Bab 11: Sebuah Awal yang Tak Mudah

10K 340 1
                                    

Hari itu, Nadira merasa lelah sekali setelah dua jam penuh berkutat dengan rumus-rumus fisika. Bersama temannya, Sisil, mereka duduk di kantin sekolah yang ramai, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengisi energi mereka kembali.

"Ra, mau makan apa?" tanya Sisil, sambil melihat menu kantin.

"Hm, bakso deh, satu. Tapi gak pedes ya," jawab Nadira. Ia sebenarnya penasaran, ingin sekali bisa menikmati makanan pedas seperti orang-orang lain, tapi tubuhnya sering kali bereaksi keras terhadap pedas, membuatnya menyerah sebelum mencoba.

Sambil menunggu Sisil yang sedang memesan makanan, tiba-tiba sebuah minuman tumpah mengenai seragam Nadira. Ia menoleh dan melihat siapa yang menumpahkannya. Ternyata itu Merry, kakak kelasnya yang terkenal populer dan memiliki geng sendiri di sekolah.

"Ups, basah ya... sorry, gue gak sengaja," ucap Merry sambil tersenyum tipis, meski tidak terlihat ada sedikit pun rasa menyesal.

Nadira hanya menghela napas dan mengambil tisu untuk membersihkan noda cokelat di seragamnya. "Iya gak apa-apa, Kak," katanya sambil tersenyum sopan.

Namun, Sisil yang datang sambil membawa nampan dengan dua mangkuk bakso dan es teh, segera meletakkannya dengan cukup keras. “Woi! Lo punya mata gak sih? Jalan liat-liat!” bentak Sisil yang jelas merasa marah melihat perlakuan Merry.

"Sil, udah ah. Dia juga gak sengaja," ujar Nadira, berharap Sisil tidak membuat keributan. Namun, Sisil terlihat semakin emosional.

“Diem, Ra! Orang kayak gini gak bisa dibiarkan. Gue tau dia sengaja numpahin minumannya ke baju lo!” tegas Sisil.

Merry mengangkat tangannya, hendak memukul Sisil. Namun, kedua temannya menahan dan menariknya menjauh. Merry akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kantin dengan tatapan sinis.

Setelah duduk, Sisil tampak masih memendam kekesalannya. Nadira pun merasa penasaran. "Sil, lo kayaknya ada dendam sama Kak Merry, deh. Cerita dong, kenapa sih?" tanya Nadira hati-hati.

Sisil menatapnya dengan tatapan kosong, seolah teringat kembali kejadian masa lalu yang tidak menyenangkan. "Dulu, di SMP, dia suka banget ngebully orang-orang yang menurutnya lebih rendah. Temen deket gue sampai pindah ke luar negeri gara-gara gak tahan sama perlakuan Merry dan gengnya."

Nadira mendengarkan dengan seksama. Ia tidak menyangka Merry punya sejarah kelam seperti itu. "Lo masih kesel banget sama dia, ya?" Nadira mencoba memahami perasaan Sisil.

"Banget. Tapi gue juga gak mau masalah ini jadi makin ribet. Mending kita makan aja sekarang, sebelum bakso kita keburu dingin," ujar Sisil sambil mencoba mengembalikan suasana.

Mereka akhirnya melanjutkan makan, meskipun kejadian tadi meninggalkan perasaan tidak nyaman di hati Nadira.

---

Setelah pulang sekolah, Nadira menghempaskan tubuhnya ke kasur, berusaha mengusir lelah. Namun, belum lama ia berbaring, suara ibunya memanggil dari bawah.

"Nadira! Cepat turun!" panggil ibunya dengan nada tegas.

Nadira langsung bangun dan turun ke bawah. "Ada apa, Ma?" tanyanya.

"Besok Mama sama Papa harus pergi ke Singapura. Kamu harus di rumah sama Dita ya," kata Mama sambil menatapnya tajam. "Dan ingat, kamu harus nurut sama kakak kamu. Jangan macam-macam!"

Nadira kaget. "I-iya, Ma," jawabnya, meski perasaan tidak enak mulai menguasai pikirannya. Menuruti Kak Dita bukan hal yang mudah. Kakaknya itu terkenal memiliki sikap dominan dan sering kali bersikap seenaknya.

Nadira melirik ke arah Kak Dita yang ada di sebelah ibunya. Kakaknya tersenyum penuh arti, seolah senang karena memiliki kendali penuh selama orang tua mereka pergi.

---

Keesokan harinya, setelah kedua orang tuanya pergi, Nadira mulai menghadapi hari yang penuh cobaan. Pagi-pagi, Kak Dita sudah membangunkannya dengan suara keras.

"Ra, bangun! Bantuin gue beresin kamar sekarang juga!" perintah Kak Dita.

Nadira, yang masih mengantuk, hanya bisa mengangguk dan segera mengikuti Kak Dita ke kamarnya. Kakaknya meminta bantuan untuk merapikan barang-barang, meskipun sebenarnya kamar itu tidak terlalu berantakan.

Setelah selesai membantu merapikan kamar, Nadira kembali ke kamarnya, berharap bisa punya waktu istirahat. Namun, tak lama kemudian, Kak Dita kembali mengetuk pintu kamarnya dengan keras.

"Ra! Gue lapar. Bikinin gue sarapan!" seru Kak Dita.

Nadira hanya bisa menghela napas panjang. Hari itu terus berjalan dengan perintah-perintah yang datang dari Kak Dita. Mulai dari membuat sarapan, membersihkan ruang tamu, hingga menjemput pakaian di tempat laundry.

Saat sore hari tiba, Nadira mulai merasa benar-benar kelelahan. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Sisil, mencari pelarian dan tempat untuk bercerita.

---

Di rumah Sisil, Nadira duduk di sofa sambil menyeruput segelas teh hangat yang disiapkan Sisil. "Lo kenapa kayak capek banget, Ra?" tanya Sisil heran melihat kondisi temannya.

Nadira menghela napas panjang. "Lo tau kan, Ma dan Papa gue ke Singapura. Mereka ninggalin gue di rumah sama Kak Dita, dan lo tau lah gimana sifat dia."

Sisil mendengarkan dengan penuh perhatian. Nadira melanjutkan ceritanya, tentang bagaimana hari itu Kak Dita memanfaatkan kesempatan untuk menyuruh-nyuruhnya tanpa henti. "Capek banget, Sil. Rasanya tuh kayak gue cuma dianggap pembantu di rumah."

Sisil tampak marah mendengar cerita Nadira. "Ra, lo gak bisa terus begini. Lo harus kasih tau orang tua lo tentang perlakuan Kak Dita."

Nadira menggeleng. "Gak mungkin, Sil. Mama sama Papa selalu berpihak sama Kak Dita. Mereka pasti bakal bilang gue yang kurang sabar atau berlebihan."

Mereka pun terus berbicara, berbagi kisah hingga perasaan Nadira menjadi sedikit lebih ringan.

---

Malam harinya, ketika Nadira pulang, Kak Dita menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi marah. "Lo darimana aja, Ra? Kok baru pulang?"

Nadira merasa bingung. "Aku tadi main ke rumah Sisil, Kak. Kenapa emangnya?"

"Kalo lo mau tinggal di sini selama Mama dan Papa pergi, lo harus nurut sama gue! Udah gue kasih tau kan tadi pagi?! Jangan ngelawan!” suara Kak Dita meninggi.

Nadira hanya bisa menunduk, menahan perasaannya yang semakin sakit. Ia merasa sudah cukup bersabar selama ini, namun tetap saja tidak dihargai.

Tanpa menunggu lebih lama, Nadira berjalan ke kamarnya dan mengunci pintu. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa lelah menjadi seseorang yang harus selalu mengalah.

---

Keesokan paginya, Nadira merasa lebih kuat. Ia bertekad untuk tidak lagi membiarkan Kak Dita atau siapa pun memperlakukan dirinya dengan tidak adil. Jika ia harus menuruti perintah Kakaknya, ia akan melakukannya dengan batasan.

Ketika Kak Dita datang pagi itu dengan perintah baru, Nadira mengangguk tanpa banyak bicara. Namun, kali ini ia menjawab dengan tegas.

"Ya, Kak. Aku akan bantu, tapi tolong jangan perlakukan aku seperti pembantu. Aku juga punya hak untuk istirahat."

Kak Dita terlihat kaget mendengar jawaban Nadira yang tidak biasanya. Meski masih memandang rendah, ia terlihat sedikit terkejut dengan sikap baru Nadira.

Dalam hatinya, Nadira merasa puas. Ini langkah kecil, namun ia tahu bahwa dirinya sedang mencoba untuk berubah. Ia mulai belajar untuk memperjuangkan dirinya sendiri, dan itu adalah sebuah awal yang baik.

Malam itu, Nadira duduk di balkon kamarnya, menatap bintang-bintang. Ia tersenyum tipis, mengingat apa yang telah ia lalui seharian. Mungkin, masih banyak rintangan yang harus ia hadapi. Tapi kini, Nadira memiliki keberanian untuk melawan ketidakadilan yang selama ini ia biarkan. Bagi dirinya, ini adalah sebuah awal yang tak mudah, namun sangat berarti.

#Bersambung

Like and comment 🥰

Di Persimpangan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang