.: Dia si Penolong :.
Clarissa mengerjapkan matanya. Tangannya bergerak untuk memegang pelipis sembari memijat pelan saat merasakan pusing yang melanda dirinya.
Seakan tersadar, Clarissa langsung bangun dari tidurnya. Menatap perutnya, mengelusnya tanpa sadar bahwa seseorang berada di dekatnya.
"Sudah bangun?" tanya seseorang membuat Clarissa langsung menoleh ke sumber suara itu. Mata Clarissa kembali mengerjap. Mahesa di sana. Laki-laki itu berdiri di samping kanan ranjang UKS yang ditempatinya sembari menatap Clarissa khawatir.
"Kamu tadi pingsan saat olahraga," ucap Mahesa menjelaskan kenapa Clarissa bisa sampai di ranjang UKS.
"Emm, aku ingat. Terima kasih," balas Clarissa mengucapkan terima kasih karena berpikir bahwa Mahesa yang menolongnya.
"Ya, sama-sama." Mahesa menjawabnya dengan sebuah senyuman. Mahesa menganggap ucapan terima kasih Clarissa karena dirinya telah merawat gadis itu. Padahal, Clarissa mengucapkannya karena dia pikir, Mahesa yang membantunya.
"Apa aku boleh kembali ke kelas?" tanya Clarissa mencoba untuk bangun dari posisi tidurnya. Mahesa menggaruk tengkuknya karena bingung. Kebetulan hari ini adalah jatah piketnya untuk menjaga UKS sebagai anggota PMR. Dan Bu Ana sedari tadi belum juga datang untuk memeriksa kakak kelasnya itu.
"Tapi kamu masih pucat," katanya mencoba untuk menahan Clarissa agar perempuan itu menunggu Bu Ana untuk diperiksa.
"Aku merasa sudah lebih baik. Aku kembali ke kelas dulu, Mahesa."
Clarissa langsung turun dari ranjangnya. Berjalan keluar dari UKS menuju ruang kelasnya.
Setibanya di kelas, ternyata guru pengajarnya sudah datang mengakibatkan Clarissa hari izin terlebih dahulu menjelaskan kertelambatannya lalu berganti seragam untuk mengikuti pelajarannya.
Setelah mengganti seragamnya, Clarissa kembali menuju kelasnya untuk mengikuti pelajaran kimia di dua jam terakhir sebelum pulang sekolah. Dan ia diam di tempatnya, mendengar, dan mencatat apa saja materi hari ini untuk bekal saat Ujian Nasional nanti. Sampai jam pulang sekolah sudah tiba, Clarissa langsung berkemas, berjalan keluar dari kelasnya untuk pulang.
Clarissa berjalan melewati koridor kelas menuju gerbang sekolah. Berdiri di tempat biasanya ia menunggu angkutan umum. Belum sempat ia sampai di depan gerbang, sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya. Clarissa melihat siapa pemilik tangan itu. Matanya membulat tak percaya melihat Jati yang berdiri di sampingnya.
"Tunggu aku di tempat kemarin," bisiknya cepat, langsung berjalan lebih dahulu agar orang-orang tidak curiga dengan tingkah laku mereka.
Clarissa sendiri menurut. Dia membiarkan Jati berjalan meninggalkannya dan ia pelan-pelan di belakang. Sesampainya di tempat kemarin, mobil Jati sudah berada di sana dan dia langsung membuka pintu mobil masuk ke dalam kerangka baja itu.
Jati melajukan mobilnya, Clarissa meliriknya lalu kembali menatap jalanan di depannya. "Ada yang ingin kamu katakan?" tanya Jati saat melihat Clarissa gelisah di tempatnya.
Clarissa diam.
Bibirnya terkatup rapat hanya membalasnya dengan sebuah gelengan kecil. Jati yang melihat gerakan itu tidak berminat untuk kembali menanggapinya. Ia sudah berbaik hati menolong perempuan di sebelahnya, menanyakan sesuatu, tapi balasannya hanya sebuah gelengan.
Jika begitu, Jati tidak akan berminat untuk membuka percakapan dengan perempuan di sebelahnya yang benar-benar membuatnya muak.
Sebuah tempat makan fast food kini menjadi pemandangan mereka. Jati melajukan mobilnya untuk menikmati fasilitas drive thru memesan satu paket makanan. Matanya melirik Clarissa, bibirnya diam. Ia tidak akan bertanya lagi pada perempuan di sebelahnya.
Jati beranggapan Clarissa memiliki mulut. Dan kalau mau, perempuan itu bisa berbicara padanya. Dia sudah tidak sudi untuk berbuat baik terlalu banyak pada gadis sok polos yang kini ikut dalam mobilnya.
Usai menyuarakan pesanannya, Jati langsung melajukan mobilnya untuk membayar dan kembali melajukan mobilnya untuk menunggu pesanannya. Saat pesanannya sudah ada di tangan, Jati menutup kaca mobil meletakkan pesanan di pangkuannya.
Keluar dari jalur drive thru, Jati langsung menepikan mobilnya sebentar untuk memakan burger pesanannya. Dia tidak memperdulikan Clarissa. Perempuan itu memang sepertinya bisu mendadak. Jati tidak mau repot-repot memikirkannya karena dia lapar dan itu bukan urusannya.
*
"Kita mampir sebentar ke toko bunga," ucap Jati saat mobilnya sudah kembali berhenti di depan sebuah toko bunga.
Clarissa lagi-lagi diam. Tidak menanggapi perkataan Jati.
Jati mendengus kesal yang meyulut mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata pedas. "Kamu punya mulut untuk berbicara. Aku mengajakmu berbicara, Clarissa," desisnya yang membuat Clarissa merenung.
Jati yang melihat itu langsung meninggalkan Clarissa dengan memilih untuk masuk ke dalam toko bunga yang bernuansa putig itu. Setelah memesan satu bucket bunga lili, Jati kembali ke dalam mobilnya dengan bunga pesanan di tangannya. Ia meletakkan bunga itu di kursi belakang kemudian kembali melajukan mobilnya.
"Untuk siapa?" tanya Clarissa akhirnya setelah sedari tadi diam tidak membalas ucapan Jati. Dia penasaran, untuk siapa bunga lili itu. Dalam hatinya, Clarissa juga penasaran akan ke mana Jati membawa dirinya.
"Apa?" balas Jati yang bingung dengan maksud pertanyaan Clarissa.
"Bunganya," jawab Clarissa melirik bunga yang diletakkan Jati di kursi belakang. Jati mencibir dalam hatinya. Sedari tadi dia mengajak perempuan itu berbicara namun tidak ditangapi. Kini, perempuan di sebelahnya bertanya saat mulai penasaran pada bunga yang dibelinya.
"Kamu bisa berbicara juga rupanya. Aku kira kamu bisu." Jati berujar dengan nada sinis.
Saat mobil berhenti di perempatan jalan karena lampu merah. "Jangan berharap itu untukmu. Itu untuk orang yang aku sayang," lanjut Jati masih dengan nada tidak suka dengan Clarissa. Entah ada apa, mendengar perkataan sinis Jati membuat dada Clarissa seperti tercubit.
Clarissa sudah biasa seperti ini. Tapi hatinya seperti berubah menjadi sensitif atas hal kecil kemudian membuatnya sedih. Dia memang tidak menyimpan sebongkah rasa yang bernama cinta untuk laki-laki di sampingnya. Tapi, mendengar perkataan Jati, laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya membuat Clarissa sedih.
Dia tidak dicintai keluarganya. Bahkan nanti, saat dia menikah, suaminya juga tidak akan mencintainya. Clarissa bertanya-tanya, apa dia tidak pantas merasakan sebuah cinta?
Jika cinta terlalu mahal, bisakah dia merasakan kasih sayang?
"Aku tahu, aku tidak berharap bunga itu untukku," lirih Clarissa yang mampu di dengar Jati. Bukannya merasa iba, Jati langsung meliriknya sekilas dan mendengus.
"Kamu memang harus sadar diri. Dan berhenti berpura-pura bahwa kamu yang menderita di sini! Bukan hanya kamu yang menderita! Tapi aku! Karena kamu, aku harus bertanggung jawab, Clarissa!"
"Maafkan aku."
Hanya itu yang mampu Clarissa katakan. Dia dan Jati memang sepertinya tidak ditakdirkan untuk hidup bersama. Tapi kenapa, Tuhan membuat skenario mereka untuk bertemu dan menghabiskan sisa hidup bersama?
20 Januari 2017
makasih udah baca! selamat menikmati. ditunggu bintang, kritik, dan sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypocrites Love
RomanceSELESAI & LENGKAP | Clarissa adalah gadis berusia 17 tahun yang harus terjebak dalam sebuah insiden di mana membuatnya berurusan dengan seorang Argajati. Di masa SMA-nya yang seharusnya ia gunakan untuk menuntut ilmu agar mampu mencapai cita-citany...