35. Kecelakaan

278 18 4
                                    

Tepat pukul 12 siang, Marsha sudah sampai di depan gerbang taman kanak-kanak tempat kedua keponakannya itu bersekolah. Diterpaksa menuju kemari dengan menggunakan taxi, karena sang Kakak tidak mengijinkan dia menggunakan salah satu mobil pribadi milik Kakak iparnya.

"Tidak. Kau tidak boleh membawa mobil sendiri. Kau tidak ingat bagaimana kau merusak mobil Mami Maria setahun yang lalu? Dan aku tidak mau mengambil resiko untuk kedua anakku. Kau bisa naik taxi saja, nanti uangnya Kakak ganti!" kalimat panjang Vanya saat tadi Marsha menelponnya dan meminta ijin untuk memakai mobil yang ada digarasi.

Marsha terpaksa menuruti keinginan sang Kakak. Sebenarnya dia juga sedikit ragu jika akan menggunakan mobil. Masih ada sedikit rasa trauma dalam dirinya akibat kecelakaan setahun yang lalu. Kecelakaan yang cukup parah dan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Namun tampaknya Tuhan masih belum ingin bertemu dengannya. Dia hanya mengalami koma selama seminggu dan harus menggunakan kursi roda selama sebulan, karena cidera pada kakinya cukup parah.

"Aunty..." terdengar teriakan Mer yang tampak berlari kearah dirinya.

Marsha melambaikan tangan menyambut kedatangan kedua keponakannya itu. Namun tampaknya hanya salah satu saja dari mereka yang menghampiri dirinya. Max justru berjalan ke lain arah dan membuatnya membulatkan mata. Marsha berlari, membawa Mer kedalam gendongannya dan langsung mencekal pergelangan tangan Max.

"Apa yang kau lakukan Max?" tanya Marsha dengan nada meninggi.

"Itu aunty. Max mau tolongin Caca." jawab Max menunjuk gadis kecil yang tampak ling-lung ditengah jalan. Marsha menoleh sekilas, dan melihat jika ada salah satu mobil yang bergerak kearah gadis kecil itu.

"Kalian tunggu disini!" titah Marsha pada kedua keponakannya.

Marsha pun mulai berlari kearah gadis kecil itu. Mobil yang tadi dilihatnya tampak semakin mendekat. Marsha memeluk gadis kecil itu, lalu menggandeng tangannya untuk ke tepi jalan. Namun mobil itu justru semakin mendekat dan hanya tinggal beberapa jarak. Marsha mendorong gadis kecil itu agar bisa cepat sampai ke tepi jalan. Dan selanjut dia merasa kesakitan karena ada sesuatu yang membentur pinggangnya. Tubuh Marsha terpental, lalu dia mulai kehilangan kesadaran.

**

Devin masih sibuk menandatangani beberapa berkas untuk launching produk-produk baru dari perusahaannya. Tidak ada yang berubah darinya. Dia masih seorang pria yang gemar bekerja. Perusahaannya pun kini semakin maju. Terlebih setelah 5 tahun lalu dia bekerja sama dengan pihak Hugo Entertainment untuk membuat iklan pemasaran.

Ponsel yang ada disisi kirinya kini berdering. Devin mengalihkan pandangannya, meletakkan pena dan mulai meraih ponselnya. Dia mulai mendial panggilan tersebut, lalu terdengar suara seseorang dari sebrang sana.

"Apa? Baiklah, saya akan kesana." jawabnya setelah menerima panggilan tersebut. Devin tampak panik saat ini. Dia menyambar jas dan kunci mobilnya, sebelum akhirnya keluar meninggalkan ruangannya.

**

Marsha sudah dilarikan ke rumah sakit. Untunglah penabrak itu mau untuk bertanggung jawab. Dia membawa serta kedua keponakan Marsha dan juga gadis kecil yang tadi hampir ditabraknya.

Tadi dia hendak mengambil ponselnya yang terjatuh dibawa jok kursi mobil. Dan karena hal itu dia tidak melihat jika ada seorang anak kecil yang berdiri ditengah jalan. Untung saja ada gadis muda yang pemberani seperti Marsha. Jika tidak, dia pasti akan dituntur oleh orang tua gadis kecil itu.

"Jadi dia Tante kalian?" tanya pria yang tadi menabrak Marsha.

"Iya Om." jawab Max dan disambung anggukan kepala oleh Mer.

Pria itu tersenyum menananggapi kelucuan bocah kembar yang ada dihadapannya. Pasalnya, pria muda berusia 26 tahun ini memanglah anak tunggal. Jadi dia tidak pernah merasakan dipanggil 'Om' oleh keponakannya.

"Caca... Caca gk kenapa-kenapa kan?" ucap Mer kala melihat teman sekelasnya itu berjalan menghampiri mereka.

Tadi saat sampai di rumah sakit, Caca memang langsung dibawa oleh salah satu perawat yang membantunya mengobati luka gores pada sikut dan tumitnya. "Caca baik-baik saja Mer. Aunty kamu gimana? Maaf ya, gara-gara Caca aunty kalian jadi terluka." ucap Caca pelan dan menahan air matanya.

"Tidak apa-apa Caca. Aunty Marsha itu kuat kok. Tahun lalu aunty juga pernah luka-luka dan sampai menggunakan kursi roda. Tapi sekarang dia bisa berjalan lagi." balas Max yang ikut dalam pembicaraan mereka.

Pria muda yang ada disana hanya bisa diam mendengarkan. Dia jadi merasa bersimpati pada gadis muda yang baru saja dicelakainya itu. Pikirannya menjadi panik. Takut jika gadis itu kembali merasakan hal seperti yang dikatakan bocah laki-laki kecil tadi.

"Luka Caca sudah diobati?" tanya pria itu yang dibalas anggukan oleh Caca. "Tadi Om sudah telpon Papa Caca. Mungkin sebentar lagi Papa Caca akan datang." tambahnya.

Caca kembali mengangguk, lalu mendukung dirinya pada kursi panjang yang tersedia disana. Max dan Mer juga menyusulnya untuk ikut duduk bersama Caca. Sedang Om yang membawa mereka kemari, hanya pasrah berdiri menanti dokter yang tadi memeriksa Marsha.

Beberapa menit berlalu, sesosok pria dengan  stelan jas rapi tampak mendatangi tempat mereka. "Papa..." teriak Caca yang langsung berdiri dan memeluk sang Ayah.

"Caca baik-baik saja? Mana yang luka sayang?" tanyanya sambil mengechek seluruh tubuh sang putri.

"Caca cuma lecet-lecet Papa. Yang terluka auntynya Max dan Mer." jawab Caca yang justru membuat tubuh sang Ayah menegang seketika.

"Auntynya Max dan Mer?"

"Iya."

"Sorry. Tadi aku yang lalai dalam berkendara. Aku hampir saja menabrak anak kamu. Untung saja ada gadis itu yang menyelamatkan putrimu." sambung pria muda yang sejak ada disana.

"It's ok. Caca juga sudah baik-baik saja kok." balas Papa Caca. "Lalu keadaan gadis itu?" lanjutnya bertanya.

"Dia masih didalam, dipriksa sama dokter. Semoga saja dia juga baik-baik saja." jawab pria itu lagi. "Ohh ya, aku Eky." mengulurkan tangannya pada Papa Caca.

"Devin." menjabat uluran tangan Eky.

Kedua pria yang tengah berjabat tangan ini, tidak akan pernah tahu apa yang akan mereka rasakan selanjutnya. Keduanya kini hanya mencemaskan keadaan gadis yang saat ini tengah berada diruang IGD rumah sakit tersebut.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang