Bagian sepuluh

1.4K 103 0
                                    

Menuntut ilmu dalam islam itu wajib, begitu yang gadis berkerudung itu pahami. Baginya, tidak ada batasan usia dalam menuntut ilmu. Allah bahkan memperintahkan untuk menuntut ilmu sedari masih dalam buaian orang tua hingga masuk ke liang lahat. Menuntut imu bukan saja pembeda pintar dan bodoh seseorang di hadapan manusia, tetapi juga sebagai bahan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Menuntut imu sama halnya dengan berjihad atau berperang di jalan Allah.

Seperti yang di riwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyaallahu 'anhu, Nabi Sallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka dia sedang berjihad di jalan Allah Ta'ala hingga dia kembali (pulang)." *diriwayatkan secara hasan oleh Imam at-Tirmidzi.

Mengapa menuntut ilmu disetarakan dengan berjihad di jalan Allah?

Jadi begini, gadis berkerudung ini pernah membaca salah satu alasannya di sebuah artikel yang mengatakan, Imam Ibul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa alasan menuntut ilmu disetarakan dengan jihad adalah karena dengan (ilmu) Islam dapat berdiri sebagaimana hal itu juga merupakan fungsi dari jihad.**dalam Miftah Dar as-Sa'adah dikutip dari Dr. Thal'at Muhammad 'Afif Salim.

Oleh karena itu, jihad dibagi menjadi dua. Jihad dengan tombak atau senjata dan jihad dengan argumen yang dilakukan oleh kalangan terbatas dari para Utusan Allah yaitu ulama.

Tapi beda halnya dengan menuntut ilmu. Jihad ini hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang berilmu. Sebab jika kaum muslimin tidak memiliki ilmu turut serta dalam jihad ini, yang terjadi bukan kebaikan, tetapi malah kehancuran sebab menyampaikan sesuatu yang tidak diketahuinya.

Gadis berkerudung itu kembali mematut penampilannya di depan cermin besar besar di kamarnya. Gamis pink soft dengan kerudung berwarna senada. Polesan bedak tipis dengan lip gloss yang berwarna hampir mirip dengan bibirnya, pink. Penampilannya cukup simple. Matanya bahkan tidak diberi warna apapun. Sedangkan alisnya sudah tebal tanpa digaris. Meski ia tidak memakai make up sekalipun, ia tetap terlihat cantik dengan kulit putih bersihnya.
Ia kembali merapikan tatanan kerudungnya. Menepuk-nepuk pipinya dengan pelan, agar bedak diwajahnya menempel sempurna. Maklum, spon yang biasa ia gunakan sudah bolong dan belum sempat ia ganti.

"Mentari!" panggil seorang wanita dari balik pintu kamarnya.

Gadis yang merasa diriya dipanggil itu langsung menjauh dari depan cermin. Ia kemudian melangkah menuju pintu kayu bercat putih di kamarnya, membuka pintu dengan memutar knop berwarna perak tersebut dan langsung menampilkan wajah ibunya.

"Iya, Mi?" jawabnya.

"Kamu kok belum berangkat? Sudah siang ini," ujar wanita yang wajahnya terlihat tidak terlalu jauh berbeda dengan wajah gadis yang dipanggil Mentari.

Mentari tersenyum, membuat matanya menyipit. Ia mengangguk kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sling bagnya. "Ini mau berangkat, Mi," ujarnya.

"Sama siapa?" Ibu Fatma__uminya__kembali bertanya.

"Sendiri," ujar Mentari tanpa menoleh ke arah uminya. Tangannya sibuk memutar kunci di pintu kamarnya.

"Ya sudah. Umi hari ini tidak ikut ya. Mau beres-beres rumah," jelas wanitasetengah baya itu.

Mentari hanya menjawab dengan anggukan. Hari ini, seperti biasa di setiap minggu pagi ia akan menghadiri acara pengajian rutin di masjid kompleks perumahan mereka. Antusiasnya dalam menghadiri majelis ilmu patut diacungi jempol. Bukan hanya di sekitaran rumahnya, tapi selama majelis ilmu itu masih bisa ia jangkau, maka ia kan datangi. Begitulah dirinya. Seorang fakir ilmu, tidak akan merasa cukup dengan ilmu yang ia miliki. Ia akan terus menambah ilmunya, hingga hembusan napas terakhirnya. Begitulah sosok penuntut ilmu yang ia pahami.

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang