8. Pagi yang Berbeda

594 50 5
                                    

Pagi mulai datang kembali. Cahaya matahari yang menyilaukan, menerobos masuk memalui cela-cela cendela apartemen Devin yang cukup tinggi.

Marsha membuka matanya pelan, membiarkan matanya terbiasa oleh cahaya pagi yang menyilaukan ini. Dia mulai menggerakkan kepalanya, menoleh kearah yang berlawanan. Dan betapa terkejunya dia, ketika mendapati sosok Devin yang tertidur sambil duduk dilantai dengan terus menggenggam tangannya.

Pandangannya kembali menyisir kesetiap sudut ruangan yang sangat asing baginya. Ya, ini bukan kamarnya. Dia berada diruangan asing dengan sesosok pria yang baru 2 kali dilihatnya.

"Kamu sudah bangun?" suara lelaki dengan aksen khas orang bangun tidur, membuatnya kembali menolehkan kepalanya.

"Iya. Kita dimana?" balas Marsha yang kini mulai melepas genggaman tangannya.

"Ini apartemen aku. Maaf aku tidak mengantar kamu pulang kerumah, karena aku pikir kamu sedang ada masalah" ucap Devin lagi yang langsung mendapat tatapan tajam dari Marsha. "Aku hanya berargumen saja. Karena semalam kamu hampir saja mati konyol ditengah jalan" tambahnya seolah menjawab tatapan tajam Marsha.

"Maaf karena sudah merepotkan Kakak. Dan... terimakasih karena sudah menyelamatkan diriku".

"Ya. Madilah! Aku akan membuat sarapan" ucap Devin yang kemudian bangun dari duduknya dan berjalan keluar kamar meninggalkan Marsha yang masih terduduk diranjang.

Marsha berjalan menuju kamar mandi. Mungkin dengan guyuran air dingin di pagi hari, bisa menghilangkan segala pikirannya mengenai masalah yang sedang dihadapinya.

**

Devin kini sedang berkutat dengan segala peralatan dapurnya. Empat tahun tinggal sendiri diapartemen, membuatnya terbiasa untuk menyiapkan makanannya sendiri.

Pagi ini dia memasak makanan yang sederhana, spageti dengan saus tomat yang dicampur dengan daging cincang. Makanan yang cukup berat untuk sekedar sarapan dipagi hari. Namun mungkin Marsha akan menyukainya, terlebih sejak kemarin malam dia belum memakan apapun.

Marsha yang baru saja menyelesaikan mandinya pun keluar dari kamar dan menghampiri Devin yang sedang menata makannya dimeja makan.

"Ada yang bisa Marsha bantu Kak?" tawarnya.

"Ahh... tidak perlu, ini juga sudah selesai. Duduklah, makan sarapanmu! Aku akan mandi dulu" pinta Devin yang kemudian berjalan memasuki kamarnya untuk membersihkan dirinya.

Marsha duduk dimeja makan, namun dia tak langsung melahap makanannya. Meskipun dia sangat lapar dan spageti itu sangat mengiurkan, namun dia masih memiliki sopan santun untuk menunggu sang pemilik apartemen untuk sarapan bersama.

Selang 15 menit berikutnya, Devin sudah keluar dari dalam kamarnya dengan menggunakan kaos biasa dan celana pendek selutut. Devin menarik kursi yang ada disamping Marsha dan mendudukinya.

"Kenapa belum dimakan? Tidak suka?" tanya Devin melihat makanan buatannya yang belum tersentuh.

Marsha menggelengkan kepalanya pelan lalu berucap "suka kok. Aku hanya menunggu Kakak untuk sarapan bersama" jelasnya.

Devin menatap Marsha sambil tersenyum lalu mulai meraih sendok dan garpu pada piring spagetinya. "Lalu apa lagi yang kamu tunggu? Makanlah! Aku juga sudah ada disini untuk menemanimu makan" ucap Devin lagi menatap Marsha yang kini juga sedang menatapnya dengan senyum.

Marsha dan Devin memulai sarapan paginya dengan tenang. Tidak ada obrolan lagi disela makan pagi mereka, hanya ada denting sendok dan garpu yang saling beradu diatas piring.

