(Versi Revisi)
Cahaya yang masuk lewat ventilasi pagi itu menerpa hangat wajah Difan. Burung di luar sana sudah mulai berkicau ria, menyambut sang surya yang mulai muncul dengan malu-malu. Sementara alarm di ponselnya sudah berbunyi lebih dari lima kali sejak adzan subuh berkumandang tadi, tapi Difan masih enggan untuk bangkit dari tidurnya yang semalam kurang nyenyak.
Bagaimana mau tidur dengan pulas, jika saat menutup mata saja wajah Adara langsung memenuhi memori di otaknya. Mana yang muncul tawa bahagianya saat berada di pelaminan. Tersenyum dengan mata menyipit dihiasi semburat merah di pipinya.
Ah, bahagianya saat membayangkan yang bersanding dengannya adalah Difan. Berpegangan tangan dan saling menatap dengan gelagat malu-malu. Apalagi saat Adara mencium tangannya seusai akad kemudian Difan yang mengecup kening gadis itu, lama. Suara sorakan menggoda dari temu undangan menjadi soundtrack yang terdengar merdu. Namun tiba-tiba suara-suara itu berubah menjadi raungan pilu Adara. Menangis sendiri di pojokan dengan sesekali meneriakkan nama Difan.
Gedbruk!
"Aww...." Ringisan pelan keluar dari mulut Difan. Tangannya memegangi belakang kepala yang terantuk lantai marmer dingin. Mimpi sialan! Umpatnya. Kini kepalanya terasa berdenyut. Ia menyesal kenapa tidak menaruh karpet berbulu seperti yang ada di ruang tamu pada lantai di kamarnya. Hingga ketika terjatuh dari tempat tidurnya atau kalau mau salto, tidak akan sesakit ini.
Kenapa jadi begini sih? Gerutunya.
Ia menyandarkan kepalanya pada pinggiran kasur. Menelusuri setiap sudut kamarnya sambil merenung, sampai akhirnya mata tajamnya berhenti pada jam dinding berwarna putih yang menggantung di atas pintu kamar mandi.
08.45 AM.
Matanya membulat seketika.
"Alamak!" pekiknya kemudian segera bangkit dari duduknya, meraih handuk yang menggantung di belakang pintu kemudian langsung menuju kamar mandi dengan langkah seribu.
Brugh!
"Anjir! Bokong suci gua!" Ia kembali memekik heboh.
"Difan! Boga baham entong cileuh! Ibu masukin mesin cuci tau rasa!"
Seketika Difan langsung memukul pelan mulutnya, kemudian merutuki kecerobohannya.
"Yang lihat mata, dan yang jalan kaki terus kenapa ia bisa jatuh? Mata kaki fungsinya untuk apa sih?" gerutunya seraya berusaha bangkit. Ia meraih knop pintu di belakangnya sebagai pegangan untuk membantunya berdiri. Tangannya yang bebas mengelus pantatnya yang kini terasa nyeri. Dengan badan membungkuk, ia berjalan menuju keran yang berjarak tiga langkah dari tempatnya. Apes ... apes.
Lima belas menit mengguyur tubuhnya dengan air dingin di pagi itu membuat pikiran Difan sedikit lebih ringan. Dengan wangi aroma terapi dari lemarinya, yang menempel di baju membuatnya sedikit lebih harum meski hanya mandi kerbau. Rambutnya yang basah dibiarkan begitu saja, tanpa berniat menyisir atau sekadar merapikannya. Hari itu ia tidak terlalu memikirkan penampilannya. Karena kata Adara, meski acak-acakan ia tetap terlihat tampan. Ah, Adara lagi Adara lagi.
Difan menepis pikirannya tentang gadis itu, kemudian melihat jam di tangannya. Sudah hampir jam sembilan dan ia lupa kalau hari ini kelas pertama mulai jam sembilan. Ia memanaskan mesin motornya dengan tergesa-gesa. Untuk urusan Adara, nantilah ia pikirkan lagi setelah kelas. Jangan sampai fokusnya hari ini terbagi, hingga dikeluarkan dosen dari kelas seperti yang sudah-sudah.
Tidak sampai lima menit, motornya kini sudah keluar dari gang kompleks.
Sepeda motornya melaju dengan kecepatan penuh. Bahkan ketika memasuki jalan raya di tengah kemacetan kota Bandung pagi itu, motor besarnya masih bisa menyelip dengan indah. Masih untung ia menggunakan keamanan seperti helm dan jaket. Kalau tidak, mungkin orang-orang akan mengira dirinya seorang pembalap liar. Kalau seperti itu kan setidaknya ia kecipratan aura keren Rossi saat nikung.
Di pertengan menuju kampus nasib buruk menyapa, motornya tiba-tiba oleng. Sedikit was-was, ia menepikan kuda besi tersebut. Sedikit berjongkok dan mulai memeriksa apa yang menjadi sumber masalah.
"Argh! Sial!" umpatnya saat mendapati ban motornya kempes.
Ia melihat ke sekiling. Jalanan padat dan semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada yang bisa dimintai tolong.
Dengan berat hati, ia mendorong motor besarnya hingga sampai di pertigaan menuju kampus karena di sanalah satu-satunya bengkel terdekat. Entah mengapa matahari pagi itu juga terlihat seperti mengejeknya. Bersinar terik menusuk ke dalam pori-pori kulit Difan. Untung jalannya datar-datar saja. Karena kalau tanjakan bisa putus napasnya.
"Punten, Kang," ujarnya dengan napas tersengal.
"Eh. Naon, Kang? Ada yang bisa dibantu?" Seorang pemuda dengan noda oli di pipinya menyapa dengan ramah.
"Ini Kang, bannya bocor. Tapi saya lagi buru-buru. Jadi mau titip sekalian ditambalin," pinta Difan.
"Oh mangga, Kang," ujar pria tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih, Difan buru-buru berlari menuju gedung kampusnya yang tidak terlalu jauh dari bengkel tersebut. Dengan sisa tenaganya, ia berlari dari gerbang kampus menuju gedung fakultasnya. Untung saja sebelum berangkat tadi ia sempat mencomot roti tawar milik Dina, jadi tenaganya sedikit terisi.
Sesampainya di fakultas teknik sipil, pria itu kemudian menyusuri koridor dengan setengah berlari. Jam di tangannya sudah menunjukan pukul sembilan lebih dan tepat ketika sampai di depan pintu kelas mekanika teknik, ia langsung membuka pintu dengan napas tersengal.
Difan celingak celinguk mencari bangku kosong hingga tak menyadari semua mata menatap ke arahnya. Beberapa menit berdiri, ia kemudian mematung melihat wajah-wajah asing di depannya. Dia tak mungkin salah kelas kan?
"Maaf, Anda mahasiswa sini apa bukan?" tanya seorang dosen perempuan yang berdiri di depan kelas.
Difan mengangguk, namun setelahnya menggeleng.
"Mahasiswa semester berapa?" Dosen itu kembali bertanya.
"Semester lima, Mrs," jawabnya dengan ragu.
Dosen itu menggelengkan kepalanya kemudian berujar, "Anda salah kelas. Silahkan keluar dan tutup kembali pintunya."
Semua yang ada di ruangan itu menatap dengan tawa tertahan. Difan melongo, tanpa disuruh dua kali ia langsung keluar dari ruangan itu, menutup pintu seperti yang diperintahkan dosen tadi.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Lengkap sudah kesialannya hari ini. Patah hati, mimpi buruk, pantat sucinya ternoda, ban motor bocor hingga akhirnya terdampar di kelas orang. Dan sekarang, ia menebak kalau sumber dari kesialannya ini adalah kutukan dari Adara. Jangan-jangan mantan kekasihnya itu mengutuk Difan agar mendapat kesialan selama tujuh keturunan karena tidak bisa menikah dengannya. Kejam sekali kan gadis itu? Huh, Difan jadi menyesal pernah memacarinya.
Mantan terindah.
Ia menyandarkan punggungnya pada tiang korodor di sampingnya. Ia terlihat kacau. Bajunya bahkan kini terlihat basah oleh keringat. Rambut berantakan. Tali sepatunya bahkan sudah terlepas sejak berlarian tadi. Untung saja ia tidak tergelecang. Jika tidak, lengkaplah kesialannya hari ini.
"Aaargh... drama apa lagi ini, Tuhan?" ujar Difan seraya mengacak rambutnya dengan frustasi, membuat orang-orang yang berlalu lalang menatap aneh ke arahnya.
Bersambung...
***
Hapunten, bahasa sundaku rada nganu. Kalo keliru, tolong diperbaiki ya. Maklum, dedek bukan orang sunda😅
KAMU SEDANG MEMBACA
InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWG
RomanceSEDANG DIREVISI! "Jangan dilupain, tapi jangan dikenang juga. Coba deh, lo buat moment yang baru dengan orang yang baru. Mungkin dengan begitu, kenangan lama lo bisa tertimbun tanpa harus bersusah payah menghapusnya." **** Bagi Difan, move on tak se...