Tidak pernah Difan bayangkan kalau kejadian kemarin membawa dampak buruk bagi hatinya. Tiba-tiba saja pagi ini ia merasa begitu kacau. Sebenarnya kata-kata Mentari kemarin masih terngiang di telinganya. Cinta dan nafsu. Dua kata itu sukses membuatnya tak bisa tidur semalaman. Dan setelah berkonsultasi pada pakar cinta, yaitu Abrian, Difan menemukan satu hal yang lagi-lagi membuatnya merana.
"Cinta dan nafsu emang gak jauh berbeda, Fan. Cinta yang sebenarnya dan tanpa embel-embel apapun hanya ada pada Allah. Kalau mencintai manusia, gue gak yakin kalau gak ada hal lain yang menjadi sumber pengharapan. Meskipun kalimat mencintai karena Allah terapalkan ribuan kali," ujar Abrian tempo hari.
Difan tahu kalau masalah itu. Dina dan ibunya pernah membahas ini sebelumnya. Tapi Difan kan tidak sama dengan mereka. Difan masih terjebak di dunia jahilnya. Ia bahkan tak peduli dengan cinta yang ia rasakan pada Mentari bersumber dari nafsu. Intinya, dengan adanya cinta, yang menjelma dalam bentuk apapun itu, terserah, asalkan ia bisa buktikan pada hatinya bahwa ia masih bisa bertahan dan memperjuangkan setengah hati yang tersisa. Karena pada kenyataannya, luka di episode percintaannya yang lalu membuatnya lumayan sakit.
Kisahnya yang lalu sudah usang. Difan jengah jika harus membahasnya lagi. Tapi untuk episode hidup selanjutnya, mau tak mau Difan harus banyak berpegangan pada masa lalu. Karena dengan begitu, dia bisa tetap ingat kalau cinta itu memang butuh perjuangan. Seperti dulu, mencintai Adara, Difan tak pernah berhenti berjuang. Entah itu untuk Adara atau untuk mendapatkan hati ayah Adara. Capek memang. Tapi ya gitu. Tuhan tidak menghadirkan sesuatu secara instan. Cinta yang kata orang hanya bisa dirasakan saja ternyata butuh perjuangan keras. Padahalkan cinta itu tidak terlihat. Tapi nyatanya, bukan cinta itu yang diperjuangkan. Melainkan aplikasi cinta yang sebenarnya.
Pria berjambul itu memarkirkan motor besarnya di samping motor pespa tua. Ia kemudian segera melangkah menuju kelasnya, berniat mencari Gendis. Ia belum menyerah. Perkataan Mentari kemarin memang sukses membuat hatinya gundah gulana, tapi tidak sama sekali membuat semangat dan niatnya runtuh.
Ia semakin mempercepat langkahnya saat dari tangga lobi pelang kelas teknik sipil A sudah mulai terlihat. Suasana pagi itu memang masih terlihat sepi hingga ia dengan mudah berlarian tanpa takut menyenggol orang. Orang loh ya. Difan gak tahu kalau dia bisa saja menyenggol orang yang tak kasat mata, seperti Mak Kunti misalnya.
"Ndis!" panggil Difan dari ambang pintu seraya mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
Sebagian orang yang sudah menghuni kelas pagi itu menoleh dengan kening berkerut. Sementara Gendis, masih saja anteng dengan cermin kecilnya. Tidak menoleh ataupun menggubris panggilan Difan. Karena gadis itu tahu kalau Difan memanggilnya pasti hal yang ingin dibicarakan tidak jauh dari seputar Mentari, kalau tidak ya pasti printan makalah. Asem banget kan.
"Ndis, lo tuli apa gimana sih?" cecar Difan saat pria itu sudah berdiri di depan Gendis.
"Gak denger," sahut Gendis tanpa menatap lawan bicara.
"Ck. Jangan pura-pura tuli lo. Gue mau nanya," ujar Difan, kemudian menarik cermin kecil di tangan Gendis saat gadis itu tak memperhatikannya.
"Balikin," ujar Gendis dengan mata melotot ke arah Difan.
"Dengerin gue dulu makanya."
"G.a.k m.a.u!" Gendis menekan setiap huruf yang diucapnya.
"Bentar doang, Ndis. Penting," bujuk Difan dengan tampang memelas.
Ia belum pernah seperti ini sebelumnya. Setiap kali punya target cewek, Difan sendirilah yang akan mendekati dan mengenali targetnya dengan perlahan. Bukan malah ngemis-ngemis minta informasi dari orang lain begini. Tapi Difan kalut. Gadis yang menjadi targetnya justru memasang benteng tinggi yang Difan tak bisa menembus atau meloncatinya. Jadi mau tak mau, meski ragu dan gengsi ia harus sedikit mengetahui apa saja yang Mentari suka dan tidak suka.
"Yaudah. Mau nanya apa? Soal Mentari?" tebak gadis itu. Difan mengagguk.
Gendis memutar bola matanya. Kemudian menatap tanpa minat ke arah Difan. Penampilan Difan yang tak seperti biasanya membuat mata Gendis perih melihatnya. Ia sudah terbiasa melihat cogan. Jadi ketika melihat wajah sepet, kusut, kacau Difan ini, gadis itu jadi ragu dulu pernah mengidolai pria ini karena ketampanannya.
"Gini, Ndis. Gue mau lo ceritain gue tentang Mentari," pinta Difan.
Gendis mengangguk. "Dengan senang hati," ujarnya. "Lo mau cerita yang gimana? Yang jelek-jelek apa yang bagus-bagus?"
Difan membuang napas kasar. Lama-lama ia sentil juga gadis di depannya ini.
"Emang lo tega ceritain temen lo yang buruk-buruk?" decak Difan.
Gendis menggeleng, kemudian cengar cengir tak jelas ke arah Difan.
"Gue mulai dari mana nih?" Gadis itu kembali bertanya. Kasal, Difan benar-benar menyentil kening Gendis, membuat gadis itu meringis.
"Yang mana aja Gendis cantik. Gue udah siepin telinga lo masih aja nanya gitu," dumel Difan, yang lagi-lagi membuat Gendis terkekeh. Suka saja gadis itu melihat tampang sepet Difan karena ulahnya.
"Mentari ya ... dia baik dan polos. Gak perhitungan karena sering traktirin gue di kantin IT," kekehnya. Difan mengangguk, menyimak. "Dia juga punya hobi yang sama kaya ibu lo, bikin kue. Ngutak-atik bahan dapur yang berujung resep eksperimen."
"Mentari sering ikut kajian umum ibu-ibu. Dan lo tahu, Mentari juga suka sama ustad yang sering menyampaikan kajian di masjid kompleks perumahan kalian," imbuh gadis itu.
Tercetak senyum meremehkan di wajahnya sesaat setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Dan itu sukses membuat Difan menganga. Jangan-jangan Mentari menolaknya karena pria itu, dan karena Difan juga bukan tipenya.
"Ndis?" sela Difan.
Gendis menjawab dengan gumaman. Tangannya kembali meraih cermin di atas meja, kemudian membiarkan Difan berkelahi dengan pikirannya sendiri. Hening sesaat. Keadaan kelas yang lumayan sepi membuat mereka leluasa untuk berbicara.
"Apa Mentari nolak gue karena gue bukan tipenya?" Wajah Difan terlihat tertekuk.
Gendis mengagguk. "Itu salah satunya," ujarnya.
"Salah satunya?"
"Ho'oh. Mentari nolak lo juga karena dia emang gak pacaran," jelas Gendis.
Aih. Difan tiba-tiba jadi minder begini. Rasa-rasanya nyalinya semakin terhempas oleh fakta Mentari lebih tertarik dengan pria alim di kompleks mereka. Pria yang jelas-jelas kepribadiannya jauh 180 drajat dengan Difan. Difan, sholat subuh saja masih dibangunkan alarm. Sementara ustad itu? Ia ingin berhusnudzon saja kalau ustad itu lebih baik darinya. Secara, gadis seperti Mentari saja suka padanya.
Difan merasa, saingannya kali ini memang berat. Selain harus mematahkan prinsip Mentari, Difan pun harus mencari tahu siapa sosok di balik ustad yang disukai Mentari.
Bersambung...
***
Daku gak kuat nulis part ini. Receh beud Ya Allah😭😭 Absurd and typo bertebaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWG
RomansaSEDANG DIREVISI! "Jangan dilupain, tapi jangan dikenang juga. Coba deh, lo buat moment yang baru dengan orang yang baru. Mungkin dengan begitu, kenangan lama lo bisa tertimbun tanpa harus bersusah payah menghapusnya." **** Bagi Difan, move on tak se...