Sarapan pagi mereka telah usai, dan Marsha dengan cekatannya mengambil piring kotor yang ada diatas meja lalu mencucinya. Sedangkan Devin mulai meninggalkan meja makan dan berjalan menuku ruang santai.

Selesai dengan tugasnya mencuci piring, Marsha kini beralih untuk membersihkan meja makan. Mengelap dan menata kursi yang sedikit berpindah tempat dari sebelumnya.

"Kakak tidak bekerja?" tanya Marsha yang kini sudah duduk disamping Devin.

"Tidak, aku ingin menemanimu. Mungkin kamu butuh teman untuk cerita" tawar Devin sambil mengganti chanel pada televisinya.

"Maksud Kakak?".

"Aku tau kamu lagi ada masalah. Cerita saja, aku siap kok untuk mendengarkan".

"Tidak. Aku tidak apa-apa Kak" balas Marsha lemas.

"Kamu tidak pandai berbohong Marsha! Menyimpan masalahmu sendiri hanya akan membuatmu semakin tersiksa" jelas Devin tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi.

"Hiks.. hiks.. Aku merindukan Mama" ucap Marsha terisak.
Devin menoleh, menatap Marsha yang kini mulai mengeluarkan air mata. "Kemarin adalah hari peringatan kematian Mama yang ke 40 hari. Namun tak ada seorang pun yang mengingatnya dirumah itu. Mereka justru tengah berbahagia merencanakan pernikahan anak mereka. Tidak ada yang mengingat Mama disana, tidak ada" jelas Marsha dengan sesekali menyeka air matanya.

Devin mulai iba menatap Marsha. Dan tanpa disadari tangannya sudah merengkuh bahu Marsha, membawanya kedalam pelukannya. Devin merasakan tubuh Marsha bergetar dalam pelukannya, baju bagian dadanya juga basah akibat air mata Marsha. "Aku, aku hanya ingin mereka mengingat hari kematian Mama dan mengunjungi makamnya bersamaku. Namun mereka justru melupakannya, hiks.. hiks.. mereka tidak memahami keinginanku. Mereka sama sekali tidak menyayangiku, hiks..".
Hati Devin seperti diremas ketika mendengar isak tangis Marsha. Dia benar-benar tak tega melihat gadis dalam pelukannya itu menangis, terlebih dia juga ikut andil dalam rasa sedih yang kini dirasakan gadis itu. Karena dia lah penyebab awal rasa sedih itu datang.

"Jangan berfikiran negatif seperti itu. Mungkin mereka memang benar-benar lupa, dan tak bermaksud untuk membuat kamu sedih" Devin mulai mengelus rambut Marsha yang masih berada dalam pelukannya. "Kamu juga harus mencoba untuk memahami mereka, jangan pernah berfikir bahwa mereka tidak menyayangi kamu. Mereka keluarga kamu, dan dalam sebuah keluarga tidak mungkin tidak ada yang namanya kasih sayang" lanjutnya.

"Semoga saja. Aku juga ingin Papa menyayangiku seperti halnya dia menyayangi Kakak tiriku" balas Marsha yang kini sudah melepaskan diri dari pelukan Devin.

"Papamu juga pasti sangat menyayangi dirimu, Marsha" Devin menghapus air mata Marsha menggunakan ibu jarinya. "Sekarang apa yang ingin kamu lakukan? Kamu tidak ingin pulang?" tanya Devin.

"Kakak mengusirku? Apakah aku merepotkan Kakak?" ucap Marsha dengan memanyunkan bibirnya.

"Tidak begitu maksudku, jangan salah paham! Aku hanya menghawatirkan sekolahmu" jelas Devin mencubit pelan pipi Marsha.

"Ahh ya, aku melupakan itu. Tapi bolehkah aku menginap sehari lagi disini? Aku masih belum ingin pulang Kak" balas Marsha masih dengan raut senduhnya.

"Tentu. Kamu mau tinggal disini untuk selamanya juga tidak apa" goda Devin yang sukses membawa kembali senyuman manis dibibir Marsha.

TO BE CONTINUED.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang