dengan tulus.
---
Keesokan harinya, Nadira kembali ke sekolah dengan semangat baru. Pagi itu hujan turun deras, namun di bawah payungnya, Nadira tersenyum. Ada kekuatan dalam hatinya yang baru ia temukan. Ia tidak akan membiarkan siapa pun merenggut kebahagiaannya lagi.
Di sekolah, Sisil menyambut Nadira dengan pelukan hangat. “Dira, lo baik-baik aja, kan? Gue sempet khawatir…”
Nadira tersenyum, “Gue baik, Sil. Sekarang, gue tahu gue gak sendiri. Gue punya orang-orang yang sayang sama gue.”
Kedua sahabat itu berjalan berdampingan, menikmati hujan yang menetes perlahan. Nadira kini lebih yakin, bahwa meski hidup penuh dengan luka, ia punya tempat berlabuh di hati orang-orang yang mencintainya tanpa syarat.
#Bersambung
Like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...