Bab 9 : Batas yang Kian Samar

10.2K 365 6
                                    


Malam semakin larut. Rintik hujan turun perlahan, seolah ikut meredam kegelisahan Nadira. Sambil duduk di sofa kamarnya, Nadira menatap kosong ke luar jendela. Semenjak Sisil pulang, kata-kata sahabatnya itu terus terngiang-ngiang dalam benaknya. Sisil benar-dia harus mulai berani menghadapi keluarganya, tapi entah bagaimana caranya. Rasa takut dan cemas menyelimutinya seperti kabut yang tak kunjung sirna.

Hingga tak lama, Nadira mendengar suara ketukan pelan dari pintu kamarnya. Ternyata Mama. "Boleh Mama masuk, Dira?"

Nadira sedikit terkejut. Jarang sekali Mamanya masuk ke kamarnya, apalagi malam-malam begini. Dia mengangguk, meski masih menahan napas, tak tahu apa yang akan dibicarakan.

Setelah duduk di ujung tempat tidur Nadira, Mama membuka pembicaraan, "Dira, kamu dekat dengan Aldo, ya?"

Nadira mengangguk pelan, tak ingin memicu perdebatan yang lebih besar. "Iya, Ma. Aldo teman yang baik kok."

Mama menatapnya dengan raut wajah datar, "Mama cuma berharap kamu tahu batas, Dira. Kamu itu masih anak kecil. Jangan terlalu cepat berpikir soal hal-hal seperti itu."

Nadira menahan diri untuk tidak bersikap defensif. Di dalam hatinya, ada rasa ingin membela diri, namun dia hanya mengangguk pelan, memilih untuk mendengarkan. "Iya, Ma, aku ngerti," jawabnya singkat.

"Ya sudah, itu aja," Mama berkata sambil berdiri, bersiap keluar dari kamar. Tapi tiba-tiba Nadira memanggilnya, "Ma?"

"Ya?"

"Aku pengen kita bisa bicara lebih sering, Ma. Mungkin... aku pengen tahu apa yang Mama dan Kak Dita pikirkan tentang aku, tentang hidup aku."

Mama terdiam. Sejenak, terlihat ekspresi lembut yang jarang Nadira lihat dari wajah ibunya. Tapi kemudian Mama hanya mengangguk dan menutup pintu, meninggalkan Nadira dalam keheningan.

Esok harinya...

Sore itu langit mulai berubah warna, sinar matahari yang meredup mewarnai langit dengan semburat jingga. Nadira melangkah pelan di sepanjang koridor sekolah, pikirannya dipenuhi konflik batin yang semakin sulit ditepis. Aldo, cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul dalam pikirannya, tak lain adalah teman sekolah Kak Dita. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau ia harus mengambil jarak darinya-demi Kakaknya sendiri.

Di rumah, Nadira mencoba melupakan segalanya. Tapi itu tak semudah yang dibayangkan. Pikirannya berputar pada perasaan yang mengganggu, seolah tak ingin memberinya kesempatan untuk tenang.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Tanpa pikir panjang, ia segera mengangkat panggilan itu. Nadira mengira itu Aldo, tapi ternyata...

"Dira, lo kenapa sih? Ini gue, Sisil."

Nadira terkesiap. "Eh, Sisil... Maaf ya, gue kira Aldo."

Sisil yang sudah bertahun-tahun jadi teman dekat Nadira pun merasa ada yang tak beres. "Aldo nelepon lo? Kenapa gelisah banget suaranya?"

Nadira terdiam sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Akhirnya, dengan sedikit enggan, ia meminta Sisil datang ke rumahnya.

---

Beberapa menit kemudian, Sisil tiba di rumah Nadira. Sesampainya di kamar, Sisil memaksa Nadira untuk menceritakan semua yang terjadi. Nadira pun akhirnya mengungkapkan dilema yang selama ini ia pendam; rasa ingin dekat dengan Aldo namun terhalang oleh rasa sayangnya pada Kak Dita.

"Kalo menurut gue, Dira, lo gak salah kok punya perasaan kayak gitu," kata Sisil sambil menatap Nadira dengan penuh simpati. "Tapi kalo lo ngerasa perlu ngalah buat Kak Dita, mungkin cara paling baik adalah jaga jarak."

Mendengar saran Sisil, Nadira merasa sedikit lebih tenang. Namun, kehadiran Sisil tak lama kemudian memancing perhatian keluarganya. Mama dan Kak Dita yang baru saja pulang dari mall mendapati Sisil di rumah, dan mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyindir Nadira.

"Aduh, temenan sama Nadira di sekolah buangan gitu?" ujar Kak Dita sambil tertawa sinis. Nadira hanya bisa menahan napas sambil berusaha tidak menunjukkan kekesalannya.

Namun, Sisil, yang selama ini sabar, akhirnya angkat bicara. Dengan tenang tapi penuh ketegasan, ia mengatakan bahwa kecerdasan bukan hanya soal nilai akademik, tapi juga hati dan sikap.

"Ada orang yang pintar banget di sekolah, tapi kalo hatinya jahat, ya gak ada gunanya," ujar Sisil sambil tersenyum sinis ke arah Kak Dita.

Situasi makin memanas ketika Kak Dita mulai menuduh Nadira mendekati Aldo-seseorang yang menurut Kak Dita adalah "pacarnya." Sisil tak tinggal diam. Dengan gaya santainya, ia menjawab bahwa Aldo tak pernah mengakui Dita sebagai pacarnya, bahkan menyebutkan bahwa Aldo sedang tertarik pada orang lain.

---

Setelah Sisil pergi, Nadira merenung tentang apa yang baru saja terjadi. Kata-kata Sisil membuatnya sadar akan satu hal: bahwa kebahagiaan dan ketenangan tak selalu datang dari persetujuan orang lain, bahkan keluarga sendiri. Meski terasa pahit, mungkin ini saatnya untuk menjalani hidup dengan lebih kuat, meski harus sering merasakan sakitnya tak dianggap.

Di tengah perjalanan hidup yang penuh tantangan itu, Nadira menyadari sesuatu yang penting-teman-teman seperti Sisil dan Aldo adalah orang-orang yang memberi kekuatan, yang selalu membuatnya merasa tidak sendirian. Bagi Nadira, meski jalan menuju pemahaman keluarganya masih panjang, dia merasa jauh lebih kuat dan lebih berani untuk menjalani hari-harinya.

Akhir Bab :

Nadira kini mengerti bahwa setiap perubahan besar membutuhkan waktu. Dalam diam, dia menatap langit malam, penuh harapan dan rasa syukur. Tuhan telah mengirimkan malaikat-malaikat kecil dalam hidupnya, yang membuatnya tetap bertahan dan berani menghadapi dunia.

#Bersambung

Like and comment 🥰

Di Persimpangan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang