Di suatu pagi yang cerah, Dira terbangun dengan semangat baru. Semalam, ia dan kakaknya, Dita, menghabiskan waktu di atap rumah untuk saling berbagi cerita. Di bawah langit yang bertaburkan bintang, mereka berusaha memahami luka yang selama ini terpendam. Momen itu terasa istimewa, seolah dinding yang membatasi mereka mulai retak.
Setelah bersiap-siap, Dira pergi ke sekolah dengan penuh harapan. Ia ingin melanjutkan pembicaraan dengan Dita, yang mungkin bisa membawa kedamaian di antara mereka. Di sekolah, ia bertemu dengan Sisil di gerbang.
"Ra, kemarin lo kemana? Gak masuk, gak ada keterangan," tanya Sisil dengan nada khawatir.
"Aku gak enak badan, Sil," jawab Dira, mencoba menyembunyikan beban yang ia rasakan.
"Kok gak bilang sih? Gue khawatir, tau, takut lo kenapa-napa," jawab Sisil.
"Hehe, makasih udah khawatir. Tapi aku gak papa kok sekarang."
Di tengah obrolan mereka, Reza tiba-tiba muncul. "Boleh duduk bareng gak nih?" tanyanya.
"Gak boleh," sambar Sisil dengan wajah jutek.
"Gak papa, Sil. Kamu lihat tuh, meja kantin udah penuh. Boleh kok, Za," Dira berusaha meluruskan suasana.
"Eh, btw, lo bisikin apa ke Kak Merry sampe muka dia kesel gitu?" tanya Sisil pada Reza.
"Gak ada. Gue cuma bilang kalo bedaknya ketebelan," jawab Reza santai.
Dira dan Sisil saling tatap, terkejut dengan ketidakpedulian Reza terhadap Kak Merry, kakak kelas yang dikenal galak. Mereka melanjutkan hari itu dengan gelak tawa dan canda.
---
Setelah pulang dari sekolah, Dira tiba di rumah dan melihat Mama sedang menelpon seseorang.
"Iya, Jeng, tunggu ya. Aku gak mungkin pergi sendiri. Nih lagi nungguin anak pulang sekolah. Biar ada yang nemenin."
"Aduh, Dita kok belum pulang ya?" Mama terlihat gelisah.
Melihat kondisi Mama, Dira menghampirinya. "Ma, kenapa?" tanyanya.
"Nah, Dira, kamu anterin Mama ke tempat reuni teman-teman Mama ya," ucap Mama dengan wajah ceria.
Dira terkejut. Setelah sekian lama tidak diajak ke acara seperti itu, harapannya tumbuh. "Se-sekarang, Ma?"
"Ya sekarang lah, Dira. Masa tahun depan!" jawab Mama, terlihat sabar.
"Ya--yaudah, Ma. Aku ganti baju dulu ya."
Dengan semangat, Dira naik ke kamar dan mengganti seragamnya dengan pakaian terbaik. Ia merias dirinya secantik mungkin agar tidak memalukan Mama. Saat siap, Dira keluar dengan senyuman yang lebar. Hari itu terasa begitu cerah.
Namun, saat turun, senyumnya mendadak pudar ketika melihat Kak Dita yang sudah rapi tanpa seragamnya. "Dita udah dateng, jadi kamu batal ikut Mama. Ayo sayang," ucap Mama enteng, menggandeng tangan Dita.
Dira merasakan hatinya hancur. Kenapa Kak Dita selalu muncul di saat-saat seperti ini? Ia merasa terpinggirkan, seolah harapannya diabaikan begitu saja.
"Kak Dita..." bisiknya, tetapi suaranya tidak terdengar. Kecewa menyelimuti dirinya.
---
Setelah mengalami kekecewaan itu, Dira memutuskan untuk berkunjung ke rumah orangtua angkatnya. "Assalamualaikum," ucapnya ketika berdiri di depan pintu.
"Waalaikumsalam," jawab kedua orangtua yang ada di dalam. Namun, Dira terkejut saat melihat Aldo di sana.
"Aldo?" serunya. "Kenapa lo ada di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...