Bagian lima

1.9K 125 0
                                    

(Versi Revisi)


Sebagai industri yang terus berkembang, yang didefinisikan sebagai praktik merancang, membangun sekaligus sebagai wadah pemeliharaan lingkungan, teknik sipil merupakan salah satu industri yang berperan penting di sektor publik maupun swasta. Selain dapat memilih spesialis di berbagai bidang studi, baik dari rekayasa strukural, teknik lingkungan hingga nanoteknologi, luasnya pemilihan karir yang sudah barang pasti menjamin, menjadi salah satu alasan mengapa Difan dan beberapa teman lainnya memilih jurusan ini sebagai batu loncatan menggapai masa depan.

Awal masuk Difan memang merasa kurang cocok berada di lingkungan para insinyur itu. Saat berada di Sekolah Menengah Atas, ketika teman-temannya membahas tentang jurusan yang akan diambil saat kuliah, jurusan teknik sama sekali tak terlintas di pikirannya. Entah itu teknik mesin, teknik industri ataupun teknik sipil dan lingkungan tempatnya bergelut dengan tugas-tugas saat ini.

Lambatnya respon pada pelajaran matematika dan fisika, serta otak Difan yang tidak pernah sampai pada setiap materi yang berhubungan dengan hitungan membuatnya ragu saat pertama kali Abrian menawarkannya untuk masuk FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan).

Namun, seperti yang dikatakan pria keturunan Arab Jawa itu, semua jurusan akan terasa sulit jika kita tidak mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Bahkan di fakultas sastra saja, ambil saja contohnya jurusan sastra Indonesia, tidak melulu harus pandai bersyair sejak lahir baru bisa dikatakan sebagai sastrawan. Kesungguhan kita dalam menekuninya akan membuat jiwa sastra kita muncul dengan sendirinya. Seperti kata pepatah, alah bisa karena terbiasa.

Pandangan Abrian yang terbilang cukup luas itulah yang membuat Difan turut larut dalam setiap tugas maupun proyek yang ada pada jurusan teknik sipil yang memberikannya status sebagai mahasiswa hingga hari ini.

Memasuki semester lima, mereka terus disibukan dengan tugas-tugas yang membutuhkan waktu ekstra dalam pengerjaannya. Bagaimana tidak, sama halnya seperti jurusan lain yang setelah praktik hal yang harus mereka pikirkan selanjutnya adalah laporan. Selayaknya power rangers, mereka dituntut untuk tak pernah lelah dalam bertarung. Setiap minggu setelah praktik,  ada laporan yang  menunggu. Setelah laporan harus kembali dikejutkan dengan kuis-kuis maut yang entah mengapa selalu membuat mereka spot jantung, dadakan. Serta hal yang paling horor adalah deadline tugas di saat-saat mepet waktu UAS. 

Bagi Difan sendiri, semester lima ini adalah adalah masa-masa krusial. Belum lagi di usianya yang setengah matang ini, harus dihadapkan dengan krisis hidup, atau yang sering disebut quarter life crisis. Segala sesuatu yang ia kerjakan terasa ngambang. Baik dari karirnya, maupun hubungan percintaannya.

"Fan, hasil tes tanah kemarin gimana?" tanya Abrian. Tangannya mulai menandai bagian-bagian penting pada artikel di tabnya.

Difan yang tengah mengetik sesuatu di laptop mengangkat kepala seraya memperbaiki kaca mata baca yang bertengger di hidung mancungnya. Mereka tengah mengerjakan laporan praktik tentang pengerjaan galian dan timbunan, yang di mana dua hari lalu mereka langsung ikut serta terjun ke lapangan.

"Gimana apanya?" Kening Difan berkerut., sulit mencerna maksud dari pertanyaan mengambang sahabatnya.

Abrian mendengus kemudian kembali membuka suara, "Tes tanahnya sudah keluar apa belum?"

"Sudah," jawab Difan singkat.

"Lo dengerkan, kalo ponsel lo dari tadi bergetar?" tanya Abrian saat melihat Difan tak melirik benda pipih yang sejak tadi mengganggu konsentrasinya.

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang