18. Saling Percaya

318 19 1
                                    

Sarapan pagi sudah tertata rapih. Marsha tersenyum puas melihat hasil masakannya yang berbahan dasar roti. Tidak ada cukup bahan untuk membuat nasi, maka sandwich adalah pilihan tepat untuk sarapan pagi.

Ruth berjalan menghampirinya, lalu mendudukan diri pada salah satu kursi yang tersedia. Dia tersenyum ramah sembari mengucapkan salam selamat paginya, dan disambut Marsha dengan ucapan yang sama.

Mereka kini tampak menikmati sarapan paginya bersama-sama. Sarapan sederhana dengan sepotong sandwich dan juga susu vanila. Tidak ada banyak waktu untuk memesan makanan dari luar. Sebab saat makanan itu datang, mungkin semua orang sudah meninggalkan tempat ini.

"Kau ingin pergi?" Tanya Marsha saat melihat penampilan Ruth yang sudah rapih.

"Iya. Aku ada jadwal pemotretan hari ini. Kau tidak keberatan kan jika aku pergi?" Balas Ruth menunjukkan senyum canggungnya.

"Tidak, Ruth. Pergilah! Terimakasih sudah menjaga dan menemaniku sejak kemarin." Meraih telapak tangan Ruth yang ada disampingnya, dan mengenggamnya.

"Itu gunanya teman kan? Kau tidak perlu sungkan." Membalas genggaman tangan Marsha. "Lupankan segala kejadian kemarin! Anggap saja itu hanya sebuah mimpi buruk yang sekilas datang, lalu pergi begitu saja. Aku tahu ini semua tidak akan mudah bagimu. Namun aku yakin, kau bisa melewati semua ini. Kau adalah gadis terkuat yang pernah aku kenal, dan aku beruntung bisa menjadi temanmu." Lanjutnya menatap tepat pada mata sendu Marsha.

Marsha menganggukan kepala, lalu menunjukkan senyum datarnya. Senyum yang dibalut luka dan ketegaran. Memang kejadian kemarin masih sangat membekas dalam ingatannya, dan ketegaran yang diperlihatkannya saat ini, hanyalah sebuah bentuk pelarian dirinya. Dia tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Biarkan semua itu menjadi luka yang tak mudah dilupakan. Setidaknya dengan begitu, dia akan lebih berhati-hati dalam menilai sikap baik seseorang.

"Aku akan mencobanya, Ruth. Setidaknya dengan begini aku bisa tahu, mana orang yang benar-benar tulus dan mana orang yang berakal bulus." Jawab Marsha masih dengan menggengan tangan Ruth.

Mereka berpegangan tangan cukup lama, saling menatap layaknya sepasang sahabat yang sudah dipertemukan sejak lama. Ruth merasa bahagia bisa dipertemukan dengan sosok seperti Marsha. Sosok yang sekilas tampak pendiam dan tertutup, namun memiliki ketulusn hati yang luar biasa. Sedangkan Marsha juga merasa beruntung bisa memiliki teman seperti Ruth. Teman yang walau pun memiliki kesibukan, tetapi masih bisa memberikan perhatiannya kepada teman yang kesusahan.

Mereka melanjutakan aktivitas makan bersamanya. Sampai setelah piring dan gelas dihadapannya kosong, Ruth berpamitan kepada Marsha untuk melakukan rutinitasnya hari ini.

Devin baru saja keluar dari dalam kamarnya, mendapati Marsha hanya duduk sendiri dimeja makannya. Dia berjalan menghampiri gadis itu, mendudukan diri pada salah satu kursi yang bersebrangan dengannya.

Marsha mendongakkan kepala, saat merasakan kehadiran seseorang yang duduk didihadapannya. Dia menunjukkan senyumannya, dan membuat Devin menggerjapkan mata beberapa kali.

Devin berdeham untuk menghilangkan kegugupanya. Lalu dengan menuangkan air kedalam gelasnya, dia bertanya, "Apakah Ruth sudah pergi?"

Marsha menganggukan kepala menjawab pertanyaan Devin. Lalu memunggut piring kotor bekasnya dan juga Ruth untuk dia cuci nanti. Dia berjalan meninggalkan meja makan, dan meletakkan piring kotor tersebut pada tempat cuci piring.

"Apakah Kakak tidak bekerja hari ini?" Tanya Marsha kembali duduk dikursinya.

"Tidak. Aku ingin berbelanja hari ini. Kau ingin ikut?" Tawar Devin sambil mengunyah sandwich dimulutnya.

Impossible Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang