Epilog

2.4K 135 16
                                    

Move On!

Allah satukan dua hati yang emang benar-benar sudah disandingkan di lauhil mahkfudz, seperti apa yang aku dengar dari ustad Haidar sekitar dua tahun lalu dan sampai saat ini kata-kata itu masih terus melekat di kepalaku. Aku pernah benar-benar merasa jatuh saat Allah memisahkan aku dari orang yang ternyata bukan jodohku. Ah ... masa-masa itu membuatku selalu berpikir kalau Difan itu adalah orang yang lemah. Masa cuma gara-gara satu perempuan ia langsung merasa dunianya runtuh. Makan tak enak, tidur tak nyenyak dan bahkan mandi pun mandi kerbau. Ngeri kalau mengingat kembali masa-masa itu.

Tapi beruntungnya, Abrian selalu ada pada titik terberat hidupku. Dia mulai menasehatiku dan menyuruhku untuk move on. Kalau dia tidak memaksaku untuk melupakan Adhara, mantan yang sudah memberikanku banyak pelajaran hidup itu, mungkin sampai saat ini aku tidak akan bisa bertemu dan menjadikan bundanya Fatih--anakku-- menjadi bidadari dalam setiap sekenario hidupku.

"Ayah?" Seorang bocah berusia dua tahun itu menarik baju kokoku, membuatku menunduk agar bisa melihat wajah manisnya yang merupakan gen turunanku.

Daraksa Gana Al-Fatih. Abrian yang memberikannya nama dan langsung disetujui istriku. Katanya dia suka mendengar nama itu. Dan aku putuskan untuk memanggilnya Fatih, berharap ia bisa menjadi seorang pemimpin seperti arti dari namanya. Keren kan? Iya dong, kan bapaknya juga keren.

"Kenapa, Bang?" Aku berjongkok agar terlihat sejajar dengannya. Dia ini sama dengan bundanya. Tidak suka dipanggil dengan menggunakan namanya kalau di rumah. Dia lebih suka dipanggil Abang, karena mungkin sering mendengar Dina memanggilku dengan panggilan itu.

"Dipandil Nini," ujarnya dengan suara cadel.

Aku tersenyum kemudian mengangkatnya ke gendonganku. Dia menunjuk ke arah kerumunan ibu-ibu di tengah-tengah ruangan rumah kami. Aku pun berjalan menuruti keinginan putera kecil kesayangan bundanya ini.

"Fan, acaranya sudah bisa dimulai? Kayanya lebih cepat lebih baik," ujar umi mertuaku yang kini duduk di samping bundanya Fatih.

"Boleh, Mi," ujarku, kemudian menyerahkan Fatih pada Dina yang sedari tadi duduk di dekat umi.

Hari ini adalah hari di mana kandungan Mentari tepat berusia empat bulan. Dan atas inisiatif dari ibuku, kami melakukan syukuran kecil bersama anak yatim.

Aku kemudian duduk di samping Mentari, mengikuti serangkaian acara; mulai dari dzikir dan do'a yang dipimpin abi, ayah Mentari. Hingga pembagian santunan kepada anak-anak yatim yang kini sudah berbaris rapi di depanku dan Mentari. Puji syukur yang tidak pernah berhenti aku panjatkan atas semua rahmat serta kebahagiaan yang Allah limpahkan kepadaku. Rizeki yang aku miliki saat ini adalah sebagian dari hak anak-anak di depanku ini.

Di sampingku, aku bisa menyaksikan senyum yang tak pernah lepas dari wajah istriku. Matanya menyipit ketika ia ikut menatap ke arahku. Belah manggisnya bahkan sampai saat ini masih membuatku terkesima setiap kali dia tersenyum.

"Terimakasih," ujarnya hanya dengan gerakan mulut.

Anak-anak yatim di depanku kini sudah pada berhamburan menuju meja-meja makanan, dipandu umi dan juga ibu, sehingga aku dan Mentari kembali duduk di atas karpet.

"Terimakasih untuk apa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Untuk semuanya. Untuk kesabaran kamu selama ini dan untuk kerewelan Fatih yang turun dari kamu," ujar Mentari sontak saja membuatku terkekeh. "Kamu tahu, kamu adalah sebuah takdir yang berhasil membawaku semakin dekat dengan Allah," imbuhnya.

Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Kukecup ubun-ubunnya yang tertutup dengan kerudung lebarnya. "Terimakasih juga karena telah menjadi bagian dari takdirku. Kamu tahu, mencintaimu adalah sebuah ujian terindah yang sampai saat ini selalu aku syukuri."

T A M A T

***

Aku tahu ini gaje. Tapi ... tapi insyaallah entar direvisi kok. Kalo udah move on dari UN tapi :'v

See you and tengkiyuuuu for reading.

Big love,
Rifa❤

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang