33. Terbongkar

273 18 1
                                    

Taksi yang ditumpanginya sudah sampai di depan pekarangan perusahaan berlebel WE Corporation. Perusahaan yang bergerak pada bidang telekomunikasi dengan memproduksi barang-barang teknologi serba canggih.

Marsha membuka pintu belakang taksi tersebut, lalu keluar setelah membayar dana sesuai dengan argo yang tertera. Pemandangan yang dia lihat saat ini sungguh mencengangkan. Bagaimana tidak, jika gedung sepuluh lantai yang berlapis keramik itu tampak menyilaukan mata.

Marsha mulai berjalan memasuki lobby utama. Dan kembali tercengang saat menatap interior ruangan yang serba mewah. Ini baru lobby. Lalu bagaimana bentuk ruangan pemimpinnya? Tentu sangat luar biasa mewah.

Marsha menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang membuatnya lupa tentang tujuannya datang kemari. Dia berjalan menuju meja resepsionis. Mengucapkan salam pada wanita cantik berkulit putih yang menggunakan name tag bertuliskan ANISSA.

"Iya Adek selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" balas wanita cantik tersebut diakhiri senyum ramahnya.

Marsha sempat tercengang saat mendengar panggilan wanita itu untuknya. Ya, memang saat ini Marsha masih mengenakan seragam sekolah. Tetapi haruskan Mbak Anissa itu memanggilnya dengan sebutan 'adik'?

"Saya ingin bertemu dengan Pak Devin Wilson. Apakah beliau ada?" balas Marsha bertanya.

"Apakah adik sudah membuat janji? Tampaknya hari ini Pak Devin sedang sibuk sekali."

"Saya belum membuat janji. Tp bisakah Mbak Anissa membantu saya?" Ucap Marsha ragu, tetapi tampaknya Anissa lebih ramah dari yang dia duga. Wanita itu justru tersenyum sambil menganggukan kepala. Lalu mengangkat gagang telepon dan mulai menekan kombinasi angka yang tidak Marsha ketahui untuk apa.

**

Devin baru saja mengechek beberapa berkas yang menumpuk diatas meja kerjanya. Lalu pendengarannya menangkap suara dering telepon kantornya. Devin meletakkan penanya, lalu meraih gagang telepon disebelah kanannya.

"Hallo Dinda, ada apa?" ucapnya yang selalu tertuju pada titik masalah.

"Maaf Pak menganggu. Dilobby ada seorang gadis yang bernama Marsha ingin bertemu dengan Bapak." jawab sang sekertaris bernama Adinda tersebut.

"Marsha?" tanyanya memastikan.

"Benar Pak. Anissa bilang gadis itu berseragam SMA. Apakah Bapak ingin men----"

Belum sempat Adinda menyelesaikan kalimatnya, Devin lebih dulu menyela. "Biarkan dia menemui ku! Minta Anissa untuk mengantarnya langsung kemari!"

"Baik Pak. Saya akan menyampaikannya."

Devin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan begitu keras, seakan memastikan jika telepon tadi adalah nyata. Marsha yang akhir-akhir ini menjauhinya, kini tiba-tiba datang ke kantornya. Entah apa tujuan gadis itu datang kemari. Tetapi Devin tampaknya tidak perduli. Dia terlalu bahagia membayangkan Marsha berdiri dihadapannya.

**

Marsha hanya bisa diam saat mengikuti langkah Anissa yang entah akan membawanya kemana. Langkahnya terhenti sebentar saat menunggu litf yang masih bergerak menuju ketempatnya.

Lift ini cukup sepi untuk kalangan perusahaan besar seperti WE CORPORATION. Dilobby tadi memang masi ada beberapa orang berlalu lalang. Tetapi,kenapa didalam lift hanya ada mereka berdua.

"Ini lift yang hanya dikhususkan untuk para petinggi dikantor ini. Kamu adalah tamu dari pemimpin kami, jadi kamu bisa menggunakan lift ini." ucap Anissa saat melihat gelagat bingung dari raut wajah Marsha.

Marsha hanya menganggukan kepala, lalu kembali menatap lurus pada pintu lift yang belum terbuka. Pikirannya kembali pada setiap kalimat yang diucapkan oleh Claudya beberapa saat lalu. Uang yang diberikan oleh wanita itu bahkan masih dia simpan didalam tas. Mungkin sebentar lagi akan berpindah tangan.

Marsha sebenarnya sudah tidak ingin terlibat masalah dengan pria yang akan ditemuinya itu. Tetapi semua ini memang harus diakhiri secepatnya. Dia tidak ingin selalu menjadi gadis yang buta akan kenyataan. Dia sudah mengetahui segalanya, dan kenyataan itu cukup membuatnya semakin terpuruk.

Dia harus menyelesaikan ini semua. Hingga tadi dia memutuskan untuk menelpon Ruth dan meminta alamat kantor dari Kakak sepupu sahabatnya itu. Ruth tidak banyak bertanya, dan langsung memberikan alamatnya. Dan disinilah Marsha sekarang. Didalam gedung bertingkat yang teramat mewah, dengan lebbel perusahaan WE CORPORATION.

"Kita sudah sampai. Kamu hanya tinggal berjalan lurus saja, dan masuk pada pintu disebelah kanan. Disana sudah ada sekertaris Pak Devin yang akan mengantarkan dirimu keruangannya." ucap Anissa sopan yang dibalas anggukan kepala oleh Marsha.

Marsha mengucapkan terimakasih, lalu Anissa kembali memasuki lift dan menghilang setelah pintu liftnya mulai tertutup. Marsha berjalan lurus sesuai intruksi dari Anissa tadi, lalu membuka pintu yang ada disebelah kana. Dilihatnya ada seorang wanita cantik lagi yang sedang sibuk menatap layar komputer. Sepertinya dia adalah sekertaris Devin yang dimaksud oleh Anissa tadi.

"Selamat sore." ucap marsha sedikit ragu.

Wanita itu mengalihkan pandangannya pada Marsha, lalu berdiri seraya tersenyum ramah. "Silakan. Pak Devin sudah menunggu anda didalam."

Marsha mengikuti langkah wanita itu yang kini membawamya pada pintu kaca besar yang teramat mewah. Pintu terbuka, dan menampakkan sebuah ruangan yang sangat luar biasa mewah. Dinding kaca yang menampakkan pemandangan luar dari ketinggian 10 lantai. Ruangan ini sangat luas jika hanya dihuni oleh satu orang saja, dan itu wajar jika dia adalah seorang pemimpin dari sebuah perusahaan ternama seperti Devin Wilson.

"Tamu anda sudah datang Pak. Saya permisi dahulu." wanita itu keluar dari ruangan Devin dan meninggalkam Marsha yang masih mematung ditempatnya.

"Duduklah Marsha!" suara Devin membawa kesadaran Marsha kembali.

Kekagumannya tadi saat pertama kali memasuki ruangan ini hilang seketika setelah suara Devin menggema ditelinganya. Dia langsung berjalan cepat kearah meja Devin, berdiri diantara meja yang membatasi tubuh mereka.

Marsha mengeluarkan amplop coklat dari dalam tasnya. Meletakkannya diatas meja, dan mendorongnya kearah Devin. Dia tidak ingin berbasa-basi dan duduk dengan tenang  pada kursi yang tampak nyaman itu.

"Apa ini?" tanya Devin.

"Aku kembalikan uang yang sudah calon istri Kakak berikan untuk ku. Semua ini tidak akan sebanding dengan nyawa Mamaku." Marsha masih bisa menunjukkan ekspresi tenangnya saat mengucapkan kalimat tersebut.

"Apa Maksud kamu Marsha?" Devin mulai berdiri dari kuris kebesarannya. Bertanya sambil menyelam dalam manik mata gadis dihadapannya.

"Kakak tentu tau apa maksud dari ucapanku tadi. Sudah cukup Kakak berpura-pura selama ini. Sikap baik Kakak, keramahan Kakak, pertolongan yang sudah Kakak berikan. Aku sangat menghargai itu, dan terimakasih. Tapi aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Aku tidak ingin ditolong lagi oleh orang yang menghancurkan kehidupanku."

"Marsha, aku----"

"Tidak perlu menjelaskan apapun! Aku sudah paham situasinya. Aku tidak akan bisa memaafkan Kakak semudah itu. Lebih baik kita tidak pernah bertemu lagi, dan anggap kita tidak saling mengenal. Marsha tidak pernah bertemu dan mengenal pria bernama Devin." Marsha membalikkan tubuhnya, keluar dari ruangan itu meninggalkan kenangan pahit dalam hidupnya. Tidak ada lagi Devin. Tidak ada lagi sosok pria mana pun yang dia cintai. Hanya kehidupan baru, kehidupan dimasa mendatang yang akan membuatnya lupa pada masa sekarang.

**

"Maafkan aku Marsha." Devin hanya bisa menggumamkan kata tersebut dengan menatap sendu punggung Marsha yang semakin menjauh lalu menghilang dibalik pintu.

Semua sudah berakhir. Gadis itu sudah mengetahui segala rahasia terbesar yang dia punya. Perasaannya hancur, dan dia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Mungkinkah dia harus menuruti keinginan gadis itu untuk melupakan segalanya? Atau dia harus kembali berjuang demi menepati janjinya pada Mama Marsha?

Entahlah. Devin belum bisa memutuskan apa pun saat ini. Pikirannya hanya terfokus pada Marsha. Pada gadis lugu yang diam-diam mulai dia cintai. Tetapi cintanya itu harus kandas sebelum berlabuh pada hati yang dia tuju.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang