Bab 10: Menemukan Kedamaian di Tengah Badai

10.5K 357 1
                                    

Minggu siang yang tenang seharusnya bisa menjadi waktu bagi Nadira untuk melarikan diri dari segala kekacauan yang selalu mengganggu pikirannya. Kak Dita, seperti biasa, pergi keluar bersama teman-temannya, meninggalkan rumah sepi. Bagi Nadira, ini adalah momen langka yang harus dimanfaatkannya untuk menemukan ketenangan—setidaknya untuk sementara.

Alih-alih mengikuti jejak Kak Dita yang gemar berpetualang, Nadira memilih berdiam di kamar. Ia menyetel lagu favoritnya, "Stronger" dari Kelly Clarkson, dan mulai bernyanyi dengan penuh semangat. Musik memang menjadi pelariannya, cara paling sederhana untuk menyampaikan kegelisahan hatinya tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.

Dengan mikrofon di tangan, Nadira melantunkan lirik demi lirik, seolah-olah menumpahkan semua keresahan yang selama ini ia simpan. Namun, saat suaranya mulai meninggi, sebuah ketukan keras di pintu mengagetkannya, membuat ia buru-buru mematikan musik.

Saat membuka pintu, sosok Papa sudah berdiri dengan wajah tak senang. "Suara musik kamu berisik banget, Nadira. Papa sampai pusing dengernya," tegurnya dengan nada tinggi.

"Oh, maaf, Pa," balas Nadira sambil menunduk. "Aku nggak akan nyetel musik lagi."

Namun, tak sampai di situ, Papa melanjutkan. "Ya, bagus kalau kamu ngerti. Lagian, kamu tuh harusnya belajar lebih keras, bukan malah karaokean. Nilai kamu aja belum bagus."

Nadira terdiam, bingung kenapa Papa selalu memandangnya lebih rendah dibandingkan dengan Kak Dita. "Tapi, Pa, kenapa kalau Kak Dita yang nyanyi, Papa nggak pernah marah?"

Papa berhenti sejenak, menatap Nadira dengan tajam. "Karena suara Dita enak didengar. Lagipula, Dita nggak bikin malu keluarga ini."

Tanpa menunggu jawaban, Papa berbalik pergi, meninggalkan Nadira yang terpaku dengan perasaan sakit di dadanya. Ia kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu. Hatinya serasa remuk; kalimat-kalimat Papa tadi seolah-olah menciptakan luka yang tak kasat mata.

Nadira terduduk lemas di lantai, memeluk lututnya sambil merenung. Ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Ternyata dari Aldo—cowok yang selama ini selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Namun, hubungan mereka belakangan ini menjadi rumit setelah Nadira memutuskan untuk menjauh, demi menghindari konflik dengan Kak Dita.

Di layar, terpampang sederet pesan dari Aldo. Tak hanya itu, ada 15 panggilan tak terjawab yang menandakan bahwa Aldo benar-benar ingin bicara.

"Apa sih maunya dia?" gumam Nadira sambil membuka pesan Aldo satu per satu.

---

Setelah beberapa saat berpikir, Nadira akhirnya mengetik balasan. Dengan nada yang datar, ia menulis, "Maaf ya, Aldo. Lo nggak perlu tahu alasannya, yang penting lo jauhin gue."

Tak lama kemudian, Aldo membalas. "Gue cuma pengen tahu, Dira. Apa lo nggak anggap gue sebagai teman?"

Membaca balasan itu membuat Nadira tersentak. Selama ini, Aldo selalu ada untuknya. Namun, situasinya tak pernah sesulit sekarang. Dengan perasaan ragu, ia pun mengetik, "Kita bisa jadi teman, tapi tolong, jangan terlalu dekat."

---

Sore itu, Nadira memutuskan untuk keluar rumah. Ia tak ingin berlama-lama terjebak dalam kepenatan yang terus menghimpitnya. Dengan cepat, ia mengambil tas selempangnya dan menuju rumah Ibu dan Ayah, tetangganya yang telah dianggap sebagai orang tua kedua. Mereka selalu membuat Nadira merasa diterima apa adanya, sesuatu yang jarang ia rasakan di rumahnya sendiri.

Begitu sampai di sana, Nadira mengetuk pintu berwarna cokelat tua yang sudah mulai usang. "Assalamualaikum! Ibu? Ayah?" panggilnya.

Tak lama, Ibu membukakan pintu dan tersenyum lebar saat melihat Nadira. "Waalaikumsalam, Nadira! Ayo masuk, sayang," ajak Ibu sambil mempersilahkannya masuk.

"Di rumah nggak ada orang, Bu," kata Nadira, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. "Jadi, aku mampir ke sini aja."

"Nggak apa-apa, nak. Ibu dan Ayah selalu senang kalau kamu datang."

Ibu menyarankan Nadira untuk beristirahat di kamar yang sudah disediakan khusus untuknya. Meski tidak sebesar kamar di rumah, ruangan ini selalu terasa hangat dan nyaman. Setelah menyimpan tasnya, Nadira keluar kamar dan melihat rumah dalam keadaan sepi.

---

Sambil menunggu Ibu dan Ayah, Nadira memutuskan untuk membantu beres-beres. Ia membersihkan dapur, mencuci piring, dan merapikan meja makan. Ketika Ibu kembali ke rumah, ia tampak terkejut melihat rumah yang sudah bersih dan rapi.

"Ya ampun, Nadira. Ini semua kamu yang beresin?" tanya Ibu, takjub.

"Iya, Bu. Aku cuma pengen bantu-bantu aja. Kan aku sering numpang di sini," jawab Nadira sambil tersenyum kecil.

"Nggak usah repot-repot, nak," kata Ibu, lalu memeluk Nadira dengan hangat. "Kamu tahu, kamu ini udah seperti anak sendiri buat kami."

Rasa haru memenuhi dada Nadira. Pelukan Ibu memberinya kekuatan yang sudah lama ia rindukan. Dalam hati, Nadira berjanji untuk selalu menjaga hubungan baik dengan mereka, yang selalu ada untuknya di saat-saat sulit.

Ketika Ayah pulang, mereka bertiga makan bersama sambil bercanda tawa. Ayah pun memuji masakan Nadira yang sederhana namun lezat. "Wah, kalau kamu masak terus di sini, Ayah bisa-bisa nggak mau makan masakan Ibu lagi," candanya.

Suasana hangat itu membuat Nadira merasa seakan sedang berada di keluarga ideal yang selama ini hanya ada dalam angan-angan. Mereka makan bersama, saling menghargai, dan mendukung satu sama lain tanpa syarat. Bahkan saat pulang pun, Ibu dan Ayah tak henti-hentinya memeluk dan mengingatkan Nadira bahwa mereka selalu ada untuknya.

Saat berjalan menuju halte bus, Nadira merasa lebih kuat. Di tengah perjalanan pulang, pikirannya melayang ke dalam obrolan mereka tadi. Ia sadar, bahwa tak peduli seberapa jauh hubungan darah, orang-orang yang benar-benar peduli padanya akan selalu memberinya tempat untuk kembali.

---

Sampai di rumah, Nadira disambut suasana hening. Dengan perlahan, ia membuka pintu kamar dan berbaring di tempat tidur. Pikiran tentang Aldo, Kak Dita, dan keluarganya berputar di kepala. Malam itu, Nadira menatap langit-langit kamarnya, penuh dengan harapan bahwa suatu saat ia akan menemukan kebahagiaan sejati. Setidaknya, ia tidak sendiri; Ibu dan Ayah selalu ada untuknya.

Bab ini berakhir dengan Nadira yang memejamkan mata, penuh dengan rasa syukur dan ketenangan yang jarang ia rasakan. Tuhan, bisiknya dalam hati, terima kasih atas kehadiran orang-orang yang memberiku kekuatan.

#Bersambung

Like and comment 🥰

Di Persimpangan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang