Hari pertama sekolah bagi Nadira Asyla Cantika adalah sebuah awal yang bercampur harapan dan kecemasan. Setelah bersiap-siap, dia melangkah ke dapur mencari Bi Rina, yang sudah menyiapkan bekal untuknya dengan senyum khas yang tak pernah pudar.
"Pagi, Bi," sapa Nadira dengan ramah.
"Eh, pagi juga, Non Dira," balas Bi Rina dengan senyum tulus. Di antara para perempuan di rumah itu, hanya Bi Rina yang selalu menyambutnya dengan kehangatan yang membuat Nadira merasa sedikit tenang.
"Ini bekalnya, Non. Jangan sampai telat makan, ya," pesan Bi Rina sambil memasukkan bekal itu ke dalam tas Nadira.
Tak lama kemudian, Nadira pun berangkat sekolah dengan diantar sopir pribadi. Sementara itu, kakaknya, Dita, diantar langsung oleh Papa yang sekalian berangkat kerja. Dalam perjalanan, Nadira memperhatikan hiruk-pikuk kota dari balik jendela mobil. Hatinya berdebar. Di sekolah nanti, mungkinkah ia akan menemukan teman baru yang bisa mengisi hari-harinya?
Sesampainya di Sekolah...
Begitu sampai di sekolah, Nadira berjalan menuju ruang kelasnya, kelas 10 IPA 2 yang terletak di lantai dua. Dengan langkah hati-hati, dia memasuki kelas, merasa gugup. Di deretan bangku dekat jendela, dia menemukan kursi kosong dan memutuskan untuk duduk di sana.
Di sebelahnya, seorang gadis cantik tampak sedang asyik dengan ponselnya. Gadis itu segera menoleh dan menyapanya dengan senyum lebar.
"Hai! Salam kenal. Nama gue Silvia Andriani. Lo bisa panggil gue Sisil," ucapnya ceria sambil meletakkan ponselnya.
Nadira terkejut. Sisil tampak begitu ramah dan tidak ragu memperkenalkan dirinya lebih dulu. "Nama aku Nadira Asyla Cantika. Panggil saja Dira. Salam kenal ya," jawab Nadira, tersenyum lega.
Keduanya langsung akrab, membicarakan segala hal yang biasanya menjadi topik perkenalan; mulai dari hobi hingga makanan kesukaan. Nadira merasa senang memiliki teman yang ceria seperti Sisil, setidaknya satu orang yang bisa membuatnya merasa nyaman di sekolah baru ini.
Tak lama kemudian, bel berbunyi tanda pelajaran dimulai. Waktu berlalu hingga jam pelajaran usai, dan saat bel pulang berbunyi, Nadira sudah bersiap untuk meninggalkan kelas.
"Lo pulang sama siapa?" tanya Sisil sambil melihat sekeliling, seolah mencari sesuatu.
"Um, dijemput," jawab Nadira.
"Oh yaudah, gue duluan ya!" ujar Sisil sambil melambaikan tangan dan berjalan menuju halte di seberang sekolah, tempat bus kota sering berhenti.
Menunggu yang Tak Kunjung Datang
Satu jam berlalu, dan Nadira masih setia menunggu Pak Juki, sopir pribadinya. Namun hingga saat itu, Pak Juki belum juga tiba. Hati Nadira mulai cemas. Apa mungkin jalanan macet? Atau ada masalah lain?
Setelah menunggu lebih lama, Nadira memutuskan untuk naik bus saja. Dia berjalan ke halte dengan hati-hati, mencari bus yang akan mengantarnya pulang.
Sesampainya di Rumah...
"Assalamualaikum, Dira pulang!" seru Nadira saat memasuki rumah, berharap ada sambutan hangat. Namun sambutan yang ia terima ternyata jauh dari harapan.
"Waalaikumsalam. Gak usah teriak-teriak bisa gak sih?! Masih tahu sopan santun kan?!" seru Mama dari ruang tamu tanpa mengalihkan pandangan dari majalah yang dibacanya. Nadira tercekat, menahan sakit di hatinya.
"Maaf, Ma. Oh iya, tadi kenapa Pak Juki nggak jemput aku? Ke mana dia?" tanyanya, mencoba mengendalikan nada suaranya agar tetap tenang.
"Pak Juki lagi jemput Dita. Kan kamu masih bisa naik kendaraan umum. Gak usah manja, deh!" balas Mama dengan nada tak acuh. Nadira terdiam. Ia merasa kecewa, tetapi tak ingin memperpanjang percakapan. Dengan langkah berat, dia menuju kamarnya, meletakkan tas, dan langsung merebahkan diri di kasur.
Di Kamarnya...
Bruk!
Nadira terjatuh di kasur, merasakan lelah yang luar biasa setelah hari pertama yang cukup berat.
"Ahh... Capeknya...." gumamnya, merasakan ngilu di pinggangnya. Seharian tadi, ia harus membawa buku-buku berat ke perpustakaan, piket membersihkan kelas, dan pulang dengan naik bus. Rasanya seluruh tubuhnya pegal.
"Aduh, pinggangku serasa copot..." keluhnya, memejamkan mata mencoba menenangkan diri.
Tak lama, ia mendengar suara Kak Dita pulang.
"Mama! Aku pulang!" seru Dita.
"Ehh, anak Mama yang cantik sudah pulang. Gimana sekolahnya? Seru?" sambut Mama dengan nada penuh perhatian yang terdengar sampai ke telinga Nadira di kamar atas.
"Seru, dong, Mah! Aku punya banyak teman, bahkan ada kakak kelas yang ganteng banget!" jawab Dita penuh semangat.
"Oh ya? Terus, terus?" Mama terdengar antusias.
"Hm, ntar deh aku kenalin ke Mamah. Aku juga baru mulai PDKT sama dia," jawab Dita, setengah berbisik tapi penuh antusias.
"Secepat itu, nak?"
"Iya, Ma!" Nadira hanya bisa mendengarkan percakapan mereka dengan hati yang mulai bergetar.
"Duh, anak Mama. Oh ya, gimana pelajarannya?" tanya Mama dengan nada bangga.
"Baru saja masuk hari pertama, aku sudah dapat nilai tertinggi!"
"Wah, kamu benar-benar hebat! Tidak seperti adikmu yang...," ucapan Mama terpotong, namun kalimat itu sudah cukup membuat hati Nadira terasa tersayat.
Nadira menggigit bibirnya, menahan sakit yang terasa semakin kuat. "Ma, aku nggak bodoh! Aku nggak! Aku akan buktiin ke kalian kalau aku bisa!" gumam Nadira dengan tekad. Selama ini dia hanya diam, tapi kini dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk meraih penghargaan dari keluarganya.
Mama dan Kak Dita melanjutkan percakapan mereka tanpa menyadari bahwa Nadira mendengarkan. Setelah beberapa saat, dia mendengar Mama meminta Dita untuk ganti baju. "Ganti baju dulu, sayang. Nanti Mama masakin makanan kesukaan kamu," ujar Mama.
Nadira hanya bisa terdiam, mendengarkan langkah-langkah Mama yang begitu ringan dan penuh perhatian terhadap Dita. Ia menatap langit-langit kamarnya. Sejenak, bayangan pelukan hangat dan senyuman Mama yang penuh kasih terlintas di pikirannya. Tapi itu hanyalah bayangan.
Di dalam hatinya, Nadira menyimpan harapan yang selama ini tak terucap. Kapan ya, aku bisa seperti itu? Kapan Mama bisa tersenyum untukku? Aku nggak peduli seberapa kaya keluarga ini. Aku cuma ingin dicintai.
Malamnya, Nadira bangun di tengah tidur yang tak nyenyak. Hujan deras mengguyur, dan suara petir yang keras membuatnya tersentak. Dia duduk di tepi jendela, menatap ke arah hujan yang turun deras. Kesendirian semakin terasa di hati kecilnya.
Dia mengeluarkan jurnal dan mulai menulis:
"Tuhan, jika aku harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan cinta mereka, berikan aku kekuatan untuk bertahan."
Air mata mengalir di pipinya. Meski pahit, Nadira bertekad untuk tidak menyerah. Dia akan membuktikan dirinya, bahkan jika harus melalui jalan yang panjang dan berliku.
Kini, Nadira hanya bisa menunggu. Menunggu waktu di mana semua akan berubah, di mana ia akan dihargai dan dicintai.
#Bersambung...
like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...