19. Kencan?

347 22 1
                                    

Malam kembali berganti pagi. Kicauan burung dibalik cendela kamarnya, membuat Marsha membuka mata. Dia menggerakkan kedua tangannya, sambil tersenyum menyambut pagi dengan ceria. Sudah beberapa minggu ini dia melakukan hal tersebut atas saran dari Devin. Pria itu menjelaskan kepada dirinya, jika kita harus selalu menyabut pagi dengan sebuah senyuman. Karena dengan begitu, secara otomatis diri kita akan mensugesti untuk melakukan aktivitas hari ini dengan penuh kebahagiaan.

Marsha tersenyum lebar kala mengingat setiap ucapan dari pria yang sudah dia anggap sebagai pahlawannya. Ya. Pahlawan yang selalu muncul kala dia membutuhkan pertolongan, pahlawan yang sudah mengembalikan senyum cerianya. Dan pahlawan yang sudah berhasil memenangkan hatinya, entah dia sadar atau tidak.

Tanpa disadarinya, dia menang sudah jatuh sejatuh-jatuhnya kedalam pesona Devin. Dia bahkan tidak sadar, jika kini setiap harinya dia selalu menantikan pesan atau pun telepon dari pria tersebut. Seolah jika sehari saja dia tidak mendapatkan pesan, maka rasa rindu itu akan datang dan semakin membuatnya tersiksa.

Marsha berjalan kearah kamar mandi, membersihkan diri untuk bersiap pergi kesekolah. Selesai mengenakan seragam sekolahnya, dia keluar kamar dan berjalan menuruni akan tangga. Diruang makan sana sudah ada kedua orang tuanya yang menantikan dirinya untuk sarapan bersama.

Rumah ini hanya dihuni oleh tiga orang saja, sebab Vanya Kakak Marsha kini sudah menikah dan memulai kehidupan rumah tangganya bersama sang suami yang merupakan atasannya sendiri.

Marsha sudah mendudukan diri disamping Mamanya. Meraih selembar roti dan juga selai coklat yang ada ditengah meja, lalu meletakkannya pada piring yang ada dihadapannya. Mengunyahnya dengan pelan, tanpa menimbulkan suara.

"Kamu hari ini pulang sekolah jam berapa, Nak?" Tanya Papanya setelah tadi meletakkan koran bacaannya.

"Seperti biasa Pa, jam 3 sore." Jawab Marsha setelah menelan roti kunyahannya.

"Apa kau ingin Papa menjemputmu?" Tawar sang Papa.

"Tidak perlu, Pa. Marsha bisa pulang sendiri. Marsha bukan anak kecil lagi, dan Marsha akan belajar untuk lebih mandiri." Tersenyum kepada kedua orang tunya, lalu kembali melahap roti isinya.

Sarapan pagi ini sudah berakhir, Marsha berangkat kesekolah diantar oleh Papanya. Dan setelah itu Papanya akan pergi untuk bekerja. Jalan menuju kantor Papa Marsha memang searah dengan jalan menuju sekolahnya, sehingga tidak akan membuang waktu saat harus berhenti sebentar disekolah putrinya.

Marsha turun dari mobil Papanya, setelah berpamitan dan mencium punggung tangan sang Papa. Dia berjalan memasuki gerbang sekolah, lalu mulai masuk kedalam kelasnya. Disana sudah tampak beberapa siswa seperti dirinya yang duduk dibangkunya masing-masing. Ada beberapa yang tengah bercengkrama, ada pula yang sibuk menekuri buku dihadapannya. Marsha mendudukan diri dibangkunya, menanti jam pelajaran pertama dimulai.

Tak lama Ruth datang dengan senyum cerianya, lalu duduk disamping Marsha. "Selamat pagi." Sapa Ruth kepada teman baiknya itu.

"Selamat pagi, Ruth." Balas Marsha tersenyum kepadanya.

"Aku harap hari ini semua pelajaran tidak akan membosankan. Karena hari ini aku tidak ada jadwal pemotretan, maka aku harus menghabiskan waktu disekolah hingga selesai." Ruth berceloteh sambil mengutak-atik isi tasnya, mengechek beberapa buku pelajaran yang mungkin saja tertinggal.

"Tidak akan membosankan. Hari ini ada pelajaran seni favoritemu." Balas Marsha mengingatkan.

"Kau benar. Kita ada projec menyanyi bukan?" Tanya Ruth antusias yang dibalas anggukan oleh Marsha.

Keduanya saling tersenyum, mengingat menyanyi adalah hobby mereka. Projec bersama ini memang sudah lama mereka nantikan. Semenjak guru mereka menjelaskan waktu itu, mereka sudah sangat antusias untuk menyambutnya.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang