Setiap kali Nadira melangkahkan kaki ke rumah Ayah dan Ibu angkatnya, ia merasa seperti pulang ke tempat yang benar-benar menganggapnya anak. Sering kali, ia hanya datang untuk sekadar berbincang atau bermain lebih lama dengan mereka. Baginya, menghabiskan waktu di sana tidak pernah terasa membosankan. Namun, di balik kenyamanan itu, ia tahu bahwa ia tetap memiliki rumah lain, tempat di mana ia tumbuh bersama keluarga yang hanya melihatnya sebagai sosok yang lebih rendah dari kakaknya.
Suatu hari, saat sedang bercengkerama hangat dengan Ayah dan Ibu, Nadira tiba-tiba merasakan perutnya yang perih. Asam lambungnya kambuh, dan ia berusaha sekuat tenaga menahannya agar Ayah dan Ibu tidak khawatir. Ia tak ingin mereka mengetahui kondisinya, tak mau mereka semakin cemas.
“Kamu kenapa, Nak? Kok wajahnya pucat begitu?” tanya Ayah dengan nada khawatir, memperhatikan perubahan sikap Nadira yang tiba-tiba.
“Oh, enggak kok, Yah. Mungkin cuma kecapekan aja,” jawab Nadira sambil memaksakan senyum. Dia tak mau menunjukkan kelemahannya, apalagi membuat Ayah dan Ibu khawatir akan keadaannya.
Namun Ibu tampak tidak percaya. "Ayahmu benar, kamu kelihatan nggak enak badan, Nak. Jangan memaksakan diri kalau memang lagi sakit."
Nadira hanya mengangguk, tetap mencoba tersenyum. Ibu segera berdiri dan mengajak mereka semua ke dapur, menggelar tikar dan menyiapkan masakan sederhana—nasi, tempe goreng, bayam rebus, dan sambal. Aroma khas masakan rumah membuat Nadira ingin ikut makan, meski perutnya masih perih.
"Kok makannya sedikit banget, Nak?" tanya Ibu yang duduk di dekatnya, melihat piring Nadira hanya berisi sedikit nasi dan sepotong tempe.
"I-ini Bu, tadi udah makan di rumah, jadi masih agak kenyang," jawab Nadira dengan senyum yang tetap ia paksakan. Meski Ibu tampak percaya, ia masih menatap Nadira dengan pandangan penuh perhatian.
"Oh, ya udah. Kalau kamu masih kenyang, nggak usah dipaksa makan banyak," balas Ibu dengan nada lembut.
Setelah makan, Nadira berpamitan pulang. Di rumah Ayah dan Ibu angkatnya, ia merasakan ketenangan, meski hanya sementara. Sebenarnya ia ingin tinggal lebih lama di sana, tapi ia tahu tak mungkin. Setelah menunggu ojek online yang dipesannya, ia pun melambai pada Ayah dan Ibu, menahan keinginan kuat untuk tetap berada di sana.
Sesampainya di rumah, suasana kembali dingin dan hening. Rumahnya sepi, tapi Nadira merasa lega. Dengan tenang, ia mengambil buku dan mulai belajar. Ia ingin fokus, mengabaikan segala kesulitan yang mengganggu pikirannya.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Orang tuanya baru saja pulang, dan Nadira menarik napas panjang, bersiap menghadapi suasana tak nyaman yang selalu muncul saat mereka berkumpul.
Malam itu, saat makan malam, Nadira duduk paling ujung, menunggu semua orang mengambil lauk lebih dulu. Setelah yang lain selesai, ia mengambil sepotong ayam dan perkedel, berharap suasana akan tetap tenang. Namun, pandangan tajam Kak Dita segera tertuju pada piring Nadira, terutama pada ayam gorengnya.
"Ra, ayam lo kan gak dimakan tuh, buat gue aja," ucap Kak Dita sambil memiringkan kepala.
Nadira mencoba menjelaskan dengan nada sabar. "Aku mau makan kok, Kak. Ini kan buat aku."
Kak Dita mendecak, seolah tidak peduli. "Ih, pelit banget, cuma ayam doang juga. Ayo, kasih sini!" pintanya dengan nada memaksa. Sebelum Nadira bisa menjawab, Kak Dita langsung mengambil ayam dari piring Nadira tanpa izin.
"Hei, Kak Dita!" seru Nadira tak percaya dengan sikapnya.
Namun, sebelum Nadira bisa mengomel lebih jauh, suara Papa tiba-tiba menggelegar. "Dira! Udah, ngalah aja sama Kakak kamu. Apa sih susahnya berbagi sama saudara sendiri?"
Nadira hanya bisa terdiam. Dadanya berdesir, menahan rasa kecewa yang kembali muncul. Selalu, dia yang disalahkan, selalu dia yang dianggap tidak tahu diri. Dengan napas berat, Nadira mengiyakan dan melanjutkan makannya tanpa ayam goreng yang menjadi haknya.
Setelah makan malam, Nadira pergi ke kamarnya, menarik napas panjang. Di dalam kamar itu, ia merenung dalam diam. Ia merasa begitu kecil dan tak berdaya di tengah keluarga yang selalu membandingkannya dengan Kak Dita. Suara-suara mereka, ejekan, dan cemoohan, seolah terus terngiang di telinganya. Nadira duduk di sudut kamarnya, menatap buku-buku pelajaran yang tergeletak di mejanya. Ia merasa seolah-olah sedang memikul beban yang terlalu berat untuk seorang remaja seusianya.
Dengan tekad yang kuat, Nadira memutuskan untuk belajar lebih keras lagi. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi seseorang yang membanggakan. Tidak peduli berapa kali ia dijatuhkan, ia akan tetap berusaha. Ia ingin memperlihatkan pada dunia bahwa dirinya juga punya kemampuan, bahwa ia bisa meraih cita-citanya.
Keesokan harinya, Nadira kembali ke rumah Ayah dan Ibu angkatnya. Di sana, ia merasa damai dan nyaman, seolah mendapatkan kasih sayang yang tulus. Saat mereka sedang mengobrol di teras, Ayah tiba-tiba menatap Nadira dengan serius.
"Nadira, Ayah dan Ibu mau bicara sedikit sama kamu," ujar Ayah.
Nadira menatap Ayah dan Ibu bergantian, bingung namun penasaran. "Ada apa, Yah?"
Ayah menarik napas, lalu menatap Nadira penuh kasih. "Kami ini sudah menganggapmu seperti anak sendiri, Dira. Kalau kamu memang merasa nyaman, kami ingin kamu lebih sering tinggal di sini."
Mata Nadira berkaca-kaca mendengar ucapan Ayah. Ia tak bisa menahan haru, merasa diterima tanpa syarat oleh mereka yang selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat terberatnya.
"Iya, Ayah, Ibu… Terima kasih. Aku benar-benar bahagia bisa bersama kalian," jawab Nadira sambil menahan tangis.
Setelah beberapa hari, Nadira kembali ke rumah orang tuanya, kali ini dengan perasaan yang lebih kuat. Ia merasa ada tempat yang selalu akan menyambutnya kapan saja. Meskipun takdir memberikannya keluarga yang sering kali melukainya, Nadira tahu ia tak sendiri.
#Bersambung
Like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...