BAB 22

186K 13.3K 742
                                    

.: Presipitasi :.

Jika diumpamakan, lukisan bentangan alam di atas yang semula temaram bersama dengan bulan serta bintang, berubah menjadi kelam. Hal itulah yang menggambarkan hati Clarissa saat ini saat melihat sosok adiknya berdiri di hadapannya dengan senyum menawan yang selalu membuatnya ngeri.

Clarissa membalas sapaan itu dengan lidah yang terasa kelu. Meskipun sapaan itu terucap dengan benar, namun tetap tersendat-sendat karena Clara menghantui hidupnya dengan sifat buruknya.

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu wanita jalang," kata itu meluncur begitu saja dari mulut Clara selanjutnya tersungging senyum meremehkan yang merendahkan Clarissa karena lirikan mata gadis itu mengarah pada perutnya yang masih datar.

Jati yang masih berdiri di sebelah Clarissa menatap Clara tidak suka. Dalam pemikiran Jati, Clara penyebab ini semua. Gadis itu yang menyebabkan dirinya dan Clarissa terjebak dalam sebuah zona yang tak pernah mereka pikirkan sekali pun.

Rasa amarah Jati semakin tak bisa ia tahan manakala Clara kembali berujar, "Kamu dan anakmu memang sama, Clarissa! Dasar anak haram!" hujat Clara menuai luapan amarah dari Jati.

Pemuda itu langsung menarik pergelangan tangan Clara mencengkramnya erat. Clarissa yang melihat itu mencoba menangkan Jati. Namun, sebuah bentakan keluar dari bibir Jati kepada Clarissa. "Diam, Clarissa! Jangan terus membenarkan perilaku adikmu!"

Clara sendiri mencoba melepaskan cengkaram tangan Jati yang begitu kuat melilit pergelangan tangannya. Rintihan sudah mulai keluar dari bibir gadis yang terpaut satu tahun lebih muda dari pada keduanya dan menarik perhatian beberapa pengunjung. "Sakit, Kak Jati!"

"Sekali lagi aku ingatkan padamu, Clara! Jangan pernah kamu mengusik kehidupan aku dan Clarissa. Kamu seharusnya tahu, bukan dia yang jalang. Tetapi kamu, Clara! Kamu yang menyebabkan kami seperti ini!" Jati melepaskan cengkaram itu dengan kasar, lalu berjalan meninggalkan Clara yang memegang pergelangan tangannya, menatap punggung dua orang yang mulai menjauh dari pandangannya.

Saat ini juga, Clara merasa hancur. Sehancur-hancurnya hingga dia tidak tahu bagaimana caranya mengumpulkan kepingan hati yang patah itu.

Ketika seharusnya dia yang bisa bersama Jati, tetapi semuanya musnah. Kehancuran itu bukan hanya pada hatinya, melainkan juga raganya. Clara ikut pamit, meninggalkan kerumunan yang saat ini semakin padat dan berjalan mengasingkan diri di tempat yang cukup sepi dari para pengunjung.

Tangisnya pecah.

Gadis dengan rambut berwarna cokelat itu merasa mulai hilang arah. Dia merasa kesepian. Tidak memiliki siapa pun atau sebuab sandaran sampai sebuah interupsi muncul dari ponsel berwarna hitam miliknya berbunyi. Sebuah nama muncul di layar persegi panjang dengan nama yang sudah tidak asing lagi di hidupnya.

Jemari Clara tanpa sadar langsung menggeser tombol berwarna hijau. Menerima panggilan itu dengan sura tangisan yang tersedu-sedu meminta dijemput oleh sosok itu.

Sosok yang selama ini membuatnya semakin hancur.

*

Di perjalanan pulang, keadaan di dalam mobil Jati lebih hening dari dibandingkan saat berangkat tadi. Clarissa terus bungkam, tidak berani mengusik Jati yang terlihat masih marah dari ekspresi otot wajahnya yang belum juga melemas. Terlihat kaku dan tentu saja membuat Clarissa takut sendiri.

"Kenapa kamu diam saja?"

Satu kalimat pertanyaan meluncur membuat Clarissa langsung memiringkan kepalanya menatap Jati dengan kaget.

"Aku kira kamu masih marah. Aku takut mengganggumu," balas Clarissa dengan polos yang membuat tawa kecil keluar dari bibir Jati.

Tahu rasanya perasaan Jati saat ini? Rasanya seperti amarah itu meluap begitu saja akibat perkataan Clarissa. Dia tidak pernah menyangka, tawanya bisa keluar hanya dengan hal sekecil itu.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang