31. Pelukan Seorang Sahabat

180 11 0
                                    

Pagi ini setelah menerima panggilan telepon dari seseorang, Ruth langsung bergegas untuk pergi menemui sahabatnya. Dia yang mengenakan stelan baju berwarna hitam tampak sedang menuruni anak tangga. Disoffa ruang tengah ada Papa dan juga Kakak sepupunya yang tengah mengobrolkan masalah bisnis mereka.

Ruth berjalan dengan terburu-buru, hingga tidak sempat menyapa Papa dan kakak sepupunya itu. Tetapi suara sang Papa yang lebih dulu mengintrupsi, membuatnya menghentikan langkah yang hendak meninggalkan ruang tengah.

"Kau akan pergi kemana sayang, kenapa terburu-buru? Apa kau tidak akan ke sekolah pagi ini?" tanya Papanya itu.

"Ruth tidak akan ke sekolah Pa. Hari ini sahabat Ruth sedang sedih, jadi Ruth harus menghibur dan menemaninya. Ruth berangkat dulu ya Pa." pamit Ruth yang hendak kembalikan tubuhnya. Tetapi tiba-tiba sang Kakak sepupu ikut bersuara dan membuatnya tetap berhenti ditempat.

"Biar Kakak yang mengantarmu Ruth." ucap kakak sepupunya itu.

"Ti--" Ruth hendak menolak, tetapi Papanya lebih dulu menyela dan membuatnya mau-mau harus mengikuti perintah tersebut.

"Benar Ruth. Lebih baik Devin mengantarmu. Papa akan lebih tenang jika kamu pergi bersama Kakakmu."

Ruth menganggukan kepala, dan Devin langsung bangkit dari posisinya. Mereka berjalan beriringan untuk meninggalkan rumah, lalu masuk kedalam mobil Devin yang sudah terparkir didepan sana.

**

Devin mengendarai mobilnya dengan tenang. Sebenarnya dia amat penasaran dengan apa yang tadi dikatakan oleh adik sepupunya itu. Dia tahu betul siapa sahabat yang dimaksud oleh Ruth tadi. Dan karena rasa penasaran itu, dia pun memutuskan untuk ikut bersama sang adik sepupu.

"Kita akan kemana?" tanya Devin memecah keheningan.

Sebenarnya hubungan kedua sepupu ini masih belum membaik. Ruth masih enggan berbicara dengan Devin karena perasaan bersalahnya kepada Marsha. Tetapi sepertinya saat ini dia harus sedikit mengurangi egonya.

"Ke rumah Marsha." jawab Ruth pelan.

"Apa terjadi sesuatu pada Marsha?" tanya Devin yang sarat akan kekhawatiran. Ruth bisa mengetahui itu hanya dengan mendengar nada ucapannya.

"Mama dan Papa Marsha mengalami kecelakaan pesawat, dan mereka tewas." Ruth menjeda sebentar ucapannya, lalu kembali berkata. "Marsha pasti sangat sedih saat ini. Dia baru saja kehilangan Ibu kandungnya, dan baru bisa menerima keluarga dari Papanya itu. Tetapi sekarang dia harus kembali merasakan kehilangan. Semua ini pasti sangat berat untuknya." terdengar nada keprihatinan dalam setiap ucapan Ruth. Membuat rasa bersalah Devin semakin bertambah.

Devin turut andil dalam setiap kesedihan yang dirasakan oleh Marsha. Dan nampaknya akan sulit untuk mendapatkan maaf dari gadis itu. Terlebih Devin juga sudah mematahkan hatinya. Dan luka yang berkaitan dengan hati itu, membutuhkan waktu yang lama untuk proses penyembuhannya.

Tak terasa mobil yang dikendarainya sudah sampai didepan rumah Marsha. Disana tampaknya sudah mulai banyak orang. Beberapa pria dengan stelan berwarna hitam tampak sedang duduk pada kuris-kursi yang tersedia. Tak ketinggalan adanya karangan bunga dengan ucapan belasungkawa yang berjejeran menghiasi area depan rumah Marsha.

Devin hendak membuka pintu untuk ikut keluar bersama sang sepupu. Tetapi kemudian dia urungkan setelah mendengar ucapan Ruth yang tampaknya memang benar.

"Lebih baik Kakak tidak usah ikut turun! Kakak hanya akan membuatnya kembali bersedih dengan datang menemuinya disaat seperti ini. Maafkan aku. Tapi tadi dia juga berpesan agar tidak memberitahukan masalah ini kepada Kakak."

Devin hanya menganggukan kepala, lalu kemudian berkata pada adik sepupunya itu. "Baiklah, Kakak akan menunggu disini saja. Kau masuklah!"

"Kakak tidak perlu menungguku. Mungkin aku akan lama disini. Lebih baik Kakak pergi kekantor. Aku akan menghubungi Kakak jika nanti terjadi sesuatu."

Devin kembali menganggukan kepala seraya berkata, "Kakak akan pergi. Segera hubungi Kakak jika kau ingin pulang! Kakak akan menjemputmu."

Ruth menganggukan kepala, lalu keluar dari dalam mobil Devin dan berjalan memasuki rumah Marsha. Sedangkan Devin masih enggan untuk melajukan mobilnya. Dia masih berhenti disana. Mengamati keadaan rumah yang tampak ramai dengan para pelayat yang berdatangan.

**

Marsha kini masih menangisi kepergian Mama dan Papanya, disaat pintu kamarnya diketuk oleh sang Kakak dan mengatakan jika ada seseorang yang ingin menemuinya.

"Marsha... Buka pintunya dek, ada teman kamu nih diluar." teriak Vanya dari luar kamar Marsha.

Marsha menyeka air matanya yang menggenang dipelupuk mata. Lalu mulai berjalan kearah pintu dan membukanya. Dilihatnya sosok Ruth berdiri disana tanpa adanya Vanya. Mungkin Kakaknya itu sudah kembali kebawah untuk menjamu tamu yang lainnya.

Marsha berhambur kedalam pelukan sahabatnya itu. Kembali menumpahkan tangisnya pada bahu Ruth yang tampak erat memeluk tubuhnya.

"Jangan menangis, aku ada disini buat kamu!" ucap Ruth mengelus punggung Marsha yang bergetar.

Bukannya meredah, tangis Marsha justru semakin kencang. Ruth pun mengurai pelukannya dan membawa Marsha untuk masuk kedalam kamarnya. Tak lupa dia menutup kembali pintu kamar Marsha, agar suara tangis sahabatnya itu tidak terdengar sampai keluar.

"Kamu datang sendiri?" tanya Marsha saat mulai bisa mengendalikan dirinya.

Ruth menganggukan kepala, lalu memberikan senyum kecil kepada sahabatnya itu.

"Kamu tidak berbohong kan? Kamu tidak memberi tahu dia kan tentang ini? Aku tidak mau jika dia semakin mengasihaniku" ucap Marsha lagi.

Ruth tampak ragu untuk memberitahukannya kepada Marsha. Tetapi dia juga tidak berbohong kepada sahabatnya itu. Akhirnya Ruth pun mulai bercerita. Dia mengatakan jika tanpa sengaja Devin datang kerumahnya. Dan tanpa direncanakan juga, Papa Ruth meminta Devin untuk mengantarkannya kemari. Ruth juga menjelaskan jika tadi dia sudah meminta Devin untuk kembali, dia tidak mungkin mengingkari janjinya kepada Marsha.

Marsha menganggukan kelapa, lalu kembali memeluk sahabatnya sambil berkata. "Terimakasih Ruth. Maaf harus membuatmu bertindak seperti itu pada sepupumu sendiri."

"Tidak perlu berterimakasih. Kamu sahabatku, akan ku lakukan apapun untuk kamu. Termasuk melindungimu dari Kakak sepupuku sendiri." ucap Ruth membalas pelukan Marsha tak kalah eratnya.

Mereka berdua larut dalam suasana haru yang tercipta. Berkat Ruth, Marsha mulai sedikit bisa mengendalikan dirinya. Dia banyak bercerita pada sahabatnya itu tentang segala kegundahan hatinya, tentang betapa tidak adilnya dunia memperlakukan dirinya.

Ruth tidak banyak berkomentar. Dia lebih sering diam dan mendengarkan keluh kesah Marsha yang masih menitihkan air mata. Bukan karena malas menanggapi, dia hanya ingin Marsha meluapkan emosinya hari ini dan kembali ceria di esok hari.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang