Sinar matahari sore yang hangat menembus celah dedaunan, memberikan semburat jingga pada halaman rumah yang teduh. Nadira, dengan langkah ringan, menghampiri Ibu yang duduk di teras sambil menyuguhkan irisan jeruk. Setiap kali Nadira berkunjung, rumah Ayah dan Ibu terasa semakin akrab, terutama setelah tahu Aldo sering datang ke sana.
Sejak tahu bahwa Aldo rutin datang ke rumah orang tuanya angkatnya, hati Nadira selalu berdesir kecil saat melangkahkan kaki di sana. Kali ini pun, begitu tiba, Ibu menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Ra, gimana sekolah kamu?" Ibu menyodorkan buah jeruk yang sudah dikupas rapi.
"Lancar kok, Bu." Nadira tersenyum sambil menerima jeruk itu.
"Syukurlah," kata Ibu, lalu menoleh ke arah Aldo yang sudah duduk di sebelah Nadira. "Kalo kamu, Do?"
"Lancar juga, Bu." Aldo menanggapi sambil mengangguk mantap.
Tanpa aba-aba, Aldo tiba-tiba bertanya, "Bu, saya boleh ajak Dira jalan-jalan?"
Spontan Nadira membelalakkan mata, terkejut dengan keberanian Aldo yang tanpa izin langsung meminta persetujuan. Namun, Ibu hanya tersenyum.
"Ya jelas boleh lah. Ya udah, sana."
Sementara Aldo tersenyum puas, Nadira mengerucutkan bibir, berusaha meminta belas kasihan dari Ibu agar menolak permintaan itu. Tapi Ibu malah menepuk bahunya, seakan-akan mendukung rencana Aldo sepenuhnya.
"Ikut aja, Ra. Aldo gak gigit, kok," ledek Ibu sambil tersenyum jahil.
Nadira hanya bisa mendesah, cemberut beberapa detik, membuat Aldo tergelak kecil.
"Tuh, malah tambah imut kalo cemberut," celetuk Aldo dengan nada yang membuat Nadira sedikit kesal.
---
Setibanya di taman, Aldo membawa Nadira berjalan menyusuri deretan pedagang jajanan. Setelah berputar-putar sejenak, Aldo menoleh ke arah Nadira. "Mau es krim gak?"
"Boleh, deh." Nadira mengangguk, lumayan haus mengingat cuaca yang terik siang itu.
"Pak, es krimnya dua, ya," kata Aldo kepada penjual es krim.
Mereka memilih duduk di bangku taman sambil menikmati es krim. Nadira mengamati sekitar, merasa nyaman dengan lingkungan taman yang teduh, ditemani suara burung-burung yang berkicau di dahan pohon.
"Lo sering ke sini, Do?" Nadira bertanya dengan pandangan santai.
Aldo mengangguk. "Iya, ini tempat yang paling sering gue kunjungi. Damai, nyaman, dan sejuk."
Nadira mengangguk-angguk setuju, sambil memandang danau jernih yang tampak tenang di tengah taman. Tempat ini memang bisa jadi pilihan yang bagus untuk menenangkan pikiran.
"Kalau suasana hati lo lagi buruk, datang ke sini aja. Siapa tahu bisa bikin hati lo tenang," kata Aldo sambil memandang danau, seperti membayangkan sesuatu yang jauh.
Sesaat Nadira terdiam, teringat pada beberapa perasaan galau yang sempat mengganggu belakangan ini. Mungkin Aldo benar.
Tak lama, si penjual es krim mendatangi mereka, "Ini es krimnya, Dek."
Aldo menyodorkan uang dua puluh ribuan sambil berkata, "Kembaliannya ambil aja, Pak."
Penjual itu tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menatap keduanya. "Semoga langgeng ya sama pacarnya," ucapnya.
Nadira menoleh dengan kaget, sementara Aldo hanya tersenyum sambil melirik Nadira sekilas.
"Oh, bukan Pak, ini temen saya," sahut Aldo, tenang namun penuh arti.
Penjual itu hanya terkekeh. "Kirain pacarnya, soalnya cocok."
Nadira merasa pipinya memanas, langsung mengalihkan pembicaraan agar si penjual pergi. Tapi saat itu juga, Aldo malah tersenyum penuh makna.
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet setan danau?" goda Nadira, mengalihkan rasa malunya dengan humor.
Aldo hanya tertawa. "Enggak kok, ini bapak tadi yang bilang kita cocok," celetuk Aldo sambil terkekeh, membuat Nadira merasakan detak jantungnya sedikit tidak beraturan.
---
Setelah puas menikmati es krim, mereka beranjak menuju sebuah restoran kecil di sekitar taman untuk makan malam. Begitu mereka duduk, Aldo langsung memanggil pelayan.
"Mbak, nasi goreng spesial dua, yang satu jangan pedas, ya," Aldo melirik ke arah Nadira yang tersenyum simpul, mengingat betapa dia tidak tahan pedas.
Obrolan kecil mengisi waktu menunggu pesanan datang, hingga Nadira akhirnya bertanya soal kebiasaan Aldo berkunjung ke rumah orang tuanya. Pembicaraan mereka terus mengalir, dari hal-hal kecil hingga hal-hal yang kadang membuat Nadira berpikir lebih dalam.
---
Setelah makan, Aldo mengajak Nadira ke sebuah tempat yang agak jauh dari pusat keramaian. Mereka tiba di sebuah apartemen tinggi, yang kemudian diketahui Nadira sebagai tempat tujuan akhir.
"Loh, ini apartemen?" Nadira bertanya, agak heran melihat gedung tinggi di hadapannya.
"Iya, emang apartemen. Udah, ikut aja." Aldo tersenyum misterius sambil menggenggam tangan Nadira, mengajaknya masuk.
Dengan rasa penasaran, Nadira mengikuti Aldo hingga ke lantai paling atas dan keluar di rooftop. Dari sana, mereka disambut pemandangan kota Jakarta yang mulai diterangi lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung tinggi. Nadira terpukau melihat langit sore yang memancarkan warna jingga.
"Ini tempat rahasia gue buat liat sunset," ucap Aldo, tersenyum sambil mengamati langit senja.
"Indah banget, Do... Aku suka," ujar Nadira penuh kekaguman.
Aldo menghela napas, pandangannya beralih pada Nadira. "Kalo suasana hati lo lagi buruk, lo boleh ke sini juga, Nadira manis."
Sesaat mereka terdiam, larut dalam ketenangan pemandangan sore itu. Hingga tiba-tiba Aldo berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius.
"Ra, gue boleh minta sesuatu nggak?" Aldo menatap Nadira dengan pandangan yang dalam.
Nadira hanya mengangguk, mencoba menebak apa yang akan dikatakan Aldo.
"Janji ya, jangan jauhin gue," ucap Aldo dengan nada tulus, sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Nadira terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengaitkan kelingkingnya.
"Janji," jawabnya lirih.
#Bersambung
Like and comment 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...