Bagian dua puluh empat

897 77 3
                                    

Pra-Move On!


Happy reading, qaqa :')

***

"Udah ya, lo jangan sedih lagi," ujar Gendis menenangkan Mentari.

Gadis yang duduk di hadapan Gendis dengan wajah sendunya itu mengangguk. Ia memaksa tersenyum meski hatinya masih terasa kacau. "Terima kasih, Ndis," ujarnya.

Gendis pun ikut mengangguk seraya tangan kanannya mengusap lengan Mentari. Sahabatnya itu sudah terlihat lumayan tenang sekarang. Sudah tidak ada lagi air mata yang mengalir deras seperti beberapa waktu lalu. Gendis dengan senang hati menghapus bulir-bulir air yang tersisa di pipi sahabatnya itu. Hingga kini, wajah Mentari terlihat lumayan bercahaya meski sembab di matanya tak bisa disembunyikan.

"Gak usah berterima kasih. Sudah tugas gue untuk menemani lo di saat-saat seperti ini," ujar Gendis dengan wajah teduh.

Inilah yang membuat Mentari tak pernah merasa sendiri meski tengah dirundung pilu. Di saat gadis-gadis lain lebih leluasa menceritakan segala keluh kesahnya pada ibu atau ayah mereka, Mentari justru merasa canggung dan malu. Ia tak ingin membuat orang tuanya cemas hanya karena ketidakdewasaanya. Untuk itu ia sangat beruntung memiliki sahabat seperti Gendis. Gadis bertubuh kecil yang tak pernah lupa dengan lipstikannya itu selalu menjadi tempat terbaik untuk berkeluh setelah ia mengadu pada Allah.

Meski penampilan Gendis tidak jauh berbeda dengan gadis-gadis di luar sana yang hanya mementingkan stayle-nya namun, dari segi pengetahuan Gendis benar-benar berbeda dengan mereka bahkan dengan Mentari juga.

Orang lain mungkin akan mengira kalau Mentari yang notabenenya berpenampilan ala ustadzah itu lebih paham akan ilmu agama daripada Gendis yang hanya berpenampilan ala kadarnya, maksudnya dengan pakaian asal pakai. Pakai rok panjang ngejreng dengan baju motif kotak-kotak dipadukan dengan pasmina lilit saja sudah cukup. Tapi nyatanya, Gendis lebih paham seluk beluk agamanya. Gendis lebih mengerti bagaimana menyikapi persoalan hati dalam sudut pandang islamnya. Sementara Mentari, gadis itu bahkan saat ini masih merasa menyesal karena menaruh harap pada sembarang makhluk Allah.

"Maaf ya kalau selama ini aku selalu buat kamu kesel gara-gara sering ngeyel," ujar Mentari dengan kekehan kecil.

Gendis ikut terkekeh sambil mengangguk maklum. Satu hal yang tidak pernah ia lupa. Mentari dan sikap keras kepalanya.

"Aih, udah jam segini aja, Tar," ujar Gendis seraya menatap jam tangan cokelat yang melingkar di pergelangan tangannya yang mungil. "Umi kamu belum pulang ya?" Mentari menggeleng.

Tadi pagi setelah selesai sarapan uminya pamit untuk mengunjungi omanya yang sudah beberapa hari ini kurang sehat. Namun sampai memasuki waktu dzuhur, wanita kesayangan Mentari itu belum kembali juga.

"Hem, Tar. Kayanya gue harus balik sekarang deh. Soalnya belum selesai persiapan buat entar sore nih," ujar Gendis.

"Berangkat KKN entar sore, Ndis?" tenya Mentari yang membuat Gendis mengangguk. "Cepet banget."

"Iya. Soalnya mata kuliah udah kelar semua. Anak-anak di jurusan gue juga pada milih berangkat KKN hari ini. Biar cepet skripsi katanya," jelas Gendis.


"Terus kamu sampai kapan KKN-nya?"

Gendis tampak berpikir. Tatapannya bahkan menerawang ke langit-langit kamar Mentari. "Dua bulan kalau gak salah," ujarnya.

Mentari menghembuskan napasnya seketika. Ia akan sangat kesepian jika Gendis pergi. Meski sama-sama berada di semester akhir, waktu KKN Mentari sedikit lebih lambat dikarenakan materi yang masih belum selesai. Seharusnya mata kuliah Mentari tuntas bulan lalu. Tapi lagi-lagi tertunda karena tugas magang.

InsyaAllah, Move On! #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang