BAB 19

250K 18.8K 834
                                    

.: Dia dan Hitamnya :.

Awan di langit bergelung membiarkan matahari menampakkan dirinya. Sapuan angin lembut membelai wajah Jati yang pagi ini sudah siap dan rapi dengan seragam sekolahnya. Laki-laki berusia 17 tahun itu sudah berada di halaman rumahnya sembari menggendong tas ranselnya untuk berangkat sekolah. Minggu-minggu ini adalah pekan sibuk untuk dirinya sebagai anak kelas 12. Tidak hanya pekan ini, melainkan juga beberapa bulan ke depan sebelum ia melaksanakan Ujian Nasional.

Clarissa sendiri masih di dalam rumah. Bersama Weni, perempuan yang saat ini dihentikan oleh pihak sekolah itu membantu membersihkan meja makan karena tidak tahu harus berbuat apa. Kegiatan sehari-harinya sekarang mungkin akan diisi dengan membantu Weni dan hal-hal lain yang akan ia pikirkan nanti. Tentunya hal lain yang berguna atau menghasilkan suatu harga.

"Ma, aku ke kamar dahulu," kata Clarissa saat sudah selesai membantu Weni. Wanita berusia senja itu paham jika Clarissa masih merasa kikuk dan asing dengan semua ini.

Weni hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Tak lama, Clarissa berjalan keluar dari dapur menuju kamarnya. Di dalam kamar, perempuan itu memilih untuk duduk di tepi ranjang lalu menatap lantai. Dia bingung harus melakukan apa.

Clarissa merindukan Bi Min.

Clarissa merasa asing dengan semua ini. Keluarga Jati, perilaku Jati bahkan dengan statusnya saat ini. Semuanya tidak pernah terbayang dalam benak Clarissa karena diamengidamkan masa depan yang cerah. Dia bisa berkuliah, merasakan hal baru tidak lupa menggapai cita-citanya. Tapi semuanya kini tinggal sebuah kenangan. Clarissa tahu, jalan hidupnya tidak seperti itu. Dan Clarissa percaya, Tuhan telah memberikan jalan lain yang terbaik untuk dirinya.

*

"Sudah bangun?" tanya Weni saat melihat Clarissa menonton televisi di ruang keluarga. Weni mendekati menantunya ikut duduk di sebelahnya. Mencoba membuat Clarissa nyaman serta mau sedikit terbuka kepadanya.

"Sudah, Ma."

Diam.

Setelah itu Clarissa kembali fokus pada acara di depannya tanpa berniat untuk membuka pembicaraan. Dia tidak tahu harus memulai dari mana. Dia terlalu kaku, susah bersosialisasi pada orang.

"Bagaimana keadaan cucuku? Baik?" tanya Weni lagi untuk membuat Clarissa mau berbicara lebih banyak.

"Ya. Bayi di dalam kandunganku baik-baik saja, Ma," balas Clarissa formal serta kaku.

Weni hanya tersenyum. Hal ini mengigatkannya pada sosok di masa mudanya. Sosok yang kini tumbuh menjadi remaja rupawan yang begitu ia sayangi. Remaja yang dulunya hanya seorang anak-anak dengan kepribadian pendiam dan penuh luka.

"Clarissa mengigatkan Mama pada Jati yang dulu," ungkap Weni yang membuat Clarissa mengerutkan dahi, merasa tertarik dengan topik yang diangkat oleh ibu dari suaminya itu.

"Maksud Mama?" tanya Clarissa pendek. Dia menuggu kalimat apa yang akan diucapkan oleh Weni. Mata wanita itu tampak menerawang, meyelam ke masa silam di mana Jati masih kanak-kanak saat pertama kali ia bertemu dengan anak itu yang membuatnya ikut merasakan pilu.

"Jati bukan anak kandung Mama dan Papa."

Mata Clarissa membulat mendengar satu kalimat yang keluar dari bibir Weni. Dia tidak pernah menyangka hal seperti itu. Bahkan, terlintas di pikirannya pun tidak pernah. Mama mertuanya itu nampak begitu menyayangi Jati. Begitu juga dengan Jati. Laki-laki itu tipikal anak yang menghormati dan menghargai kedua orangtuanya. Tidak terlihat bahwa Jati bukanlah anak angkat mereka.

"Mama bertemu Jati ketika usianya masih sepuluh tahun. Mama bertemu Jati saat kami tak sengaja menabraknya yang tengah berlarian di jalan menghindari kejaran orang-orang berbadan besar. Mama dan Papa lalu membawanya ke rumah sakit. Di sana, Jati hanya diam. Raganya seperti di bumi tetapi jiwanya hilang entah ke mana. Dia bahkan susah untuk menjawab apa yang kami tanyakan. Dia benar-benar seperti penuh tekanan. Saat Mama dan Papa membawanya ke seorang dokter, Jati mengalami tekanan psikis yang luar biasa. Mama selalu berusaha untuk mengembalikannya. Begitu juga dengan Papa. Perlahan, membutuhkan waktu yang hampir dua tahun, Jati mau terbuka sedikit demi sedikit. Dia sudah seperti anak kebayakan. Jika Mama bertanya ada apa dengannya dulu, dia memilih bungkam, bahkan sampai saat ini. Jati hanya mengucapkan terima kasih dan selalu kata itu yang ia ucapkan saat Mama maupun Papa mengungkit masa lalunya. Mama sayang sekali dengan anak itu."

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang