Saat matahari beranjak tenggelam di ufuk, Dira menutup pintu rumah dengan perasaan campur aduk. Tadi, Aldo mengantarnya pulang, memberi kesan manis di akhir hari yang melelahkan. Namun kebahagiaan itu segera berubah saat ia membuka pintu kamarnya. Dira terperanjat. Ruang yang biasanya rapi kini tampak seperti kapal pecah, penuh dengan barang-barang berantakan.Pandangan Dira menyapu ruangan, lalu berhenti pada sosok yang berdiri di depan jendela—Kak Dita. Ekspresi sinis tersirat di wajah kakaknya yang sepertinya memang menunggunya pulang.
“Udah pulang lo?” sindir Kak Dita tanpa basa-basi.
Dira menelan ludah, lalu mencoba bersikap tenang. "I-iyah... Kakak ngapain di sini?"
“Ini semua hasil kerjaan gue. Lo suka?” tanya Dita sambil mengerutkan alis, nada suaranya penuh kemarahan.
Dira mundur, merasa terintimidasi. "Kak Dita, aku salah apa?"
“Lo nggak tau salah lo? Dimana sih otak lo!” jawab Dita sembari menekan kening Dira dengan jarinya. Dira merasa jantungnya berdebar kencang, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Apa yang Kakak lihat cuma salah paham!” Dira mencoba membela diri, tapi Dita menanggapi dengan senyuman sinis.
Dari arah luar, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Mama muncul di ambang pintu dengan ekspresi kaget melihat kondisi kamar Dira. "Ya ampun, Dira! Ini kamar apa kandang sapi? Jorok banget!"
“Mah, ini semua Kak Dita yang…” Dira mencoba menjelaskan, namun Dita menyela, dengan wajah polos berpura-pura tak bersalah.
“Nggak mungkin gue ngerusakin kamar lo. Mana mau gue nyentuh barang-barang lo itu!” Dita berkata dengan penuh penekanan, membuat Mama semakin menatap Dira dengan tatapan kecewa.
“Ada apa lagi ini, Dita? Kok kamu ribut sama adikmu?” Mama mencoba bertanya pada Dita.
“Ma, Dira deket sama Aldo. Dia itu gebetan aku. Aku gak terima kalau dia malah deket-deketin Aldo,” kata Dita penuh emosi, seolah berusaha membuat Mama berpihak padanya. Dira yang merasa dipojokkan, hanya bisa menatap tak percaya.
Mama berbalik memandang Dira, matanya tajam, seakan menuntut jawaban. "Dira, bener kamu deket sama pacarnya Kak Dita?"
“Nggak, Ma. Aku cuma pulang bareng Aldo karena kita kebetulan satu arah dan aku udah nunggu lama di halte tapi belum ada bus yang …” jawab Dira, suaranya hampir tak terdengar.
Tapi Dita tak membiarkannya selesai bicara. "Liat kan, Ma? Beneran dia ganjen ke Aldo. Gak tau malu!"
Mama menghela napas panjang, wajahnya penuh kekecewaan. "Dira, Mama nggak mau kamu bikin masalah dalam keluarga ini. Jauhin Aldo. Kakak kamu udah cukup menderita karena ini!"
Dira hanya bisa diam. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, mengapa dirinya selalu dipersalahkan tanpa kesempatan membela diri.
---
Setelah kejadian itu, Dira duduk terdiam di sudut kamar. Perasaannya campur aduk antara sakit hati dan marah. "Apa salah aku?" pikirnya dalam hati. "Kenapa aku selalu salah di mata mereka?"
Sejak ia gagal dalam ujian, seluruh keluarganya seakan menjauh. Orangtuanya selalu menekankan pentingnya kecerdasan, prestasi, dan martabat keluarga. Tapi mengapa tak ada keadilan bagi mereka yang tak mampu memenuhi ekspektasi mereka?
Ponselnya berdering, memecah lamunannya. Ia mengambil ponsel dengan enggan dan melihat nomor tak dikenal di layarnya. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk menjawab.
"Halo?"
Suara di seberang terdengar rendah dan hangat. "Halo, ini Dira, kan?"
"Iya. Ini siapa ya?"
"Gue, Aldo," jawabnya singkat. Dira terkejut sejenak, tak menyangka Aldo akan meneleponnya. Pikirannya langsung kembali pada permintaan Mama tadi.
"Hah? Dapet nomor aku darimana?"
"Dari Sisil," jawab Aldo. "Aku cuma pengen bilang maaf kalau pulang tadi bikin kamu gak nyaman. Gue gak tahu kalau..."
Dira menghela napas, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. "Aldo, maaf, tapi mulai sekarang kamu jangan hubungi aku lagi. Anggap aja kita gak pernah ketemu." Dengan cepat, Dira mematikan panggilan itu sebelum Aldo sempat membalas.
Dira tahu, ia hanya menjalankan permintaan keluarganya. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan luka yang semakin dalam, seperti sesuatu yang hilang dan tak tergantikan.
---
Di tempat lain, Aldo memandang ponselnya dengan bingung. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Perasaan cemas dan gelisah melingkupi hatinya. Apa salahnya? Apa yang membuat Dira menjauh begitu saja?
Hanya satu nama yang berkecamuk dalam pikirannya—Dira. Gadis itu telah menyentuh hatinya, membuatnya tersenyum tanpa alasan. Hanya Dira yang membuatnya merasa berbeda, dan sekarang gadis itu menjauh tanpa alasan yang jelas.
Aldo termenung, bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia akan membiarkan rasa itu memudar atau terus memperjuangkan perasaannya.
#Bersambung
Like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...