Di sudut kantin yang ramai namun terasa sepi bagi mereka, Nadira dan Sisil duduk di meja paling pojok. Mereka berdua memang selalu memilih meja itu; ada sesuatu yang menenangkan di sana, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk suara teman-teman yang sedang bercanda atau makan dengan riang.
Sisil melirik Nadira yang terlihat murung sejak pagi. “Ra, gue ngerasa lo ada masalah. Lo tahu kan, feeling gue itu kuat banget,” kata Sisil, matanya menatap serius, mencoba menembus tembok yang Nadira bangun di sekelilingnya.
Nadira terkekeh kecil, berusaha menghindari percakapan serius ini. “Aduh, jangan natap aku gitu dong. Aku kan bukan pisang!” ucap Nadira sambil tersenyum, tapi senyumnya tak mencapai matanya.
Sisil hanya menggeleng, tak tergoda sedikit pun untuk tertawa. “Dira, gue serius. Lo tahu kan gue gak akan berhenti sebelum lo cerita.”
Nadira terdiam sejenak, mempertimbangkan. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya menceritakan perasaannya tentang keluarganya; betapa ia merasa selalu diabaikan oleh ayah dan kakaknya. Sambil berbicara, nadanya berubah lirih. Meski ia ingin marah, ada kasih sayang yang selalu menghalangi amarah itu.
“Ra… kenapa lo gak cerita dari dulu?” tanya Sisil pelan, terkejut sekaligus sedih mendengar cerita Nadira.
“Karena… aku gak mau menjatuhkan harga diri mereka, Sil. Mereka tetap keluargaku. Aku sayang mereka meskipun mereka begitu ke aku,” jawab Nadira, suaranya bergetar.
Sisil mengangguk, matanya penuh simpati. “Lo bener-bener anak yang kuat, Ra. Gue salut. Tapi gue harap lo tahu, kalau ada batasannya juga buat tetap sabar.”
Nadira hanya menunduk, merasa sedikit lega bisa berbagi beban. Dalam hening itu, Sisil meraih bahu Nadira, memberinya tepukan pelan. “Lo gak sendiri, Dira. Gue sahabat lo, dan kapanpun lo butuh gue, gue ada buat lo.”
Kedua gadis itu saling menatap, masing-masing menemukan ketenangan dalam mata satu sama lain. Untuk pertama kalinya, Nadira merasa beban yang selama ini menyesakkan dadanya sedikit berkurang.
“Lo tahu, Sil, aku kira gak ada orang yang peduli sama aku selain orang tua angkat aku. Ternyata aku salah. Ternyata ada sahabat yang bener-bener mau ada buat aku.” Nadira tersenyum haru.
Sisil menepuk bahunya lagi. “Iya, Ra. Pokoknya, dalam keadaan apa pun, lo harus kuat ya. Semua pasti akan indah pada waktunya.”
Keduanya saling menatap dan tersenyum. Setelah percakapan panjang itu, mereka berniat melanjutkan makan, tapi bakso di depan mereka sudah dingin. Sisil tertawa melihat baksonya yang terasa dingin saat dicicipi.
“Dramatis banget kita ya, Ra. Sampe bakso aja keburu dingin!” ucap Sisil sambil tertawa, dan Nadira akhirnya ikut tertawa. Suasana yang tadi mendung berubah cerah dalam sekejap.
---
Babak Baru di Kelas
Bel masuk akhirnya berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran terakhir hari itu: Matematika. Pelajaran yang Nadira paling takuti, karena sejak dulu, hitungan selalu jadi musuh bebuyutannya. Tapi entah kenapa, hari ini Nadira merasa lebih semangat. Mungkin karena dukungan Sisil tadi yang membuatnya percaya diri untuk mencoba.
Pak Dewa, guru matematika mereka yang terkenal disiplin, berdiri di depan kelas, mulai menjelaskan rumus-rumus baru. Nadira memperhatikan dengan saksama, bahkan mencatat hal-hal kecil yang biasanya ia abaikan.
“Dira, lo beneran perhatiin, tuh?” Sisil berbisik di sebelahnya, terkejut melihat sahabatnya yang biasanya malas memperhatikan pelajaran ini.
“Iya dong, Sil. Kali ini aku gak mau nyerah,” jawab Nadira sambil tersenyum kecil.
Setelah selesai menjelaskan, Pak Dewa memberi tugas soal-soal di papan tulis. Semua murid langsung sibuk mengerjakan, termasuk Nadira yang berusaha keras memahami setiap langkah. Sesekali ia menggaruk kepalanya, kebiasaannya kalau sedang pusing atau bingung. Tapi kali ini, ia terus berusaha sampai selesai.
Pak Dewa mulai mengumpulkan dan mengoreksi hasil kerja para murid satu per satu. Selama menunggu, teman-teman sekelasnya tak bisa duduk diam. Beberapa berjalan ke sana kemari, ada yang asyik bermain game di HP, dan beberapa sibuk bercermin, seperti sedang mengecek apakah wajah mereka sudah cukup sempurna.
Tak lama kemudian, Pak Dewa mulai memanggil nama murid-murid untuk membagikan hasil tugas mereka. Nadira berdebar saat namanya dipanggil, takut kalau nilainya mengecewakan. Tapi ketika ia melihat hasilnya, matanya membulat kaget.
95
Nadira menatap angka itu, masih tak percaya. Nilai hampir sempurna, sesuatu yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya di pelajaran matematika. Rasa bahagia dan haru bercampur jadi satu.
“Hei, Dira, selamat! Lo bisa dapet nilai 98!” ujar Sisil di sebelahnya, menepuk bahunya dengan bangga.
Nadira tersenyum, matanya berbinar. “Gila, gue nggak nyangka bisa dapet nilai segini.”
“Nah, itu tandanya lo sebenarnya bisa! Lo aja yang ragu sama diri lo sendiri selama ini!” Sisil berkata dengan nada bangga.
Nadira mengangguk, senyumnya semakin lebar. Untuk pertama kalinya, ia merasa berharga dan bahwa dia bisa melakukan lebih dari yang selama ini ia kira. Ia merasa ini bukan hanya soal nilai, tapi juga tentang pembuktian kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu.
---
Setelah hari yang melelahkan di sekolah, Nadira pulang dengan hati ringan. Malamnya, ia duduk di mejanya, menatap buku matematikanya sambil tersenyum. Keberhasilan kecil hari ini mengingatkannya bahwa meskipun keluarganya mungkin tidak selalu mendukungnya, ia tetap punya kekuatan sendiri untuk melangkah.
Nadira lalu membuka buku hariannya, mencatat tentang hari penuh pelajaran ini. Ia menulis, “Hari ini aku merasa punya harapan. Meskipun keluarga kadang terasa jauh, aku masih bisa bangkit dan membuktikan kalau aku bisa. Sisil, sahabatku, terima kasih sudah jadi cahaya kecil di hidupku.”
Malam itu, Nadira tidur dengan senyum di wajahnya, merasa untuk pertama kalinya ia bisa mencintai dirinya sendiri, bahkan di tengah keadaan yang kadang tak berpihak.
#Bersambung
like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Genç KurguDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...