(Versi Revisi)
Motor besar Difan melaju membelah jalanan kota Bandung di sore itu. Di belakangnya, duduk Adara dengan memeluk erat tubuh yang tertutup jaket parasut miliknya. Bibir mungilnya terus merutuki Difan yang tadi pagi melarangnya membawa sweater tebal. Sekarang lihat saja akibatnya. Saat turun dari gunung, udara sore itu ternyata tidak mampu ditahan tubuh mereka. Adara yang hanya menggunakan jaket denim, terpaksa harus menggunakan jaket parasut kebesaran yang terlihat aneh di tubuhnya. Bahkan saat motor besar Difan sudah keluar dari area pegunungan, gadis itu sama sekali tak berhenti mendumel.
"Udah dong, Yang. Lain kali kita bawa mantel tebal yang ada bulu-bulu dombanya deh. Kaya yang kamu pake tadi pagi," sela Difan. Telinganya sudah hampir mengepulkan asap karena ocehan gadis di belakangnya.
"Tahu, ah! Kalo tadi aku mati kedinginan gimana? Masih mending tubuh kamu tahan dingin. Kalo sampe ambruk, aku gendongnya gimana coba?" cecar gadis itu. Dari kaca spionnya, Difan bisa melihat pipinya mengembung lucu dengan bibir yang dicabikan.
"Aku 'kan udah bilang kalo aku tuh kebal, Yang. Tahan banting. Jadi kamu jangan remehin pacar kamu ini," tutur Difan seraya memukul pundak di bagian kanannya.
"Heleh. Sok tahan banting. Sama anak tikus aja takut. Yakin mau nikah sama aku?" komentar Adara dengan alis yang dinaik turunkan.
"Yakinlah. Kamu gak percaya nih sama calon bapaknya anak-anak?"
"Ngg-"
Tepat saat Difan membelokkan motornya pada perempatan alun-alun, suara ponsel Adara bergetar, membuat mulutnya yang hendak terbuka kini kembali mengatup. Ia menepuk pundak Difan seperti seorang tukang ojek, menyuruh pria itu memelankan laju sepeda motornya.
Dengan susah payah Adara meraih ponsel dari dalam sling bagnya, menggeser tombol hijau yang ada pada benda pipih itu saat nama papanya terpampang jelas.
Agak ragu, ia mulai membuka suara, "Halo?"
"Dara? Kamu di mana?" suara Papanya di seberang telepon terdengar marah.
Adara menggigit bibir bawahnya. Ia memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Papa.
"Dara lagi di jalan, Pa," jawabnya.
Difan yang mendengar Adara menyebut Papa, semakin memelankan laju sepeda motornya.
"Anak gadis keluyuran sampai gelap begini. Cepat pulang!" Suara tegas itu membuat Adara terkesiap.
"I ... iya, Pa. Bentar lagi Dara sampai kok," ujar Adara terbata.
Setelah itu, sambungan telpon terputus. Adara mengembuskan napas dengan kasar. Jika sudah begini, bisa dipastikan ia akan mendapat omelan dari papanya. Sikap over protektif pria paruh baya itu kadang membuat Adara merasa terkekang. Padahal ia tahu maksud papanya baik. Tapi tetap saja hal itu membuat Adara yang notabenenya memiliki jiwa pemberontak merasa terusik. Semakin dirinya terkekang, ia merasa jiwanya semakin liar.
Difan juga paham Adara bukanlah orang yang mudah diatur. Apalagi status gadis ini sebagai seorang anak tunggal. Jadi sikap manja dan keras kepalanya kadang sangat sulit ditangani.
"Papa kamu bilang apa?" Difan menyuarakan isi hatinya. Kini laju motornya telah kembali normal.
Adara menyenderkan kepalanya pada punggung Difan, mengeratkan lingkaran tangannya pada kaus yang dikenakan pria itu. Dengan napas lelah, ia mulai berujar, "Papa nyuruh aku pulang."
"Ya udah. Kita langsung pulang," putus Difan tanpa berpikir panjang.
Di balik punggung, Difan merasakan Adara menggelengkan kepalanya. "Terus dinner kita gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWG
RomanceSEDANG DIREVISI! "Jangan dilupain, tapi jangan dikenang juga. Coba deh, lo buat moment yang baru dengan orang yang baru. Mungkin dengan begitu, kenangan lama lo bisa tertimbun tanpa harus bersusah payah menghapusnya." **** Bagi Difan, move on tak se...