BAB 2

373K 22.9K 511
                                    

.: Pencuri Tak Bermoral :.

Laki-laki itu terbangun setelah mendengar isak tangis Clarissa dan segera menjauhkan tangannya yang melilit tubuh gadis itu.

Argajati, nama laki-laki itu. Clarissa mengenalnya. Laki-laki itu adalah teman satu angkatannya. Dulu sekali, Clarissa sempat berkenalan dengan Jati ketika dirinya tidak dianggap, dijauhi, dan orang-orang menganggap dirinya layaknya sebuah hama yang membawa penyakit.

Saat itu, Jati dengan senang hati menjadi temannya di masa MOS yang berlangsung selama tiga hari. Di masa itu juga, Jati adalah teman pertamanya. Laki-laki yang mengulurkan tangan pertama kali kepadanya. Mengajaknya berkenalan dengan sebuah senyum yang menawan.

Tatapan Jati yang Clarissa kenal sudah berbeda. Tidak ada lagi Jati yang dulu ia kenal semasa MOS. Yang Clarissa lihat sekarang adalah tatapan penuh kebencian yang begitu membara. Clarissa sendiri dibuat takut oleh tatapan itu. Belum berhenti sampai di sana, kedua tangan itu mencengkram kedua bahu Clarissa. Menghempaskannya hingga Clarissa kesakitan dan kembali mengeluarkan air matanya lebih deras. Tanpa Clarissa sadari, badannya mulai mengalami tremor.

"Sakit," ujar Clarissa sembari menatap Jati dengan takut-takut. Bukannya mendengarkan ucapan Clarissa, Jati malah mengamuk.

"Kamu! Kamu memang jalang! Sialan!" makinya dengan nada kesetanan. Clarissa hanya bisa memejamkan matanya. Tidak berani melihat gelora amarah yang kini menyambangi laki-laki itu.

"Kamu! Kamu benar-benar jalang! Dibayar berapa kamu untuk melakukan hal ini, hah?" katanya sembari menatap Clarissa nyalang. Jati segera turun dari kasur itu, memunguti pakaiannya dan mengenakannya.

"Apa maksudmu? Seharusnya aku yang marah! Pergi! Aku tidak sudi melihatmu di rumahku!" balas Clarissa dengan berani. Jati yang tadinya hendak pergi, langsung kembali dan menjambak rambut Clarissa dengan kasar.

Rintihan kesakitan yang keluar dari bibir Clarissa dia abaikan. "Ini rumahmu? Kamu terlalu banyak mimpi, Clarissa!" perkataan itu seakan-akan menohok hati Clarissa. Laki-laki yang sudah merenggut keperawananya itu masih ingat siapa dirinya.

"Kamu masih ingat aku?"

"Tentu! Dan aku tidak menyangka, orang sepertimu bisa seliar ini. Aku kasihan pada bosmu, tertipu dengan wajah serta kelakuan sok polosmu."

Jati langsung keluar dari kamar itu bersama dengan tangisan Clarissa yang pecah seketika itu juga.

Bukan hanya badannya yang sakit. Tapi juga hatinya. Sekarang, ia sudah tidak punya apa-apa. Hal yang selalu dia jaga kini lenyap sebelum tiba waktunya. Dengan rasa perih yang masih bersarang di tubuhnya, Clarissa bangun, mengambil semua pakainnya untuk kembali dikenakan.

Clarissa keluar dari kamar yang merupakan kamar lain di rumahnya. Dengan langkah tertatih, dia berjalan menuju kamar mandi. Membasuh tubuhnya yang terdapat jejak dari teman pertamanya. Dia berusaha menghilangkan segala jejak kebuasaan laki-laki itu. Menangisi takdirnya yang tidak pernah berpihak kepadanya.

Menangis adalah hal yang bisa Clarissa lakukan saat ini. Menyesali segala takdirnya di malam yang menyedihkan ini karenaharta berharganya terampas oleh sosok yang tidak seharusnya.

Harta yang seharusnya dijaga terengut dengan tidak manusiawi. Ia ingin menyalahkan semuanya. Tapi apa mau dikata? Dia hanya manusia. Clarissa hanya wayang yang tidak tahu bagaimana akhir dari perjalanan kehidupannya.

*

Pagi hari, Clarissa membuka matanya yang terasa begitu perih akibat menangis. Kedua mata itu bengkak menandakan betapa lamanya ia menangis tadi malam. Setelah mencoba menyesuaikan keadaan, Clarissa bangkit dari tidurnya, berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat sekolah.

Siap dengan semuanya, Clarissa segera keluar menuju meja makan. Di sana, tidak ada Clara, adiknya. Dengan berani, Clarissa segera menempati tempat duduknya dan menyantap sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh Bi Min.

"Ehem...."

Sebuah deheman kecil berhasil membuat Clarissa menoleh. Ia melihat adiknya sudah rapi dengan seragamnya. "Siapa yang menyuruhmu makan di sini?" pertanyaan itu keluar dari bibir Clara. Mempertanyakan keberadaan kakaknya yang makan di meja makan rumahnya dimana seharusnya tidak perlu dipertanyakan.

Clarissa membisu. Dia tidak berani menjawab pertanyaan Clara. "Kamu bisu?" tanya Clara lagi. Tangannya bergerak untuk mengambil cairan berwarna putih yang terdapat di meja. Dengan lancang, Clara menumpahkan susu itu ke rambut Clarissa yang mengalir hingga membasahi baju kakaknya.

Tidak ada raut bersalah yang nampak di wajah Clara. Karena sebuau senyuman tercetak sebagai rasa puas mampu mengerjai kakaknya.

Tanpa rasa berdosa, Clara mengambil selembar roti tawar yang berada di depan Clarissa dan memakannya. "Jangan berharap aku akan berbuat baik padamu, Clarissa. Aku membencimu!" Clara mengucapkannya dengan nada penuh penekanan.

Clarissa hanya bisa menerimanya. Ia sudah biasa mendengarkan semua perkataan Clara yang penuh kebencian pada dirinya. Setelah Clara pergi dari hadapannya, Bi Min langsung menghampiri Clarissa.

"Non, Non, tidak apa, kan?" tanya Bi Min menatap majikannya khawatir.

"Aku tidak apa, Bi," balas Clarissa sembari menampakkan senyuamn tipis yang Bi Min tahu menyimpan sejuta kesedihan.

Bi Min tahu, di balik semua sikap Clarissa selama ini, gadis itu menyimpan sejuta kepiluan atas takdir hidupnya. Bi Min sendiri hanya bisa mendampinginya. Memberikan petuah serta menumpahkan kasih sayangnya yang ia harap mampu membuat Clarissa tetap semangat.

"Sekarang, Non Clarissa lebih baik ganti seragamnya. Nanti terlambat ke sekolah."

"Iya, Bi. Aku ganti seragam dulu." Clarissa langsung meninggalkan ruang makan, menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Seragam yang tadi memang sudah tak bisa dipakai. Sudah terkena susu dan meninggalkan sebuah noda.

Selesai mengganti seragamnya, Clarissa segera pamit pada Bi Min dan berangkat menuju sekolah. Di dalam hatinya, Clarissa terus bertanya, sampai kapan ia akan merasakan penderitaan ini? Kapan ia akan menemukan kebahagiannya?

Dari sekian doanya, sepertinya, Tuhan belum mengabulkan permintaannya untuk merasakan apa itu bahagia, meskipun itu hanya untuk sejenak.

22 Desember 2016

makasih udah baca! selamat menikmati dan ditunggu bintang, kritik, dan sarannya.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang