Di balik senyum Nadira, tersimpan cerita yang jarang diketahui orang. Terlihat tenang dan ramah, namun hanya ia yang tahu bagaimana langkah-langkahnya menuju sekolah hari itu terasa begitu berat.
Langit pagi itu sedikit mendung, Nadira berjalan perlahan menuju halte. Pak Juki, sopir keluarga, sedang cuti untuk merawat anaknya yang sakit. Biasanya, dia yang akan mengantar Nadira ke sekolah. Tapi hari ini, Nadira sendirian. Sementara itu, Papa dan Kak Dita sudah berangkat lebih dulu. Mereka pergi bersama, meninggalkan Nadira tanpa sedikitpun berpikir untuk membawanya. Bahkan saat dia tahu kantor Papa dan sekolah Kak Dita hanya melewati sekolahnya, rasa tak dianggap selalu mengikutinya.
Setelah berjalan cukup lama, Nadira tiba di halte bus dan mulai menunggu. Namun, di saat itulah sebuah mobil melaju kencang melintasi genangan air di tepi jalan. Air kotor pun terciprat ke arah Nadira, mengotori seragam putihnya. Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang begitu tak peduli, jantungnya terasa mencelos. Itu mobil Papanya. Tanpa menoleh, tanpa sedikitpun berhenti, mobil itu berlalu begitu saja. Ternyata, orang yang seharusnya paling dekat dan peduli padanya malah yang membuatnya merasa terbuang.
Nadira menghela napas panjang, menahan air mata yang hampir tumpah. "Gak ada gunanya gue nangis, mereka gak bakal peduli," batinnya. Dengan cepat, ia membersihkan seragamnya sebisanya. Meski noda itu tak hilang sepenuhnya, Nadira berusaha menerima.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.20, hanya sepuluh menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi. Biasanya, bus akan datang tepat waktu, tapi pagi ini tampaknya sedang tidak bersahabat. Nadira mulai gelisah. "Daripada gue telat, mending gue lari aja," gumamnya dengan mantap, kemudian mulai berlari menyusuri trotoar dengan seragam yang sudah setengah basah.
Namun, tiba-tiba, sebuah motor berhenti tepat di depannya. Seorang pemuda dengan helm yang sedikit kusam melepaskan helmnya dan tersenyum. "Sekolah di mana?" tanyanya sambil memperhatikan Nadira yang terengah-engah.
"SMA Abadi Jaya," jawab Nadira singkat, mencoba melanjutkan langkahnya. Tapi pemuda itu menghalanginya lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
“Oh, searah. Yaudah, bareng gue aja,” tawarnya sambil menunjuk jok belakang motornya.
“Gak usah, gue lari aja,” jawab Nadira canggung. “Ntar lo malah jadi telat.”
“Sekolah gue masuknya jam delapan kok. Santai aja, masih sempet nganterin lo,” sahut pemuda itu sambil menggerakkan helmnya seolah menyuruh Nadira cepat naik.
Akhirnya, dengan sedikit ragu, Nadira menerima tawarannya. Dalam perjalanan, mereka tak banyak bicara. Nadira merasa canggung, tapi setidaknya dia tidak perlu khawatir terlambat lagi.
Sesampainya di sekolah, Nadira turun dari motor dan tersenyum kikuk. “Makasih ya. Kalo bukan karena lo, gue udah telat.”
Pemuda itu hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sama-sama, Ra.” Nadira terkejut. Bagaimana dia bisa tahu namanya? Nadira ingin bertanya, tapi pemuda itu sudah berlalu, meninggalkan Nadira yang masih bertanya-tanya dalam hati.
**
Di dalam kelas, Nadira menemukan Sisil, sahabatnya yang setia. Sisil langsung mendekatinya begitu melihat Nadira yang baru datang.
"Eh, tumben lo baru dateng. Biasanya rajin," ujar Sisil sambil menatap baju Nadira yang masih ada bercak kotornya. “Eh, baju lo kenapa kotor? Kayak habis dilempar lumpur aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Genç KurguDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...