Bagian lima belas

1K 77 0
                                    

Hoam.

Entah sudah kesekian kalinya Difan menguap sejak dosen mata kuliah menajemen kontruksi memasuki kelas di siang itu. Sekuat tenaga ia menahan kantuk yang ada. Menyangga matanya dengan kedua jari.

Mata sayunya menatap tanpa minat ke arah dosen berkumis tipis di depannya. Suaranya bahkan keluar masuk di telinga Difan. Hingga ia merasa bosan dan capek sendiri menyangga matanya. Ia kemudian melipat kedua tangan di atas meja, menaruh kepalanya di sana.

Perlahan, matanya mulai terkatup rapat. Menulikan telinga, kemudian berselancar ke alam mimpi. Entah mengapa tidur di dalam kelas menjadi tradisi ternikmat bagi setiap spesies aiswa ataupun mahasiswa pemalas seperti Difan. Tidak peduli dengan punggung dan leher yang akan bengkok saat terbangun nanti.

"Pada tahap pra-konstruksi, kita akan melakukan semua yang diperlukan studi kelayakan dan penelitian," jelas dosen yang berdiri di depan papan tulis, yang terdengar samar di telinga Difan. "Kemudian datang desain dan perencanaan. Setelah-" kalimat dosen itu terhenti.

Difan yang sudah mulai meluncur ke alam mimpi, tak acuh dengan hal itu.

Di belakangnya, Deno mulai mencolek dengan benda panjang yang serasa menusuk di bahunya. Difan menggumam, kemudian menepis tangan pria berambut keriting itu.

"Ssst ... Fan, bangun curut," bisik Deno yang hanya dijawab gumamam tak jelas dari Difan.

Kelas terasa hening. Tidak ada suara Deno bahkan juga suara dosen yang mengajar tidak terdengar. Saat Difan mulai kembali ke alam mimpi, tiba-tiba ... brugh!

"Aw!" ringis Difan, kemudian refleks menegakkan badannya.

"Mampus!" ujar Deno.

Tubuh Difan mengahap ke arah Deno yang kini menatapnya dengan ekspresi kasihan. Sementara Difan, menatap pria itu dengan nyalang. Tangannya yang mengepal terangkat di udara.

"Mau tak bogem, heh?" ujarnya dengan nada parau.

Deno mengernyit seraya mengangkat tangan di depan dada, kemudian menunjuk pria botak yang kini menatap sengit ke arah Difan dengan dagunya.

Difan mengerutkan alisnya kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Sebagian teman-temannya menatap prihatin ke arahnya dan sebagian lagi menatapnya dengan ekspresi menahan tawa. Pandangannya kemudian berhenti pada dosennya. Seketika Difan memukul keningnya, pelan.

"Sudah puas tidurnya, hah?" tanya dosen tersebut seraya berkacak pinggang.

Difan mengusap tengkuknya dengan gugup. Sesaat, saliva yang ditelannya terasa pahit. Inikah yang dinamakan maling tertangkap basah? Tapi kan ia tidak maling. Hanya saja mencuri waktu belajar. Sedikit.

"Pilih keluar atau gantiin saya menjelaskan di depan?" Difan terdiam. Melihat hal itu, pria paruh baya yang mirip dengan Mario Teguh itu kembali bersuara, "ah, lebih baik kamu keluar saja."

Bimbang antara bangkit dari duduknya atau diam menentang. Tapi lo yang salah, Fan. Hati kecilnya mulai berbisik. Menyadarkan Difan tentang perbuatannya. Diem aja kali, Fan. Palingan Pak Dosen cuma menggeretak saja, imbuh hatinya yang kotor.

"Ayo, tunggu apa lagi?" Dosen tersebut kembali bersuara.

Dengan berat hati, Difan bangkit dari duduknya kemudian melangkah dengan lesu ke arah pintu keluar.

"Satu lagi," imbuh sang dosen. "Selesai kelas, kamu temui saya di perpustakaan," titahnya, membuat Difan refleks mengagguk patuh.

****

Setelah keluar dari kelas, Difan berjalan tanpa arah. Awalnya ia berniat ke kantin saja, tapi saat mengingat fans-fans fanatiknya, keingianan itu kemudian ia tepis. Bisa gawat kalau ia muncul tanpa dua orang ajudannya. Bisa-bisa nanti ia menjadi kambing gulai yang dikerubungi semut. Membayangkannya saja membuat Difan bergidik. Manusia zaman sekarang aneh-aneh sih. Mengaggumi seseorang kadang membuat mereka lupa akan kodratnya. Sering melampaui batas keharusannya. Ah, gue  kok jadi mikir soal kodrat sih?

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang