Jangan tanyakan kenapa hari ini Difan tidak terlihat bersemangat sama sekali. Karena sudah pastinya, Mentari selalu menjadi penyebab utamanya. Ada banyak hal tentang gadis itu yang memenuhi isi otaknya. Bahkan kuliah sudah bukan opsi pertama dalam fokusnya saat ini.
Mentari, gadis dengan belah manggis yang ketika tersenyum menyipitkan matanya itu membuat Difan kalut setengah mati. Di otaknya sudah tidak ada lagi ide-ide cemerlang yang akan membawanya ke gadis itu. Buntu. Bahkan ia harus berfikir keras untuk menemukan cara ampuh untuk mendekatinya.
Mentari sulit ditebak. Gadis itu kadang elu-eluan, kadang juga bersikap apatis terhadap kehadiran Difan. Dan hal inilah yang membuat Difan jadi agak sedikit sangsi jika ingin melakukan pendekatan.
"Gila, Bro! Indonesia berhasil merebut piala AFF setelah sekian lama!" sorak Deno yang diangguki teman-temannya.
Permainan kemarin malam sukses membuat pemuda-pemuda itu merasa bangga atas hadiah menjelang kemerdekaan Indonesia. Deno bahkan tidak tidur semalaman karena melakukan selebrasi bersama beberapa teman kosnya. Pria asal Solo yang menetap beberapa tahun belakangan di Bandung itu juga hari ini mentraktir teman-temannya saking bahagia atas kemenangan Indonesia. Akhirnya, setelah sekian lama mereka menunggu kabar gembira dari Timnas. Sementara Abrian hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Berlebihan sekali, pikirnya.
"Tapi sayang kemarin gue gak nonton," sahut salah seorang pria yang duduk di samping Deno.
"Nyesel lo gak nonton. Lebih seru ini daripada piala dunia kemarin," ujar pria berambut keriting itu. Raut wajahnya masih menunjukan kebanggaan yang luar biasa atas U-16 kemarin malam.
"Bohong lu, Den," timpal Zulhan. "Yang kemarin sampe salto-salto karena kemenangan Prancis siapa?"
Deno tersenyum dengan menampilkan deretan gigi besarnya. Dia lupa kalau teman satu kosnya itu sudah mengetahui seluk beluknya. Jadi susah kalau mau ngibulin anak-anak pas ada Zulhan.
"Eh, balik yuk, Den," ajak Zulhan ketika melihat suasana kantin siang itu sudah lumayan padat, hingga membuat udara di sekitar mereka terasa pengap.
Deno yang tengah menyeruput bajigur kopinya mengangguk. Kebetulan ia juga siang ini masih ada acara.
Setelah dua orang itu pamit, beberapa temannya yang duduk bersama mereka tadi pun ikut mengundurkan diri. Dan kini menyisakan dua sahabat yang kini sama-sama terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Abrian yang kala itu duduk di hadapan Difan tengah menyuapkan sisa soto yang tidak sempat dihabiskannya beberapa saat lalu karena pembicaraan teman-temannya yang lumayan seru. Dan Difan, tahu lah apa yang membuat pria berjambul itu sibuk sendiri. Yah, apa lagi kalau bukan Mentari.
Lama mereka terdiam, akhirnya Abrian yang telah menghabisakan sisa sotonya bersuara ketika melihat wajah serius Difan.
"Fan?" panggilnya, membuat Difan yang awalnya menundukkan kepalanya menoleh. "Lo ngapain sih? Dari tadi diem mulu," tanyanya.
Difan berdeham pelan, kemudian mengatur posisi duduknya yang mulai terasa tidak nyaman. Pantatnya sudah keram akibat terlalu lama duduk dalam posisi yang sama selama satu jam lebih.
"Lagi mikir," jawabnya singkat.
Alis tebal pria berdarah Arab Jawa itu terangkat, membuat keningnya ikut berkerut.
"Yakin lo lagi mikir? Kok kaya orang mules gitu?" kelakarnya yang malah membuat Difan berdecak.
"Kagak ngerti sih, lo." Abrian terkekeh ketika melihat Difan kembali pada pose berpikirnya. Sok serius.
"Mikirin apa sih? Dalem banget kayanya," ujar Abrian kembali memecahkan konsentrasi Difan. "Awas lama-lama lo gila karena kebanyakan mikir," lanjutnya yang lagi-lagi membuat pria sunda di depannya berdecih, kesal.
"Ck. Kayanya gue butuh cara lain deh buat ngedeketin Mentari," ujarnya tanpa disangka-sangka.
Abrian terdiam beberapa saat. Si Difan ternyata masih bersikukuh untuk mendekati gadis itu setelah beberapa kali ditolak secara terang-terangan. Good. Masih bernyali juga rupanya, pikir Abrian ala-ala sinetron India.
"Bantuin dong, Yan," pinta Difan.
"Bantuin ngapain? Ngedeketin Mentari?" tanyanya.
Difan mengangguk.
"Jangan, ah. Entar kalau Mentari jadi naksir ke gue gimana? Ikhlas lo?" cecar Abrian yang membuat Difan menggeleng.
Benar juga. Secara, Abrian ini kan sedikit tidak mendekati kriteria cowok idaman Mentari. Sebelas dua belas dengan ustad yang dimaksud Gendis tempo hari.
"Ah, iya!" seru Difan. "Kayanya gue tahu harus ngedeketin Mentari dengan cara apa," ujarnya.
"Apa?" tanya Abrian. Penasaran juga secemerlang apa ide pria di depannya ini.
"Hemm ... beberapa hari yang lalu gue denger cerita dari Gendis, kalau Mentari ternyata suka sama ustad di kompleks perumahan gue," jelas Difan.
"Terus rencana cemerlang lo apa?" tanya Abrian tak sabaran.
"Apa gue burubah jadi alim aja kali ya?"
Abrian seketika menimpuknya dengan gulungan tisu di depannya.
"Dasar cari muka!" semprotnya yang membuat Difan cengar cengir setelahnya.
Yah ... mau bagaimana lagi. Semua cara sudah ia lakukan. Dan ia pikir hanya cara inilah satu-satunya yang belum Difan coba. Siapa tahu, setelah melihat perubahan Difan gadis itu akan langsung berbelok padanya. Cemerlang sekali kan idenya?
"Heh!" Abrian menarik perhatian Difan. Pria sableng itu masih saja senyam senyum tidak jelas. "Denger ya, berubah karena Mentari gak bakalan buat gadis itu langsung noleh ke elo!" semprotnya.
"Bisa aja kan? Lagian gak ada yang tahu kedepannya seperti apa," tegas Difan.
"Noh. Itu lo tahu kalo gak ada yang tahu perihal masa depan. Dan lo masih yakin kalo nasib baik berpihak ke elo?"
Difan terdiam. Benar juga. Tapi tak ada salahnya 'kan mencoba? Lagian juga kalau ditolak lagi Difan bisa memikirkan cara lain. Intinya dia tidak akan menyerah dengan mudah. Mentari ... sekali Mentari tetap Mentari. Ehh ...
"Gak ada salahnya kan buat nyoba? Lagian niat gue kan baik, pengen berubah," ujar Difan yakin.
"Iya keingian lo buat berubah itu baik. Dan gue bakalan dukung lo seratus persen," ungkap Abrian. "Tapi ... gue gak setuju kalo lo berubah bukan karena Allah, melainkan Mentari," lanjutnya.
Pria di depannya itu menunduk. Saat melihat tak ada respon dari Difan, Abrian kemudian kembali melanjutkan kalimatnya.
"Lo tahu, Fan? Sesuatu yang dimulai tanpa melibatkan Allah di dalamnya, itu semu. Ujung-ujungnya lo bakalan patah lagi. Berharap, yang bakalan lo dapetin pada akhirnya hanya kecewa saja," terangnya.
Difan menghela udara dengan pelan namun terdengar berat. Wajahnya terlihat ditekuk. Apa lagi ini? Ucapan Abrian menambah kegundahan Difan. Sekarang, entah mengapa Difan jadi ragu untuk melangkah lagi. Bukannya tidak berani, hanya saja Abrian dengan telak menampar ulu hatinya.
Bersambung...
****
Ini juga absurd. Ehehe
Tapi ya syudahlah. Daku pasrah saja nge-up part ini😅
KAMU SEDANG MEMBACA
InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWG
RomanceSEDANG DIREVISI! "Jangan dilupain, tapi jangan dikenang juga. Coba deh, lo buat moment yang baru dengan orang yang baru. Mungkin dengan begitu, kenangan lama lo bisa tertimbun tanpa harus bersusah payah menghapusnya." **** Bagi Difan, move on tak se...