BAB 9

194K 14.2K 323
                                    

.: Minta Doa Restu :.

Jati baru saja sampai rumah tanpa berniat untuk langsung turun dari mobilnya. Kepalanya berdenyut memikirkan semua opini yang tidak tahu akan berujung pada sebuah fakta atau kebohongan.

Jati mencengkram kemudinya dengan erat. Sesekali ia menjambak rambutnya memikirkan nasibnya setelah ini. "Sial!" makinya kepada dirinya sendiri. Ini bukan yang dia mau. Dia mau hidupnya semakin baik. Bukan semakin terpuruk dengan kejadian seperti ini.

Jati menelungkupkan kepalanya di atas stir mobil. Ia menangis. Setelah sekian lama sejak kejadian itu, dia menangis lagi. Menangis akan keadaan yang membuat kepalanya nyeri. Apalagi jika mengingat siapa itu Clarissa dan Clara. Dia tidak percaya bahwa ada drama seperti itu di kehidupan nyata.

Jati tersenyum kecut. Dia lupa, hidup memang penuh drama. Dan drama itu kembali menghampirinya serta siap memporandakan kehidupannya untuk kedua kali.

*

Setelah puas menenangkan pikiran di dalam mobil, Jati langsung turun. Berjalan menuju ke dalam rumah, duduk di ruang tamu. Matanya kembali menerawang karena nama Clarissa terus saja muncul di kepalanya. Clarissa dan bayi di dalam perut perempuan itu.

Pikiran Jati terus saja memikirkan hal itu dan merangkai semua kejadian itu bagaimana bisa terjadi.

Jati terdiam.

Pikirannya membentuk sebuah kejadian yang mengakibatkan tangannya langsung mengepal. Laki-laki itu menggeram marah di tempatnya. Berteriak kasar menyebabkan beberapa penghuni rumah langsung datang menghampirinya.

"Aden, baik-baik saja, kan?" tanya Wati, pembantu di rumahnya. Jati menganggukkan kepalanya dan langsung menyuruh gadis berusia 23 tahun itu pergi. Jati kembali menjambak rambutnya sendiri. Pikirannya langsung kacau memikirkan kemungkinan terbesar penyebab semua ini terjadi. Jati siap meledak untuk menumpahkan amarah itu ke seseorang.

Tapi Jati kembali menahannya. Pemikirannya belum tentu benar. Serta saat ini, ada hal yang lebih penting untuk dia urus. Bagaimana caranya untuk memberitahukan kepada kedua orangtuanya?

*

Meja makan rumah Jati sudah tersedia makanan seperti biasa. Laki-laki itu nengenbuskan napasnya berulang kali sebelum mengucapkan semuanya. "Pa, Ma, Jati mau minta doa restu," katanya setelah menyiapkan mental untuk kemungkinan buruk yang akan terjadi selanjutnya.

"Mama sama Papa pasti mendoakan kamu supaya lulus dengan nilai baik," balas papanya dengan seulas senyum yang berwibawa.

Jati menelan ludahnya.

Papanya salah presepsi. Dia bukan meminta doa restu untuk kelancaran Ujian Nasional, melainkan doa restu untuk pernikahannya. Neraka dunianya.

"Em, bukan itu. Jati mau minta doa restunya karena Jati ingin menikah."

Kedua orangtua Jati yang tengah asyik makan malam langsung terdiam mendengar ucapan anaknya.

Menikah?

Di umurnya yang masih 17 tahun?

"Jati, jangan bercanda!" kata mamanya yang merasa terkejut atas ucapan anak tunggalnya. Jati menggelengkan kepalanya. Dia menatap orangtuanya secara bergantian, kembali menarik napas sebelum memulai pembicaraan yang sebenarnya.

"Teman Jati hamil," katanya.

"Teman kamu yang hamil, kenapa harus kamu yang bertanggung jawab?" tanya sang mama yang sudah tidak berminat pada sepiring nasi di hadapannya.

"Karena itu ... hasil perbuatan Jati," jawab Jati tanpa berani menatap kedua orangtuanya. Dia menunduk. Jati mengecewakan mereka. Orang yang telah merawatnya.

Hening.

Tidak ada sahutan sama sekali.

"Jati," panggil Weni dengan suara penuh kekecewaan berhasil membuat Jati merasa pilu. Jati tidak bisa melihat orang yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih sayang kecewa karena dirinya.

"Maaf. Jati minta maaf."

Banyu, Papa Jati akhirnya bersuara, "Lalu, siapa gadis itu? Di mana dia sekarang? Bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan nada suara datar. Tidak sehangat biasanya. Pria itu tentu saja kecewa. Tapi dia tidak akan main tangan dengan anaknya.

Banyu lebih memilih untuk mengajari anaknya untuk menjadi pria bertanggung jawab atas semua perbuatan yang Jati lakukan.

"Dia di rumahnya. Jati baru saja ke sana dan berbicara pada Mamanya. Jati bilang kalau Mama dan Papa akan datang secepatnya." Jati menjelaskan semuanya. Dia bernapas lega karena orangtuanya tidak murka dimana seharusnya mereka marah kepada Jati.

Tapi tetap saja, hati Jati ngilu melihat tangisan mamanya. Wanita itu berkontribusi penuh dalam kehidupannya namun dia malah membalasnya dengan perbuatan sejahat ini.

Dia mengecewakan mamanya.

"Kita akan datang secepatnya. Siapa nama gadis itu?" tanya Banyu sembari mencoba menenangkan istrinya.

"Clarissa. Namanya Clarissa."

Banyu mengangukkan kepalanya. "Kamu tahu, Papa tidak suka main tangan. Tapi, bukan berarti Papa tidak marah. Papa marah Jati. Kami kecewa terutama Mamamu. Dan saat ini, saya sebagai Papa kamu, hanya bisa berkata hadapi dunia ini. Tanggung jawab atas apa yang sudah kamu perbuat dan jangan pernah ulangi hal itu lagi. Mungkin kamu merasakan surga saat melakukannya. Sekarang? Kamu dan dia mendapatkan getahnya. Masa depan kalian menjadi taruhannya."

Jati masih diam. Mendegarkan segala petuah papanya. "Ma, Pa, Jati minta maaf." Hanya kata-kata itulah yang mampu Jati ungkapkan.

"Jangan mudah terjatuh jika kamu tahu bangkit itu susah." Pesan papanya sebelum membawa mamanya pergi dari ruang makan.

Dan Jati paham maksud papanya. Jati tahu makna di balik perkataan Banyu. Dan dia hanya bisa menghela napas pasrah.

Ini bukan keinginannya.

Dia tidak mau terjatuh lagi.

Tapi apa daya? Dia sudah jatuh dan tidak tahu apakah mampu untuk bangkit kembali.

11 Januari 2017

konflik cerita ini memang bakalan beda sm yang dulu karena yang dulu itu gak masuk akal. jadi dinikmati saja.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang