Bab 13: Menembus Dingin dan Rasa Sepi

9.4K 302 0
                                    


Hari itu langit mendung, seakan ikut merasakan sepinya hati Nadira. Sepulang sekolah, ia mengendarai motor bersama cowok yang dikelasnya tadi. Hujan tiba-tiba turun begitu deras hingga membuat keduanya berhenti dan berteduh di halte terdekat. Jaket Reza segera ia sodorkan pada Nadira yang tampak menggigil.

"Lo pake ini, muka lo pucet," ujar Reza sambil melepas jaket anti air miliknya.

"Ma-makasih, Re-Reza," jawab Nadira sambil membaca name tag di seragam Reza. Meski teman satu kelas, nama Reza jarang ia dengar. Tentu saja Nadira merasa tak enak hati karena baru tahu namanya.

Reza hanya tertawa kecil sambil menatapnya. "Sekian lama lo sekolah di sini, baru tau nama gue? Jangan-jangan semua temen lo juga gak tau?"

"Maaf ya... aku memang gak begitu hafal nama teman-teman, apalagi yang gak deket banget."

"Iya, gak apa-apa kok," Reza tersenyum. "Yang penting sekarang lo udah tau nama gue kan?"

Nadira mengangguk sambil tersipu. Di bawah langit yang gelap dan udara dingin yang menusuk, perasaan kikuk melingkupi mereka. Setelah hujan sedikit reda, Reza menyalakan motornya lagi dan melanjutkan perjalanan dengan pelan.

Sampai di depan rumah, Nadira turun dan tersenyum kaku. "Makasih banyak ya, Za. Kamu beneran baik banget, udah repot-repot anterin."

"Gak masalah. Besok gue jemput lagi ya?" tanya Reza tiba-tiba.

"Gak usah, Za. Aku bisa sendiri kok."

"Pokoknya besok gue jemput, udah gak usah banyak protes," jawab Reza sambil tersenyum, kemudian menyalakan motor dan melambaikan tangan.

Nadira pun masuk ke rumah dengan jaket Reza masih tersampir di bahunya. "Ya ampun, aku lupa balikin jaketnya!" gumamnya, merasa sedikit bersalah.

---

Rumah terasa begitu sepi. Nadira langsung masuk ke kamarnya dan meletakkan tas dengan sembarangan di atas tempat tidur. Hari itu cukup melelahkan, dan dia merasa senang ada Sisil yang selalu siap menemani, dan juga cowok tadi yang entah kenapa mau repot-repot mengantar.

Namun, di dalam hatinya, Nadira tetap merasakan semuanya biasa saja. Cowok itu mungkin baik, tapi dia merasa belum ada alasan untuk merasa lebih dari sekadar teman. Baginya, cowok itu seperti teman yang muncul tiba-tiba, memberikan sedikit warna dalam hari-harinya tanpa meninggalkan kesan mendalam. Nadira kembali melanjutkan malamnya dengan tenang, meresapi momen kebersamaannya dengan Sisil dan menghargai pertemanan yang mungkin akan membawa mereka ke cerita yang lebih panjang.

Tak lama, pikirannya tetap melayang pada jaket Reza yang kini tergantung di kursi meja makan.

"Aku balikin besok aja deh. Cuci dulu biar wangi," pikir Nadira.

Setelah memasak sepiring nasi goreng, Nadira menunggu kedatangan kakaknya, Dita. Jam menunjukkan pukul 19.45, namun Kak Dita belum juga pulang. Pikirannya mulai penuh dengan kekhawatiran. Dia mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Dita.

"Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif..." Nadira menelan ludah, merasa semakin cemas. Waktu berlalu, dan Kak Dita tak juga datang. Hingga pukul 22.30, rumah masih senyap. Makanan yang sudah ia masak kini dingin di atas meja, dan perutnya mulai terasa perih karena belum terisi sejak siang.

*Suara Bel Pintu*

"Semoga itu Kak Dita," gumam Nadira penuh harap sambil bergegas membuka pintu. Kak Dita berdiri di sana, tapi dalam kondisi berantakan dan dengan aroma alkohol yang begitu kuat.

"Kak! Kenapa? Kok bau alkohol gini? Kak, Mama sama Papa udah larang kakak pergi ke club lagi!" tegur Nadira sambil menahan khawatir.

"Bacot lo bisa diem gak sih?!" Kak Dita membentaknya dengan mata setengah terpejam. Nadira tersentak. Ia mencoba menahan tangannya yang gemetar untuk membantu kakaknya berjalan ke dalam.

Namun bukannya berterima kasih, Kak Dita malah mendorongnya, "Gue gak butuh bantuan lo, minggir!"

"Kak, pliss," Nadira masih mencoba mendekat. Namun, Kak Dita sempoyongan, lalu jatuh tersungkur. Dengan cepat, Nadira membantu membawa tubuh kakaknya ke kamar, mengabaikan rasa sakit di perutnya sendiri.

---

Esok Paginya

"Aww... kepala gue..." Kak Dita terbangun sambil memegang kepalanya yang terasa nyeri. Melihat Nadira di samping tempat tidur, ia langsung menggerutu.

"Lo ngapain disini?" Nada suara Kak Dita masih terdengar kasar.

Nadira menahan diri untuk tidak merespons terlalu emosional. "Semalam kakak pingsan, jadi aku bantu bawa ke kamar. Bisa nggak, Kakak berhenti pergi ke club? Aku khawatir sama Kakak..."

"Gak usah sok peduli lo!" Kak Dita menjawab sinis, lalu bangkit dari tempat tidur.

Nadira menarik napas panjang. Pikirannya berputar-putar memikirkan hubungan mereka yang semakin renggang. Kakaknya selalu kasar setiap kali ia mencoba bicara.

Setelah meninggalkan Kak Dita, Nadira pergi ke dapur untuk menghangatkan makanan yang ia buat tadi malam. Sambil makan, pikirannya kembali menerawang, memikirkan segala kesulitannya yang sering ia hadapi sendiri. Ketika ia sedang tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba bel rumah berbunyi lagi.

"Aldo? Kamu ngapain kesini?" Nadira merasa terkejut melihat Aldo berdiri di depan pintu.

"Kata Sisil, lo gak masuk hari ini. Gue mampir buat cek kabar lo. Lo gak apa-apa, kan?"

"Ya... cuma agak gak enak badan aja," jawab Nadira mencoba menutup-nutupi suasana hatinya dan masalah kakaknya barusan.

Aldo melihat Nadira yang tampak pucat, dan tanpa berpikir panjang, mengajaknya keluar. "Ayo ikut gue. Kita ke taman kota, ambil udara segar."

Awalnya Nadira menolak, tapi Aldo begitu gigih hingga akhirnya Nadira setuju setelah mengganti baju. Mereka berjalan ke arah taman kota yang tak jauh dari rumahnya. Sepanjang perjalanan, Nadira tidak banyak bicara, tetapi Aldo terus mencoba membuatnya tertawa dengan cerita-cerita konyolnya.

Ketika mereka tiba di taman, Aldo membawanya ke bangku kosong di bawah pohon besar. Mereka duduk, menikmati angin sore yang sejuk.

"Nadira, lo tau kan, kita gak harus selalu nunjukin ke orang lain kalo kita kuat?" Aldo berkata pelan sambil menatapnya.

Nadira terdiam. Entah kenapa, ia merasa tersentuh mendengar ucapan itu. "Kadang... gue cuma gak mau nambahin beban buat orang lain. Gimana pun juga, gue harus kelihatan baik-baik aja."

"Kalau begitu, anggap aja hari ini istirahat lo. Gue ada di sini buat dengerin." Aldo tersenyum, membuat Nadira merasa sedikit lega.

Keduanya duduk lama, saling bercerita tentang hari-hari mereka yang melelahkan. Tanpa Nadira sadari, beban di pundaknya terasa sedikit berkurang. Aldo benar, hari ini memang saatnya ia berhenti sejenak dan menerima kebaikan dari orang lain.

Di Persimpangan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang