Pagi itu, langit terasa muram, sama seperti hati Nadira yang gundah. Setelah semalam sibuk mengurusi Kak Dita yang pulang dalam keadaan mabuk, pagi ini ia merasa tidak punya tenaga untuk ke sekolah. Kak Dita tetap pergi keluar, meski masih dalam keadaan kurang stabil. Tidak lama setelah itu, pintu rumah Nadira kembali berbunyi. Di balik pintu, Aldo sudah menunggu dengan senyum lebarnya.
"Eh, lo? Ngapain lo kesini?" Nadira kaget melihat Aldo, teman dari sekolah lain, tiba-tiba datang di jam sekolah.
Aldo menyengir, lalu menjawab, "Sisil bilang lo gak masuk hari ini, jadi gue mampir. Yuk keluar sebentar!"
Awalnya Nadira ragu, apalagi Aldo mengaku kalau dia bolos hanya demi menemuinya. "Lah, lo gak sekolah? Gak enak ah, lo bolos gini."
Aldo mengedikkan bahu dengan santai, “Gak papa kok. Gue bosan di kelas, mending refreshing. Lagian, gue cuma bolos sekali ini kok.”
Meski masih merasa tak enak, Nadira mengangguk. Mereka lalu berjalan menuju taman kota yang tak jauh dari rumah Nadira. Di taman itu, keduanya duduk di bawah pohon rindang, menikmati hembusan angin yang sejuk.
Selama beberapa saat, mereka duduk diam, menikmati suasana. Namun, Nadira merasa ada sesuatu yang aneh. Suara langkah-langkah orang yang berolahraga, tawa anak-anak kecil yang bermain, dan angin yang berhembus seolah menciptakan perasaan asing dalam hatinya.
Sambil menatap langit mendung, Aldo tiba-tiba berkata, “Lo kenapa sih akhir-akhir ini kayak menjauh? Lo risih deketan sama gue?”
Kata-kata Aldo membuat Nadira tersentak. Dia ingin menjawab, tapi tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, Nadira khawatir jika hubungan mereka semakin dekat, Kak Dita akan semakin marah.
"Gue... Gue gak risih kok. Hanya aja, ada masalah di rumah," jawab Nadira akhirnya, sambil menunduk. Meski terkesan samar, Aldo bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya tengah menyembunyikan sesuatu yang berat.
"Ya udah, kalau lo gak mau cerita juga gak papa. Tapi ingat, kapan pun lo butuh teman, gue ada di sini," ujar Aldo dengan suara lembut.
Saat itu, Nadira merasa nyaman di samping Aldo. Rasanya, seolah semua kekhawatirannya menguap begitu saja.
Setelah beberapa lama, Nadira jam di ponselnya dan wajahnya berubah tegang.
“Gue harus pulang. Keburu Kak Dita sampai rumah duluan,” ujarnya terburu-buru.
“Kakak lo juga bolos?” tanya Aldo, penasaran.
“Nggak, Kak Dita lagi ke rumah temennya buat urusan penting…” jawab Nadira asal. Aldo hanya mengangguk dan mereka pun kembali pulang.
Sesampainya di rumah, Nadira merasa lega. Namun, rasa lega itu sekejap hilang begitu dia melihat sosok Kak Dita yang sudah berdiri di depan pintu, menatapnya tajam. Nadira tercekat, dan tahu, kakaknya tahu dia habis pergi dengan Aldo.
“Kak Dita…” gumam Nadira.
Kak Dita tidak langsung bicara. Dia hanya menatap Nadira dengan tatapan dingin. “Lo… janji gak akan deket-deket Aldo, kan?” Suaranya rendah, tapi Nadira tahu, kakaknya sedang marah.
“Kak, maafin aku. Aku cuma—”
“Lo suka Aldo, kan?"
Nadira menunduk, merasa bersalah, “Maafin aku, Kak. Aku gak bermaksud—”
“Lo tidur di luar malam ini,” potong Kak Dita dengan nada dingin. Nadira kaget, dan air mata mengalir di pipinya. Dia mencoba memohon, tapi melihat wajah kakaknya yang tidak menunjukkan belas kasih, Nadira akhirnya memilih menuruti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Fiksi RemajaDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...