27. Seharian Bersama

219 13 1
                                    

Hingga dirinya lebih dahulu membuka pintu mobil itu sendiri, tanpa membiarkan Devin besikap sok romantis padanya lagi.

Marsha kini sudah berdiri disamping mobil Devin. Membiarkan pria itu untuk berjalan terlebih dahulu. Tetapi pria itu justru meraih telapak tangannya, dan membawa tubuhnya untuk lebih sejajar dengan sang pria.

"Kamu jangan jauh-jauh dari aku, nanti kalau hilang gimna?" Ucap Devin diakhiri senyumnya. Senyum yang selalu membuat hati Marsha luluh. Tetapi kali ini dia bisa mengendalikam dirinya. Dia tidak mau terpesona, hingga membuat hatinya kembali terluka.

Marsha hanya menunjukkan wajah datarnya. Walau didalam hati terdalamnya dia amat sangat bahagia karena bisa kembali berbaikan dengan Devin.

Devin masih berusaha keras untuk mencairkan suasana. Menawarkan untuk mengajak Marsha menikmati bersama wahana permainan ini dan itu. Tetapi Marsha hanya memberikan respon seadanya. Membuat Devin gemas dan langsung menarik tangannya untuk mengikutinya menikmati wahana.

Wajah Marsha yang awalnya sedingin es, kini mulai menemukan kembali keceriaannya. Dia sangat menikmati setiap wahanan yang dimainkannya bersama Devin. Seakan dia sudah melupakan setiap kekesalannya pada Devin akhir-akhir ini.

Saat rasa lelah telah menghampiri keduanya. Devin pun mengajak Marsha untuk beristirahat sejenak dan menuju salah satu tempat makan yang berada didalam taman hiburan tersebut.

Devin memesankan makanan untuknya dan juga Marsha. Bahkan Devin pun masih mengingat dengan jelas menu favorite yang biasa dipesan oleh Marsha. Hal sepele itu tentunya sangat manis dimata Marsha. Tetapi dia tidak mau salah paham lagi atas perhatian Devin untuknya. Dia tahu jika semua itu Devin lakukan untuk mendapatkan maaf darinya.

**

Selesai menikmati waktunya bersama Marsha. Devin kini mengantarkan gadis itu untuk pulang kerumah. Dia tidak mungkin membiarkan Marsha pulang sendirian, terlebih dia juga yang tadi mengajak Marsha untuk pergi hingga gadis itu harus membolos dari sekolah.

Devin sudah memberhentikan mobilnya didepan pekarangan rumah Marsha. Melepaskan sealtbetnya dan menatap kearah gadis yang ada disampingnya.

"Terimakasih ya buat hari ini." Ucap Devin diakhiri senyumnya.

Marsha hanya menganggukan kepala, menanggapi ucapan pria yang ada disampingnya. Dia enggan untuk membuka diri terlalu jauh pada sosok yang kini duduk disampingnya itu, tidak ingin rasa sakit itu kembali datang menghampiri.

Marsha hendak membuka pintu, tetapi dia urungkan saat mendengar suara pintu kemudi yang hendak dibuka oleh Devin. "Kakak mau ngapain?" Tanyanya.

"Mau ikut turun. Mau jelasin ke Mama kamu kalau tadi saya ajak kamu jalan-jalan sampi akhirnya kamu bolos sekolah." Jelas Devin.

"Gk perlu. Aku bisa ngomong sendiri kok ke Mama." Bantah Marsha.

"Saya laki-laki Marsha. Saya punya tanggung jawab saat mengajak anak gadis orang pergi sampai membuatnya bolos dari sekolah." Tegas Devin yang langsung keluar dari dalam mobilnya.

Marsha yang melihat Devin sudah keluar terlebih dahulu dari mobilnya, langsung menyusulnya dan berjalan dibelakang pria tersebut. Pria dewasa yang mengaku punya tanggung jawab atas dirinya. Memangnya siapa Marsha? Jangan terlalu besar kepala dulu, bisa saja nanti dia menyakitimu lagi.

Devin sudah sampai didepan pintu rumah. Menekan bel dan menunggu beberapa saat hingga pintu itu terbuka. Tampaklah seorang wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuknya. Wanita itu tampak mengukir senyum ramah menyambut kedatangan tamu dirumahnya.

"Selamat siang Tante." Ucap Devin seraya mengamit tangan Mama Marsha.

"Iya, selamat siang. Lohh Marsha, kamu sudah pulang?" Balas Mama Marsha yang kemudian menatap kearah putrinya.

"I...iya Ma." Jawab Marsha terbata.

"Maaf Tante. Sebenarnya tadi saya mengajak Marsha pergi. Saya menyuruh dia membolos sekolah untuk menemani saya." Jelas Devin tanpa ragu. Dia sudah membuktikan ucapannya, dengan menjadi pria yang bertanggung jawab.

Mama Marsha hanya diam, lalu menyuruh putrinya untuk masuk kedalam rumah. Dan saat Marsha sudah menghilang dari padangannya, Devin kembali berucap.

"Jangan marah pada Marsha ya Tante. Dia tidak bermaksud untuk membolos sekolah hari ini. Saya yang sudah memaksa dia melakukan hal yang tidak baik itu."

Mama Marsha tersenyum menanggapi ucapan pria muda yang ada dihadapannya itu. Dia tampaknya memaklumi tindakan tidak terpuji dari seorang pria yang dimabuk asmara. Bukankah dia juga pernah muda? Dan dia tidak akan mungkin melarang putrinya untuk menikmati masa muda yang terlampau indah dan berlalu seketika.

"Tante tidak akan memarahinya. Tapi kamu jg harus berjanji pada Tante, bahwa kamu tidak akan membuatnya membolos dari sekolah lagi."

"Iya Tante, saya janji." Jawab Devin dengan senyuman tulusnya.

"Kalau begitu saya permisi dulu Tante. Sekali lagi saya minta maaf." Ucap Devin lagi berpamitan.

"Iya, dimaafkan. Dan hati-hati dijalan." Balas Mama Marsha yang kemudian menutup pintu rumah dan mencari keberadaan Marsha.

Setelah mencari diruang tengah dan menoleh kedapur, tampaknya tidak ada tanda-tanda keberadaan sang putri disana. Vina pun akhirnya menuju lantai dua rumahnya, menaiki satu per satu anak tangga dan berhenti tepat didepan kamar Marsha. Dia mengetuk pintu sebelum akhinya membuka pintu tersebut tanpa persetujuan sang pemilik kamar.

"Kamu sedang apa sayang?" Tanya Vina setelah berhasil masuk kedalam kamar putrinya.

Marsha menggelengkan kepala, lalu menunduk penuh penyesalan. Dia siap menerima amukan sang Mama hari ini. Semua memang karena kesalah Devin. Pria itu yang sudah memintanya untuk membolos. Lalu Marsha yang memang polos dan dibodoh oleh rasa yang bernama cinta, hanya patuh saat sang pria memintanya untuk pergi bersama saat jam sekolah.

"Maaf Ma. Marsha tau Marsha salah. Marsha tidak seharusnya membolos dan pergi bersama Kak Devin. Marsha tidak akan mengulangi hal itu lagi Ma. Marsha janji."

Vina berjalan menghampiri Marsha, memeluk putri bungsunya itu dengan penuh kasih. "Kamu tidak perlu meminta maaf sayang. Mama sudah mengerti situasinya. Devin sudah menjelaskan semuanya kepada Mama." Ucap Vina masih dengan pelukan eratnya.

Marsha mendongak, menatap wajah Mamanya yang tampaknya memang serius dengan kalimat yang dilontarkannya tadi. Mamanya memanglah orang baik. Marsha menyesal dulu pernah berfikiran picik tenang wanita yang kini dipanggilnya Mama itu.

"Kamu tau. Mama dulu juga pernah muda. Bahkan apa yang dulu Mama lakukan, bisa lebih parah dari sekedar membolos sekolah." Vina mengurai pelukannya dan mengusap hidung Marsha dengan jari telunjuknya.

"Benarkah?" Marsha mulai antusias.

Vina menganggukan kepala, lalu mulai kembali bercerita tentang masa-masa remajanya. Tentang bagitu banyak pria yang mengejar dirinya. Tetapi hatinya sudah tertambat pada satu pria, yaitu Papa Marsha.

"Kepolosan dan sikap malu-malu yang dimiliki Papa kamu, sudah sukses membuat Mama penasaran dan lebih parahnya lagi menjurus pada perasaan cinta." Vina terus bercerita sambil tersenyum membayangkan kisah-kisah indah antara dirinya dan sang suami.

"Jadi, sudah sampai mana hubungan kamu dengan dia?" Pertanyaan sang Mama memukul kembali kesadaran Marsha. Dia terlalu larut dalam kisah cinta Mama dan Papanya yang terlampau manis seperti gulali.

Namun kisahnya sendiri? Tampaknya jauh dari kata manis. Yang dia rasakan hanya sebuah kepahitan. Rasa pahit bak jamu herbal yang biasa dikonsumsi orang-orang tradhisional.

"Aku dan dia bukan seperti apa yang Mama pikirkan. Aku tidak akan bisa memilikinya." Marsha masih sanggup menunjukkan senyum getirnya. "Dia sudah menjadi milik orang lain Ma. Dan sekeras apapun aku berusaha, aku tidak akan bisa menggapainya. Dia terlampau jauh untuk diraih. Aku tidak ingin melakukan kesalahan seperti yang Mamaku lakukan. Merebut Papa dari Mama." tanpa terasa air mata itu jatuh begitu saja. Marsha buru-buru menghapusnya dan kembali sembunyi pada pelukan sang Mama.

Vina tak kuasa lagi melanjutkan kalimatnya. Dia tidak ingin melihat putri bungsunya itu merasakan kesedihan yang teramat dalam. Hanya sebuah pelukan yang bisa dia tawarkan, sebagai pengobat pilu dan pengusir rasa sedih yang kini telah melilit sang putri.

TO BE CONTINUED.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang