Judul Bab: "Bayang-bayang yang Menghilang"
Pagi itu, koridor Rumah Sakit Harapan terasa lengang. Beberapa pasien yang tampak lemah berbaring di kursi roda, sementara perawat-perawat berlalu-lalang dengan wajah serius. Di depan ruang ICU, keluarga Dita—Mama, Papa, dan Nadira—berdiri dengan wajah penuh harap dan cemas. Sebuah keputusan besar baru saja diputuskan, dan mereka semua mengandalkan kabar baik dari dalam ruangan itu.
Nadira, yang baru tiba setelah dihubungi, menatap wajah kedua orang tuanya yang tampak berbeda dari biasanya. Keduanya tersenyum, ada binar harapan di mata mereka, yang jarang ia lihat sebelumnya.
"Ma, Pa, ada apa? Kok kalian senang banget?" tanya Nadira, masih bingung, namun ikut tersenyum.
Papanya segera meraih tangan Nadira, menggenggamnya erat. "Nak, tadi dokter bilang ada seseorang yang bersedia mendonorkan jantung untuk Kakakmu," ucapnya penuh syukur. "Dan donor itu cocok dengan kondisi Kak Dita."
Mendengar itu, Nadira terdiam sejenak, lalu tersenyum lega. "Alhamdulillah... tapi, siapa orangnya, Pa?" tanyanya, merasa penasaran siapa sosok baik hati itu.
Papanya menggelengkan kepala pelan, terlihat masih terharu. "Dokter bilang orang itu tak ingin identitasnya diketahui. Tapi siapapun dia, Papa sangat bersyukur. Doakan semoga semua berjalan lancar."
Mama, yang ikut mendengarkan percakapan itu, ikut berbicara. "Mama benar-benar ingin bertemu dengannya. Mau berterima kasih banyak karena sudah berbaik hati mau menyelamatkan Dita." Ucapan Mama mengundang rasa syukur di hati Nadira, karena akhirnya Dita mendapatkan kesempatan untuk sembuh.
Mereka bertiga akhirnya duduk di ruang tunggu operasi. Nadira terdiam, mencoba menenangkan diri. Saat ini, Dita memiliki harapan baru, dan ia hanya bisa berharap agar operasi berjalan lancar. Namun, di balik semua itu, Nadira merasa perasaannya campur aduk.
---
Beberapa jam setelahnya, Nadira memutuskan untuk pergi ke rumahnya sejenak, ingin menghabiskan waktu bersama kenangan yang tak pernah ia lupa. Setibanya di rumah, ia disambut oleh Bi Rina, yang langsung berlari ke arahnya sambil tersenyum lebar.
"Non Dira! Kemana aja? Bibi kangen banget!" seru Bi Rina, wajahnya terlihat bahagia melihat Nadira kembali.
Nadira tersenyum dan memeluk Bi Rina singkat. "Maaf ya, Bi. Aku banyak urusan, jadi jarang di rumah." Matanya melirik ke arah ruang keluarga yang selalu terasa hangat dalam ingatannya.
"Bibi tahu, Non banyak yang harus dipikirin. Tapi kalo ada waktu, pulang aja, ya."
Nadira mengangguk, lalu naik ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ia tersenyum melihat segala benda dan kenangan di sekelilingnya. Kamar itu masih sama, penuh dengan warna-warna lembut yang menenangkan, tempat di mana ia dulu sering menyendiri, menyembunyikan segala perasaan.
Dia menatap poster besar Sehun di dinding, mengingat masa remajanya yang penuh mimpi dan khayalan. "Aku kangen kamu, sayang," bisiknya, lalu mencium poster tersebut dengan pipinya yang memerah, sedikit geli dengan kebiasaannya yang lama itu.
Setelah puas di kamarnya, Nadira berjalan menyusuri ruangan-ruangan lain. Dia masuk ke kamar Dita, kamar yang kini terasa lebih sepi dan sunyi. "Aku juga kangen lihat Kakak tidur disini," gumamnya sambil tersenyum kecil, lalu merapikan sprei yang sedikit kusut. Dia berjalan ke arah kamar orangtuanya, menyusuri rak foto penuh kenangan. Wajahnya menatap setiap foto, meresapi setiap momen yang dulu pernah hangat tapi kini terasa jauh.
"Aku rindu kalian, rindu rumah ini," gumam Nadira pada dirinya sendiri. Dia melangkah keluar dari kamar itu, merasakan setiap sudut rumah yang pernah menjadi tempatnya tumbuh.
---
Kembali di Rumah Sakit Harapan, operasi besar itu dimulai tepat pukul 16.00. Nadira, Mama, dan Papa duduk dengan tegang di ruang tunggu. Mama dan Papa berusaha tenang, namun sesekali tangan mereka saling menggenggam kuat, seakan mencari kekuatan dari satu sama lain.
Tiba-tiba, Nadira merasa ada yang mengganjal dalam dirinya. Ia berdiri, mencoba menenangkan perasaannya yang gelisah. "Pa, Ma, aku mau ke toilet dulu sebentar ya."
Papa mengangguk, meskipun terlihat ragu. "Jangan lama-lama ya, Nak," ujarnya pelan. Nadira tersenyum, berusaha menenangkan keduanya.
Namun saat berjalan menjauh, Nadira berhenti sejenak. Dia menoleh, melihat tatapan Papa yang berbeda. Tatapan yang penuh dengan kasih sayang, sesuatu yang jarang ia lihat sebelumnya. Hatinya menghangat, dan tanpa disadari, air mata mulai menggenang di matanya.
Dengan tiba-tiba, Nadira kembali dan memeluk Papa erat. "Pa, makasih ya. Aku sayang Papa." Papanya terkejut, lalu membalas pelukan itu, merasa terharu dengan momen langka ini. Mereka berdua terdiam, saling meresapi kehangatan yang jarang mereka rasakan.
Selesai memeluk Papa, Nadira beralih ke Mama. "Ma, mama nggak mau peluk aku juga?" tanyanya sambil tersenyum kecil. Mama terdiam, tak bereaksi seperti Papa. Nadira menghela napas, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya lembut. "Maafin aku ya, Ma," katanya lirih sebelum berjalan pergi ke toilet.
---
Di ruang operasi, tim dokter sedang melakukan persiapan akhir. Sementara di luar, Aldo berlari tergesa-gesa ke ruang tunggu, mencari sosok Nadira di antara keluarga Dita.
"Permisi, Pak, Bu. Dira-nya ada?" tanya Aldo dengan wajah cemas.
"Tadi dia ke toilet," jawab Guntur, mencoba mengingat kapan Nadira pamit pergi.
Aldo mengangguk pelan, namun hatinya merasa ada yang aneh. "Kenapa lama banget sih dia nggak balik-balik?" gumamnya, berusaha menepis firasat buruk yang mulai muncul.
Sementara itu, seorang perawat bergegas masuk ke ruang operasi, membawa kantung plastik steril dengan barang-barang yang diperlukan. Aldo memperhatikan perawat tersebut dengan tatapan penuh selidik, matanya tak lepas dari sosok itu yang menurutnya sangat familiar.
Namun, beberapa jam berlalu tanpa tanda-tanda kembalinya Nadira. Operasi berjalan dengan waktu yang cukup lama, menambah kecemasan di hati setiap orang yang menunggu. Tak lama kemudian, dokter akhirnya keluar dengan wajah lega.
"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Kondisi pasien cukup stabil dengan jantung yang cocok," kata dokter, tersenyum kecil. Mama dan Papa langsung tersenyum lebar, mengucapkan syukur dalam hati mereka. Rasa lega menghapus segala kecemasan yang tadi menjerat.
Namun, Aldo justru berbalik, ingin segera menemukan Nadira untuk memberitahukan kabar bahagia ini. Namun setelah berkeliling rumah sakit, ia tetap tak menemukan sosok gadis itu.
“Dira, kamu kemana sih?” Aldo mulai panik. “Kamu harus tahu kalau kakak kamu berhasil diselamatkan.” Aldo memutuskan kembali ke ruang tunggu, berharap Nadira sudah di sana, tetapi tak ada tanda-tanda kehadirannya.
---
Keesokan harinya, suasana ruangan rawat inap Dita dipenuhi senyum dan rasa syukur ketika Dita perlahan membuka matanya. Kesadarannya kembali, dan ia melihat Mama dan Papa berdiri di dekatnya dengan wajah bahagia.
"Syukurlah, Dita sudah sadar," kata Mama dengan air mata haru.
Dita, yang masih lemah, melihat sekeliling, mencari sosok adiknya. "Ma, Pa, Dira mana?" tanyanya, sedikit bingung.
Mama tersenyum, namun kali ini canggung. "Dia... mungkin lagi di rumah. Kayaknya dia sibuk dan belum sempat ke sini."
Namun Dita merasa ada yang aneh. "Tolong panggil dia ya, Ma. Aku pengen ketemu Dira." Mama hanya bisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Tak lama, Aldo datang ke ruangan bersama Reza dan Sisil. Mereka juga bingung karena tak menemukan Nadira di mana pun. "Kita udah nyari ke mana-mana, tapi nggak ada jejak dia sama sekali," ucap Aldo.
Kedua orang tua angkat Nadira yang baru tiba masuk ke dalam ruangan. "Kalian tidak perlu mencari Nadira," ucap Ibu angkatnya dengan suara berat.
Semua orang di ruangan terdiam, menunggu penjelasan yang terasa seperti duri di hati. Ibu angkat Nadira menatap mereka dengan wajah yang tak lagi bisa menahan rasa duka.
"Karena...."
#Bersambung
Like and comment
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Hati
Teen FictionDi Persimpangan Hati Nadira adalah gadis berusia 20-an yang tampak tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Wajahnya lembut, dengan sorot mata yang kerap terlihat sendu dan tampak menerawang, seolah selalu mencari jawaban yang tak p...