Setelah menjalani masa pemulihan yang melelahkan di rumah orang tua angkatnya, Nadira akhirnya siap untuk kembali ke rumah orang tua kandungnya. Aldo dan Sisil, sahabat-sahabatnya yang setia menemani selama masa sulit, mengantarnya dengan penuh harapan. Mereka bertiga berjalan bersama menuju rumah yang telah lama ditinggalkan Nadira, suasana campur aduk memenuhi hati Dira—antara rindu, takut, dan cemas.
Di depan rumah, Kak Dita sudah menunggu dengan senyum hangat, seolah ingin menyambut pulangnya Dira dengan semangat. Dita melangkah maju, membuka pelukan untuk Nadira. “Ra, akhirnya lo kembali!” katanya dengan tulus.
Nadira membalas pelukan itu, merasakan kehangatan yang sudah lama dirindukannya. “Iya, Kak. Maaf udah lama nggak pulang,” jawab Dira, suaranya pelan.
Namun, suasana ceria itu tak bertahan lama. Orang tua Nadira tiba beberapa menit kemudian. Mereka datang dengan ekspresi yang berbeda. Mamanya, yang terlihat tegang, langsung menghampiri Nadira. “Kemana aja kamu, Ra? Sudah sebulan lebih kamu nggak pulang. Berpura-pura baik-baik saja, ya?” suaranya penuh emosi.
“Ma, aku…” Nadira berusaha menjelaskan, tetapi ibunya sudah terlanjur melanjutkan.
“Gak usah banyak alasan. Perempuan kayak kamu itu udah berbulan-bulan nggak jelas, apa kamu nggak malu?” Mama Nadira menuduh dengan nada tinggi, membuat Dira terdiam. Rasa sakit dan rasa bersalah seolah menyesakkan dadanya.
Sementara itu, Papa Nadira berdiri di samping Mama, terlihat cemas meskipun terkadang ia mendukung perkataan istrinya. “Ra, kamu tahu kan kita khawatir. Kenapa kamu tidak memberitahu kami?” tanyanya, nada suaranya lebih lembut dibandingkan Mama, tapi tetap menegaskan ketidakpuasan.
Kak Dita, yang semula berdiri diam, tak bisa menahan diri. “Ma, jangan gitu. Bukan karena kesengajaan dia pergi, pasti ada alasannya,” katanya tegas. Ia ingin melindungi adiknya, ia tahu bahwa mengungkapkan rahasia tentang kondisi Dira bukanlah langkah yang bijaksana saat ini.
“Mungkin kalau Dira lebih sering pulang dan bilang apa yang terjadi, kita semua bisa lebih mengerti,” jawab Mama dengan nada menyudutkan, tetapi Dita hanya menggelengkan kepala.
Nadira menatap Kak Dita dengan penuh rasa terima kasih. Ia tahu bahwa Dita berusaha membelanya, tetapi juga merasakan beban yang dipikul Dita—sebagai kakak, ia harus menjaga rahasia tentang penyakit Nadira dari orang tua mereka.
Sementara itu, di luar rumah, Aldo merasa tak bisa lagi menahan emosinya. Ia tidak terima dengan sikap Mama Nadira yang terus menyudutkan temannya. “Ibu, Dira bukan perempuan yang tidak benar! Dia sudah berjuang keras selama ini, hanya saja anda tidak pernah peduli. Bukankah seharusnya Anda mencarinya selama ini?” Aldo menegaskan, suaranya bergetar penuh ketegangan.
Mama Nadira menatap Aldo dengan tajam, tetapi ia tetap berdiri kokoh. “Kamu hanya teman, Aldo. Jangan ikut campur urusan keluarga kami!” jawabnya dengan nada menyentak.
Aldo tahu, kata-katanya mungkin keras dan menusuk hati, tetapi ia merasa perlu untuk menyuarakan apa yang dirasakannya. “Tapi, Bu, Dira sudah cukup menderita. Cobalah untuk melihatnya dari sudut pandangnya! Dia butuh dukungan, bukan tuduhan!” kata Aldo, menatap tajam pada Mama Nadira.
Setelah suasana semakin tegang, Aldo menyadari bahwa ia mungkin sudah melangkahi batas. “Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud kasar,” katanya dengan nada lebih lembut, mencoba meredakan situasi.
Akhirnya, Mama Nadira terdiam, menatap Aldo sejenak sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah. Dita memeluk Nadira erat-erat, berusaha menenangkan adiknya.
“Jangan pikirkan mereka, Ra. Yang penting kamu sekarang sudah kembali,” bisik Dita, walau di dalam hatinya ia juga merasakan ketidaknyamanan.
Di luar, Aldo dan Sisil saling bertukar pandang, sama-sama merasa berat dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, sebelum mereka pergi, Papa Nadira menghentikan Aldo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...