Bagian dua puluh tiga

919 74 2
                                    

Pra-Move On!

***

"Assalamualaikum," ujar Mentari seraya berjalan membuka pintu rumah.


"Wa'alaikumsalam warahmatullah," jawab seorang wanita paruh terdengar dari ruangan di sebelah ruang tamu, family area atau ruang keluarga.

Tanpa berniat menghampiri wanita yang merupakan uminya itu, Mentari langsung masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kemudian mengunci pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu rapat-rapat.

Satu kata yang bisa mengungkapkan keadaannya saat ini adalah kacau. Ia mengempaskan tubuhnya pada kasur dengan seprai biru bergambar kartun Doraemon itu. Tangannya meraih bantal yang ada di samping tubuhnya, kemudian menyembunyikan wajahnya di sana. Tanpa aba-aba, air yang berusaha ia bendung di pelupuk matanya kini tumpah ruah membasahi pipinya.

Ia kecewa, tapi bukan karena mengetahui Haidar kini telah mempersunting wanita lain. Namun, ia kecewa karena ia sadar selama ini ia memperbaiki diri hanya demi Haidar. Ia tahu Haidar tidak akan meliriknya sama sekali, tapi ia tetap melakukan perubahan agar dicap baik oleh pria itu. Mentari malu. Meski tak mengatakan hal itu secara gamblang, namun ia merasakannya. Melihat bagaimana usahanya agar tetap sebanding dengan Haidar, sudah memberikan jawaban dari pertanyaannya beberapa saat lalu.

Untuk siapa ia berubah?

Mentari sekarang sudah benar-benar merasa malu. Malu pada Allah yang telah memberikannya begitu banyak macam nikmat yang tak sadar telah ia ingkari, malu pada orang tuanya yang telah mengajarinya pemahaman tentang agama yang sampai saat ini belum ia terapkan dengan benar, dan juga ia malu pada dirinya yang sombong dan angkuh karena merasa dirinya yang paling baik dan benar selama ini, hingga baginya ia adalah jodoh yang cocok untuk Haidar.

Ia terus menenggelamkan wajahnya pada bantal di tangannya. Wajahnya sembab dengan mata yang terlihat merah. Ia sama sekali tidak terlihat seperti seorang gadis anggun yang selama ini menjadi idola ibu-ibu. Penampilannya sungguh berantakan. Entah sekarang sudah berapa lama ia dalam posisi seperti itu.

Hingga waktu makan malam tiba, ibunya meminta dirinya untuk keluar makan malam bersama.

"Mentari belum lapar, Mi," sahutnya ketika ketukan di pintu kamarnya terdengar.

"Tapi kamu belum keluar dari tadi siang, Tar. Yakin masih kenyang?" Suara wanita paruh baya itu kembali terdengar. "Kamu gak papa 'kan, Sayang?"

"Iya, Mi. Tari gak papa kok. Nanti kalo Mentari lapar, Mentari pasti keluar," ujar Mentari dengan suara yang terdengar sedikit sengau.

"Yaudah. Nanti kamu panaskan saja lauknya ya?"

"Iya, Mi."

Meski curiga ada yang tidak beres dengan anak gadisnya, suara wanita paruh baya itu kini tidak terdengar lagi. Di dalam kamarnya, Mentari kembali menumpahkan air matanya dengan perasaan penuh sesal.

Allah...

***

"Lo beneran gak kenapa-kenapa?" tanya Gendis seraya mengusap lengan Mentari dengan lembut.

Pagi ini, selesai mempersiapkan kebutuhan KKN-nya ia langsung datang ketika Mentari menyuruh untuk menemaninya di rumah. Gendis tahu ada sesuatu yang terjadi dengan Mentari. Dan itu pastinya berhubungan dengan kejadian hari minggu kemarin. Sesampainya di rumah minimalis itu, Gendis mendapati Mentari dengan wajah sembab yang dibanjiri air mata.

"Aku ... aku menyesal, Ndis," ujarnya, kemudian isak tangis kembali terdengar.

Gendis memeluk Mentari dengan erat sambil mengusap punggungnya, mencoba menenangkan gadis itu.

"Aku ... aku tahu kalau akulah yang salah. Dan Allah menegurku dengan cara seperti ini," keluh Mentari setelah perasaannya lumayan membaik.

Gendis menganggukkan kepalanya, menyimak kelanjutan ucapan Mentari.

"Seharusnya aku gak usah terlalu berharap pada hal-hal semu," ujarnya diiringi suara isakannya. "Aku munafik, Ndis. Hijrahku palsu."

Gendis terus mengusap punggung Mentari. Tatapannya lurus tertuju pada mata sahabatnya, yang menyiratkan penyesalan. "Lo tahu kan, kalau Allah itu hakim yang paling adil?" Suara Gendis pelan.

Mentari mengangguk.

"Jadi Dia juga telah memberikan hukuman apa yang pantas untuk lo. Yah ... sebenarnya kalo gue, hal yang kaya gini nggak gue sebut sebagai hukuman sih," ujar gadis yang kali ini penampilannya terlihat lebih natural, tanpa lipstik dan bedak tebal. "Gue lebih suka mengartikan ini sebagai teguran cinta, karena Allah sebenarnya cemburu dengan apa yang lo lakuin," imbuhnya.

Mentari kembali mengangguk di sela isak tangisnya. "Tapi aku takut Allah marah, dan mencabut nikmat yang telah Ia berikan, Ndis."

Gendis menggeleng, tatapannya lembut ke arah Mentari. "Jangan mendahului kehendak Allah, Tar. Lo harus berprasangka baik terhadap takdir Allah," sela Gendis.

"Selama ini kamu lihat 'kan, begitu munafiknya aku? Merasa paling baik di hadapan manusia, padahal sebenarnya aku masih ...." suara gadis di depan Gendis itu terhenti akbibat tangusannya yang kembali terdengar. Gendis kembali memeluknya, menenangkan sahabatnya dalam pelukan hangatnya.

"Lo jangan bilang gitu," ujar Gendis, tanpa melepas pelukannya. "Lo sekarang udah sadar, dan pastinya pengen berubah juga kan?" Dalam pelukkannya, ia bisa merasakan bahwa Mentari menganggukkan kepalanya.

"Apa Allah akan memaafkanku, dan kembali mendekapku di setiap sujudku? Menerima segala taubatku dan niat baikku?"

Gendis melepaskan pelukannya seraya menatap lekat ke arah Mentari. "Lo lebih tahu hal ini," ujarnya. "Allah selalu punya cara untuk membuat hambaNya kembali. Dan Allah tak butuh alasan untuk menerima taubat hambaNya." Senyum teduh mengakhiri kalimat bijak sahabat Mentari itu.


Mentari bersyukur Allah menakdirkan sahabat seperti Gendis yang mengerti dirinya. Bagaimanapun Gendis selama ini, gadis itu tetaplah malaikat bagi Mentari. Di saat dirinya rapuh seperti ini, Gendis menjadi orang pertama yang merangkulnya dan mengusap punggung Mentari dengan penuh kasih.

"Allah tau lo sedang bersedih. Allah juga tau semua keluh kesah lo, semua perih di hati lo," ujar Gendis dengan tangan yang masih terus menghapus air mata Mentari.

"Hapus semua sedih yang lo rasain sekarang dan tersenyumlah karena Allah selalu sayang sama lo, selalu ada di dekat lo. Allah berikan ujian bukan berarti Dia benci atau mulai tak suka, tapi karena ingin hambaNya selalu mengingatNya, Allah ingin kita merasakan pahit getirnya kehidupan kekasih-kekasihNya pada zaman sebelum kita," imbuhnya diakhiri senyum meneduhkan.

Mentari mengangguk, kemudian memeluk erat Gendis dan berdoa dalam tangis sesalnya agar Allah selalu berikan kebahagiaan pada sahabatnya ini.

Bersambung...

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang