.: Berdebar dan Gugup :.
"Aku mohon, Kak. Aku mencintai Kak Jati." Clarissa masih membeku tidak tahu harus membalas apa ketika Clara berbicara seperti itu. Clara yang sebal karena Clarissa tak kunjung menjawab permintaannya berjalan keluar dari kamar itu.
Langkah gontai Clarissa menemaninya menuju atas ranjang. Dirinya terduduk di pinggir ranjang sembari menatap lantai. Air matanya jatuh tanpa diminta. Dia menangisi semuanya. Rasa-rasanya dia sudah tidak sanggup untuk hidup.
"Non?" panggil Bi Min bersamaan dengan suara ketukan pintu. Clarissa menghapus air matanya, menyuruh Bi Min untuk masuk. Sebelum Bi Min sampai di tempatnya, Clarissa berlari menghampiri wanita itu, menubruknya dengan sebuah pelukan. Lagi dan lagi, menangis di dalam pelukan Bi Min.
"Non, ada apa?" tanya Bi Min. Nada suaranya berubah khawatir. Tangannya bergerak mengusap rambut panjang Clarissa memberikan sebuah kekuatan di sana.
"Aku tidak kuat, Bi. Aku sudah tidak kuat."
"Non, jangan berbicara seperti itu!"
"Aku lelah, Bi. Aku ingin menyerah."
"Non! Sekarang bukan hanya tentang Non! Tapi juga bayi di dalam kandungan Non Clarissa. Lebih baik sekarang Non tidur," saran Bi Min sembari membantu Clarissa untuk tidur. Bi Min menemaninya, mengusap rambut Clarissa yang sesekali menatapnya sendu karena kehidupan yang harus dijalani majikan mudanya.
Semoga setelah ini Non bahagia. Bibi selalu berdoa buat kebaikan Non Clarissa.
Doa Bi Min di dalam hati. Ia mau, suatu hari nanti melihat Clarissa bahagia. Tersenyum dengan cerah tanpa malu menantang dunia.
*
Clarissa mengikuti perintah serta langkah Jati yang mengajaknya pergi dua hari setelah laki-laki itu membawa Clarissa ke rumahnya. Di lorong rumah sakit ini, Clarissa bertanya-tanya hal apa yang akan Jati lakukan. Pikiran buruk terus membayanginya sejak Jati mengatakan mereka akan ke rumah sakit. Clarissa takut Jati memaksa untuk menggugurkan kandungannya. Tapi pikiran buruk itu ia tepis karena Clarissa yakin, Jati tidak sejahat itu. Laki-laki itu masih memiliki hati untuk tidak membunuh sebuah nyawa.
Mereka berhenti di depan ruangan dokter kandungan yang bernama Ina Widyastuti. "Duduklah, aku akan mengambil nomor antrian terlebih dahulu," ucap Jati menyuruh Clarissa duduk di ruang tunggu yang memang disediakan. Sedangkan laki-laki itu pergi menuju meja administrasi sembari mengambil nomor antrian.
Ini bukan ide Jati. Membawa Clarissa untuk memeriksakan kandungannya tidak pernah ada di dalam benaknya. Ini semua ide mamanya dan dia menuruti keinginan wanita yang paling berharga di hidupnya itu. Setelah mendapatkan nomor antrian, Jati kembali mendekati Clarissa dan duduk di sebelahnya. Beberapa orang yang memang juga bertujuan untuk memeriksakan kehamilannya memandang dua anak muda itu dengan pandangan menghujat. Clarissa yang sadar akan hal itu memilih untuk menunduk. Tidak berani menatap dunia yang seolah mempermainkannya. Dia terlalu takut dan malu. Sadar akan kesalahannya bahwa itu bukan hal yang pantas.
Jati sendiri santai. Laki-laki itu mencoba tahan dengan pandangan yang tanpa perlu diucapkan sudah mampu menangkap maknanya yaitu merendahkan mereka. Lagi pula, siapa yang tidak akan merendahkan mereka kalau tahu anak muda seperti Jati dan Clarissa datang ke dokter kandungan?
Hanya orang dengan pikiran super positi yang memandang mereka seolah-olah tidak ada apa-apa ketika sepasan remaja datang ke dokter kandungan. "Ayo," ajak Jati saat nomor antrian mereka dipanggil. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam ruangan dokter wanita itu. Tidak bisa ditampik, Dokter Ina sendiri cukup terkejut dengan kedatangan pasien barunya saat mengutarakan niatnya. Namun, Dokter Ina segera meguasai keadaannya dan kembali bersikap profesional. Sudah banyak pasien seperti Jati dan Clarissa. Tapi hatinya tetap saja terkejut serta merasa miris dengan pergaulan bebas zaman sekarang.
Sebelum melakukan pemeriksaan, mereka berbincang-bincang mengenai kehamilan Clarissa. Dilanjut dengan pemeriksaan di sebuah bilik yang masih satu ruangan di mana tersedia satu buah kasur dan alat ultrasonography atau yang biasa dikenal dengan USG.
Clarissa berbaring di ranjang berawarna putih itu, menatap Dokter Ina dengan penuh tanda tanya. Setelah berbaring dengan sempurna, Dokter Ina menaikkan bagian bawah blouse-nya yang membuat Clarissa sedikit tidak nyaman karena ada Jati. Tapi, karena itu memang prosedur pemeriksaan, Clarissa mencoba mengabaikan rasa tidak nyamannya. Tahap itu terus berlanjut sampai Dokter Ina mengoleskan sebuah gel di bagian permukaan perut Clarissa. Baru setelah itu, dokter mengambil sebuah alat yang akan diputarkan di bagian perut Clarissa dimana dari alat itu juga keadaan di dalam rahim Clarissa akan tergambarkan pada monitor yang berada di meja sebelah kiri ranjangnya.
"Itu gambar janin anda. Masih sangat kecil. Umurnya masih enam minggu. Nanti secara perlahan organ-organ tubuhnya akan terbentuk sesuai dengan umur kandungan anda. Saat ini masih seperti itu."
Clarissa menganggukkan kepalanya. Begitu juga dengan Jati.
"Mau mencetak fotonya?" Dokter Ina menawarkan untuk mencetak gambar yang ada di monitornya. Clarissa melirik Jati dan laki-laki itu langsung menjawab, "Ya. Cetak dua lembar, Dok."
Clarissa bangun dari tidurnya, mereka langsung kembali ke meja dokter bersama dengan Dokter Ina. Wanita paruh baya itu memberikan banyak nasehat untuk Clarissa dan Jati karena umur Clarissa yang masih muda dapat berpengaruh pada kandungannya jika memikirkan terlalu banyak hal.
Pemeriksaan itu disudahi dengan resep serta kartu pasien yang sudah diberikan goresan tinta bolpoin Dokter Ina untuk dibawa ke apotik yang masih menjadi satu dengan gedung rumah sakit ini.
*
Clarissa menatap Jati yang kini berada di balik kemudinya. "Terima kasih."
Senyum tulus tercetak di bibir Clarissa. Selain berterima kasih, dalam hatinya ia meminta maaf karena sudah berpikiran buruk pada laki-laki di sebelahnya.
"Bilang pada Mamaku. Itu semua ide Mama," balas Jati dengan malas.
"Sampaikan pada beliau. Aku mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya." Jati mengangguk sekilas. Kembali memilih diam sampai akhirnya Clarissa kembali berbicara mengenai kejadian kemarin yang membuat mamanya harus datang ke sekolah.
"Aku ingin mengatakan sesuatu." Clarissa mengigit bibirnya gugup. Dia merasa malu untuk mengucapkan ini karena takut akan reaksi Jati.
"Apa? Kamu tidak bisu lagi? Biasanya kamu akan diam jika bersamaku," sindir Jati yang membuat Clarissa semakin gusar. Dia bingung bagaimana cara mengungkapnya.
Dia takut.
Dia belum siap jika Jati akan kembali memakinya.
"Aku ... aku ingin jujur,"
"Kamu apa?"
"Aku keluar dari sekolah."
"Lalu apa hubungannya denganku?"
"Aku hanya memberitahumu. Guru olahragaku sepertinya tahu dan berbicara pada kepala sekolah. Dan kemarin, mereka memanggilku beserta Mama."
Jati hanya menganggukkan kepalanya. Dia memilih untuk diam tidak berkomentar. Pikirannya menerawang bahwa dirinya tidak boleh ikut dikeluarkan dari sekolah. Dia masih punya cita-cita. Dia perlu mengejar cita-citanya. Dia ingin sukses. Membuktikan pada dunia bahwa ia mampu dan berguna.
Di tengah padatnya lalu lintas, matahari sore terlukis indah. Dua orang asing yang harus terikat, terjebak dalam satu mobil. Dua orang asing yang akan berakhir memiliki sebuah ikatan karena adanya sosok tak kasat mata di dalam rahim sang wanita.
Dan dua orang asing itu adalah Clarissa bersama Argajati. Dua anak manusia yang akan berperang dengan kejamnya dunia. Membuktikan pada dunia bahwa mereka mampu melewati apa itu yang namanya cobaan.
30 Januari 2017
halou! maaf lama. semoga semakin suka. terima kasih juga buat semua komentar dan votenya. hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypocrites Love
RomansaSELESAI & LENGKAP | Clarissa adalah gadis berusia 17 tahun yang harus terjebak dalam sebuah insiden di mana membuatnya berurusan dengan seorang Argajati. Di masa SMA-nya yang seharusnya ia gunakan untuk menuntut ilmu agar mampu mencapai cita-citany...