BAB 17

272K 18.7K 676
                                    

.: Bicara Tentang Cinta :.

Sejak sambungan telpon saat itu, baik Jati maupun Clarissa kembali tak bersuara sama sekali karena kecanggungan yang luar biasa melingkupi diri masing-masing. Jati sendiri semakin sibuk dengan sekolahnya karena minggu-minggu ini dia mulai disibukkan dengan ujian serta try out yang membuatnya sampai lupa diri bahwa kesehatan itu penting.

Di sisi lain, Clarissa menyibukkan dirinya dengan membantu Bi Min atau membaca buku. Sesekali ia memang berpapasan dengan adiknya, namun hanya mendapat tatapan tajam tanpa berniat untuk memukul atau berkata kasar kepadanya. Mungkin, sebabnya Clara sedang bertengkar dengan Lita. Kejadian beberapa hari lalu benar-benar membuat Lita marah karena mengetahui segala sikap buruk Clara yang selama ini tersimpan rapi.

Lita sendiri mulai mengurangi kesibukannya meskipun sebagai wanita karier menuntutnya untuk memiliki jam terbang tinggi. Tapi tidak dipungkiri, bahwa ia kini merasa khawatir. Setelah sekian lama, dia menyadari ada yang tidak beres di rumahnya. Apalagi dua putrinya itu. Belum lagi Lita juga harus mempersiapkan segela kebutuhan pernikahan Clarissa yang benar-benar mendadak. Tak pernah ia duga datang secepat ini.

Matahari nampak begitu terik siang ini, Clarissa sendiri bergerak menuju jendela kamarnya mengamati keadaan di luar rumah. Dia kembali usai menutup tirai. Mendudukkan pantatnya di tepi ranjang dengan pikiran yang tertuju pada kehidupannya setelah ini.

Clarissa takut. Dia takut tidak siap menjadi seorang ibu saat usianya masih menginjak 17 tahun atau 18 tahun saat anaknya nanti lahir. Dia takut dengan semua hal yang tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya, datang tiba-tiba dan menjadi momok yang tak sanggup dia tangani.

Clarissa dulu mendambakan sebuah kisah cinta romantis layaknya negeri dongeng yang sering ia tonton semasa kecil. Tapi sekarang? Semuanya tidak mungkin. Dia tidak hidup di dunia dongeng. Dia hidup di dunia nyata, kakinya bertapak pada bumi yang mau tidak mau harus siap untuk menghadapi segalanya.

Clarissa sendiri terkadang berandai-andai memikirkan bagaimana rasanya dicintai? Bagaimana rasanya dibutuhkan?

Dia ingin merasakan apa itu sebuah perasaan yang menyusup ke relung hatinya secara tulus dari lawan jenis. Tapi itu tidak mungkin. Jati kasihan padanya. Clarissa paham. Clarissa harus bangun karena ini dunia nyata. Dunia yang harus dia hadapi dengan tegar walau perasaan lelah kadang menghampiri.

Clarissa memang tidak pernah merasakan apa itu cinta dari lawan jenis selain papanya. Tapi di pikirannya, cinta adalah sebuah rasa. Rasa yang tidak hanya dirasakan oleh diri kita sendiri.

Perasaan itu seperti magnet yang saling tarik-menarik lalu memberikan respons yang saling membalas dimana membutuhkan kepekaan serta kepercayaan untuk membangunnya menjadi kokoh.

Clarissa belum pernah merasakannya. Tapi pertanyaan yang muncul saat ini adalah, mampukah dia membangun semuanya bersama Jati? Mampukah dia menghadapi semuanya seperti apa yang diucapkan oleh laki-laki itu?

Membangun sesuatu itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan usaha dan kerja sama yang baik antara dua belah pihak. Mampukah dirinya dan Jati bekerja sama? Mampukah dirinya sejalan dengan Jati?

Semua itu terus saja menari-nari di pikirannya ketika hari itu semakin dekat.

Jika diandaikan, Clarissa dan Jati bagai sebuah papan tulis. Dimana awalnya papan itu sangat bersih, bahkan tak ada noda yang menempel. Namun, saat tinta spidol menyentuhnya, menjatuhkan setiap tinta pada papan yang bersih, terbentuklah sebuah noda yang akan menimbulkan bekas. Di situ, mereka berjuang membangunnya seperti semula, mengembalikan papan itu menjadi putih seperti saat diberi bensin atau bubuk kapur untuk membersihkannya layaknya papan tulis baru.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang