Dalam lautan berwarna ungu seperti lagu yang bermakna indah yang akhir-akhir ini lebih sering terdengar. Sepercik warna yang merujuk pada sebuah keyakinan, tentang perasaan yang berbalas.
Dan sama seperti lagu itu. Dia percaya, masih percaya pada perasaannya.
Dinginnya angin malam terus menerpa menusuk kulit seolah menyuruhnya untuk segera mengakhiri kunjungannya hari ini. Tapi Park Jimin, pemuda itu tidak bergerak dari tempatnya berdiam. Ia masih betah berdiri memegang pagar besi menahan dingin yang menusuk kulit. Berharap agar rasa sakitnya malam ini segera menghilang bersama angin yang membawanya pergi. Ia menghilang bersama deru angin... dengan setitik air hujan yang baru saja turun, seakan tengah berusaha menghapus harapannya.
Jimin sedikit menoleh saat menyadari seseorang baru saja ikut bergabung bersamanya, membawa suasana menjadi sedikit lebih menghangat. Jimin tahu persis siapa orang yang ia kira akan segera datang padanya. Karna pada dasarnya, seorang Park Jimin telah menyadari dirinya hanya menjadi bagian terbesar dari ribuan belas kasihan itu.
Manik matanya kembali menatap langit yang telah berubah berwarna gelap seutuhnya bersamaan dengan suara rintihan hujan yang semakin deras. Sedetik kemudian ia mulai menutup matanya, menyatu dalam derai hujan.
Dia menyukainya, saat-saat dimana tidak ada lagi terdengar suara yang terus menggores hati. Sekarang hanya ada ia dan dirinya yang mengetahui apa saja yang ingin ia ungkapkan begitu dalam.
Tentang ribuan suara yang terus berteriak hanya sekedar memanggil namanya, atau tentang ribuan komentar yang mereka lontarkan dengan sedikit menggunakan kata makian untuk dirinya, bahkan untuk kematiannya.
Peristiwa hari ini seharusnya sudah cukup membuat dia tersadar, tentang arti kata 'menyingkir' sudah semestinya ia lakukan sejak lama. Namun hatinya tidak cukup siap untuk itu. Dan untuk alasan itu, dia masih disini, masih berada disini dengan segenap penolakan yang telah ia terima.
Jimin menghela nafasnya sedikit berat, menandakan tubuhnya telah sampai batas untuk malam ini. Tetesan air hujan itu tentu saja mengenainya, itu karena dia berdiri di ujung balkon belakang rumahnya-- atau lebih tepatnya rumah mereka.
Sedetik kemudian Jimin kembali membuka matanya perlahan, menatap lurus kebawah ke jalanan kota yang terlihat begitu sepi. Tak menyadari atensi orang di sebelahnya tak sedikit pun beralih darinya.
"Tidak memiliki keinginan untuk kembali kedalam?" Tanya orang itu.
Jimin tidak menjawab. Atensinya masih tetap menatap ke beberapa mobil yang berlalu lalang dengan bebasnya.
"Kau sudah terlalu lama berada diluar. Sedikit lebih lama dari ini kau bisa terkena flu, kau tahu itu, bukan?"
Jimin masih tidak menjawab, namun kali ini ini menganggukkan kepalanya pelan, pertanda dia mengerti dengan apa yang akan terjadi pada tubuhnya. Tapi dia memilih untuk tidak perduli akan hal itu, karena hanya dengan begini dia bisa merasa sedikit lebih baik.
"Baiklah kalau kau masih ingin disini-- aku akan memanggil Yoongi hyung."
Sebelum orang itu berbalik, Jimin cepat-cepat menyela.
"Taehyung-- tunggu. Aku akan kembali kedalam."
Aku tidak ingin dimarahi Yoongi hyung lagi,Yang di panggil itu kembali menoleh dengan sedikit senyuman hangat, lalu dengan cepat tangannya melepaskan mantel tebal yang sedang digunakan untuk ia berikan kepada lelaki kecil yang tengah berusaha memohon untuk tidak mengadukan perbuatannya.
"Pakai ini."
"Seharusnya kau mengerti saat aku bilang tubuhmu sudah terasa hangat saat di fansign tadi. Lalu kenapa kau harus memaksakan diri untuk berdiam lama diluar sini? Dan lagi ini sedang hujan, Jimin kau--"

KAMU SEDANG MEMBACA
PLAIES [KM]
Fanfiction[KOOKMIN BOOK I - END] Untuk sesuatu yang tidak pernah berakhir baik, sebuah harapan kembali hadir. Setidaknya begitulah yang Jimin percaya. Karena Jungkook telah membuatnya percaya. *** Highest Ranking ; #16 Jikook #23 Kookmin ©couronnessy,6/12/20...